Nusantara adalah hamparan lautan yang ditaburi kepulauan. Dengan kondisi geografis demikian, dunia maritim menjadi pusat kehidupan masyarakat Asia Tenggara. Berbagai aktivitas seperti, berdagang, sistem transportasi, aktivitas politik, hingga aktivitas sosial lainnya tidak dapat terlepas dari eksistensi sungai, danau, dan laut. Keanekaragaman flora dan fauna juga menstimulasi aktivitas perdagangan antardaerah, jauh maupun dekat. Teknologi kelautan yang maju seperti jenis perahu, sistem navigasi, dan perniagaan menjadi ciri khas masyarakat maritim Nusantara. Lebih jauh lagi, manusia laut ini melebur dengan kebudayaan maritim yang kompleks.

Kemajuan dalam bidang maritim dan perjumpaan dengan pedagang nan jauh dari Arab dan China memicu kemunculan berbagai pelabuhan yang dikelola oleh kerajaan-kerajaan maritim. Dari perdagangan dan perniagaan, simpul jalur-jalur maritim terbentuk menyatukan Banten dan Malaka, Malaka dan Maluku, Tuban dan Sumba Opu, Jepara dan Ternate, dan lain sebagainya, hingga Nusantara menjadi arus kuat dari selatan ke utara serta dari timur ke barat. Ini menjadi bukti bahwa laut memiliki posisi sentral dalam kehidupan masyarakat Nusantara. Hal ini kian dipertegas oleh majunya sistem hukum perundang-undangan pelayaran dan perdagangan, seperti Amanna Gappa. 

Tak butuh waktu lama bagi arus balik dari utara ke selatan dan dari barat ke timur datang dengan ideologi ekspansionis dan senjatanya. Ini membuat beberapa simpul maritim Nusantara seolah hancur oleh gelombang tsunami dalam semalam. Beberapa kebudayaan maritim, baik yang tumbuh dalam hukum adat hingga di bawah kekuasaan feodal lokal berangsur-angsur hilang. Mataram yang semula memiliki pelabuhan hebat seperti Tuban, Surabaya, dan Jepara tunduk dalam kuasa asing (kolonial). Cukup rumit memang untuk dapat mengerti cara kolonial untuk menguasai lautan Nusantara, perdebatan yang mengatakan kekuasaan lokal runtuh karena konflik internal dan eksternal.

Perahu kora-kora yang semula menjadi bagian dari perniagaan dan kebudayaan maritim berubah menjadi perahu patroli VOC dan Ternate dalam Pelayaran Hongi. Kebudayaan laut di pesisir pantai Jawa Utara berangsur hilang dengan berpindahnya kekuasaan dari Sultan Pakubuwana II kepada VOC. Kekalahan Gowa terhadap VOC dengan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya, menjadikan Gowa yang semula menjadi kerajaan maritim paling disegani di lautan Sulawesi kehilangan taringnya. Beberapa contoh kasus diatas cukup menggambarkan kenyataan surutnya laut Nusantara dalam arus besar sejarah. Dalam arus kecil sejarah, sejarah mencatat bahwa keterbatasan akses perniagaan di berbagai wilayah menjadi tanda buruk bagi keberlangsungan kebudayaan maritim Nusantara. Seperti contoh, masyarakat ulayat Kepulauan Seram yang tidak dapat lagi menjual hasil kebunnya kepada pedagang lokal karena akses perniagaan yang ditutup. Masyarakat Banda yang semula menjadi ujung jarum kompas dunia kini harus tenggelam dengan darahnya sendiri. Lasem yang semula menjadi identitas diversitas budaya, kini harus bersembunyi di balik isu rasialitas.

Hingga sampailah kita pada kesimpulan bahwa orang laut masih memunggungi laut. Raja laut bukan lagi berwujud penguasa feodal atau kolonial, namun perusahaan asing yang bebas untuk menangkap ikan dalam jumlah yang besar. Sangat relevan bahwasannya penjajahan tidak pernah hengkang, namun hadir dalam bentuk yang lain. Dalam hal ini, laut yang katanya memiliki posisi sentral dalam kehidupan masyarakat Nusantara kembali dipertanyakan. Akankah kita melihat laut bukan lagi sebagai pemisah, tetapi pemersatu? Sudikah bila kita berpaling untuk melihat kembali laut?

 

Daftar Pustaka

• Lapian, A. B. (2009). Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Depok: Komunitas Bambu. 

• Lapian, A. B. (2008). Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17. Depok: Komunitas Bambu. 

• Peter Boomgaard (ed). (2007). A World of Water: Rain, River, and Seas in Southeast Asian Histories. Leiden: KITLV Press. 

• Groeneveldt, W. P. (2009). Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu. 

• Parthesius, R. (2010). Dutch ships in tropical waters: The Development of the Dutch East India Company (VOC) shipping network in Asia 1595-1660. Amsterdam: Amsterdam University Press. 

• Vlekke, B. H. M. (2010). Nusantara: Sejarah Indonesia. (Samsudin Berlian, Trans.). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 

• Ham, O. H. (2018). Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang. Jakarta: Gramedia.

 

Penulis: Raymizard Alifian Firmansyah

Editor: Pinpin Cahyadi