Loading...

ayurveda jamu tradisi lintas zaman

Ayurveda dan Jamu, warisan kesehatan autentik dari India dan Indonesia, berperan penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas hidup manusia sejak zaman kuno.

Ayurveda, yang berusia lebih dari 3.000 tahun, dan jamu dengan sejarah tertulis selama 1.300 tahun, menawarkan lebih dari sekadar pengobatan. Keduanya merupakan panduan hidup yang seimbang dengan alam, menyediakan prinsip hidup yang harmonis dan preventif.

Ayurveda menekankan keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan jiwa. Menggunakan diet, herbal, latihan, meditasi, dan terapi pembersihan, ayurveda menargetkan penyembuhan yang menyeluruh dan pencegahan penyakit.

Dalam perspektif ayurveda, terdapat lima unsur dasar yang esensial dalam pengaturan proses fisiologis manusia: bumi, air, angin, api, dan ruang. Kelima unsur ini terkombinasi untuk membentuk tiga jenis energi vital atau 'dosha'. Masing-masing adalah Vata (ruang dan udara), Pitta (api dan air), dan Kapha (bumi dan air).

Setiap orang memiliki kombinasi unik dari ketiga dosha ini, namun umumnya satu di antaranya lebih menonjol dalam karakteristik individu tersebut.

Jamu adalah warisan pengobatan herbal Indonesia yang mengandalkan kekayaan alam sebagai fondasi utamanya. Dibuat dari campuran bahan-bahan alami seperti rempah-rempah dan ekstrak tumbuhan, jamu digunakan secara tradisional untuk menjaga kesehatan, mengobati beragam penyakit, menambah kebugaran dan kecantikan, serta dipercaya seimbang dengan filosofi dan kearifan lokal.

Penelitian yang dilakukan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional dalam proyek Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (Ristoja) telah menghasilkan sebuah basis data pengetahuan etnofarmakologi. Data ini mencakup 33.000 resep ramuan tradisional yang telah terbukti melalui pengalaman praktis untuk mendukung kesehatan, dan berasal dari 2.800 jenis tumbuhan berkhasiat obat.

Perubahan iklim kini menimbulkan ancaman serius terhadap keberlangsungan ayurveda dan jamu. Seperti yang saya bahas pada peringatan “Ayurveda Day” yang diselenggarakan oleh Pusat Kebudayaan India Jawaharlal Nehru di Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Negeri Rempah, perubahan iklim mengubah pola pertumbuhan tanaman obat, memengaruhi pengetahuan turun-temurun, dan menggoyahkan ekonomi lokal yang bergantung pada pertanian tumbuhan obat.

Di India, menyusutnya keanekaragaman hayati dan kurangnya sumber daya air di Pegunungan Himalaya menyebabkan tekanan pada pertanian. Di banyak tempat, para petani beralih ke tanaman komersial dan meninggalkan budidaya tanaman herbal.

Di Indonesia, menurut artikel berjudul "Climate change impact on medicinal plants in Indonesia” yang dimuat di jurnal ilmiah Global Ecology and Conservation, lebih dari separuh populasi spesies tanaman obat akan kehilangan hingga 80% wilayah sebarannya dalam beberapa puluh tahun ke depan. Jenis tanaman obat di Papua, Jawa, dan Sulawesi diperkirakan mengalami penurunan wilayah sebaran terbesar.

Pertanyaan tentang keberlanjutan ayurveda dan jamu kini mengemuka, sehingga memerlukan tanggapan bijaksana dan adaptif.

Dalam menghadapi tantangan ini, diperlukan pendekatan proaktif yang menggabungkan praktik pertanian lestari dan kerja sama komunitas untuk mengoptimalkan kualitas tanaman obat dan sekaligus menjaga keseimbangan alam.

Edukasi publik pun menjadi vital, seperti memperkenalkan manfaat ayurveda dan jamu melalui berbagai program yang menjangkau semua lapisan masyarakat. Festival, workshop, seminar, dan kelas maupun demo masak memperkaya pengetahuan tentang bahan alami dan prinsip-prinsip kesehatan ini.

Berbagai pihak perlu mendukung upaya penelitian dan dokumentasi untuk melestarikan pengetahuan tradisional dan memahami dampak perubahan iklim terhadap tanaman obat.

Teknologi dan media sosial serta pengalaman seperti tur virtual dapat membawa dimensi baru dalam penyebaran dan pemahaman ayurveda dan jamu, serta mengundang rasa ingin tahu dan apresiasi yang lebih luas.

Ayurveda dan jamu tidak hanya merupakan peninggalan dari masa lampau, keduanya terus beradaptasi, menawarkan cara hidup yang menyelaraskan diri dengan ritme alam. Di tengah krisis iklim, peran ayurveda dan jamu menjadi semakin nyata, khususnya dalam menjaga warisan budaya dan kesehatan manusia maupun Planet Bumi.

Sumber: https://gbn.top/index.php/berpikir-merdeka/ayurveda-jamu-tradisi-lintas-zaman

Peter Maurer

TOKYO (Kyodo) -- Peter Maurer, former president of the International Committee of the Red Cross, is among the 103 foreigners recognized in this year's fall decorations for their notable contributions to Japan, the government said Friday.

Maurer, 66, a Swiss diplomat who served as the head of the ICRC from 2012 to 2022, will be bestowed with the Grand Cordon of the Order of the Rising Sun, the highest honor to be conferred in the fall commendations.

During his presidency, Maurer met with atomic bomb survivors in Hiroshima and Nagasaki, and prioritized strengthening humanitarian diplomacy.

Maurer said he was surprised, but honored, to receive a decoration from Japan that holds a special and significant meaning.

The foreign recipients hail from 54 countries and regions, with 27 of them women.

Four other foreigners besides Maurer will be granted the highest honor, including Thomas Daschle, 75, one of the longest serving U.S. Senate Democratic leaders in history, and Nguyen Thi Kim Ngan, 69, former chairwoman of the National Assembly of Vietnam.

Noer Hassan Wirajuda, 75, and Abdulaziz Kamilov, 75, former foreign ministers of Indonesia and Uzbekistan, respectively, will also receive the highest honor.

Meanwhile, Richard Haass, 72, president emeritus of the U.S. Council on Foreign Relations, will be among those receiving the Order of the Rising Sun, Gold and Silver Star.

A total of 4,075 individuals will be recognized this fall, with women accounting for 411, or 10 percent, and 1,913, or 47 percent, from the private sector.

Among Japanese recipients, Toshizo Ido, 78, a former governor of Hyogo Prefecture in western Japan, will be bestowed with the Grand Cordon of the Order of the Rising Sun.

Composer Joe Hisaishi, 72, famed for writing the music for Studio Ghibli films, is among those set to receive the Order of the Rising Sun, Gold Rays with Rosette.

Yoshitaka Akimoto, 70, former grand master of the ceremonies at the Imperial Household Agency, and Teruhiko Kawato, 70, former president of the Board of Audit of Japan, are the two recipients this fall of the Grand Cordon of the Order of the Sacred Treasure, an order awarded to civil servants for their long-term contributions.

The decorations will be conferred at the Imperial Palace in Tokyo next Wednesday, with Emperor Naruhito bestowing the Grand Cordon of the Order of the Rising Sun and the Grand Cordon of the Order of the Sacred Treasure.

Prime Minister Fumio Kishida will hand out the Order of the Rising Sun, Gold and Silver Star, and the Order of the Sacred Treasure, Gold and Silver Star.

Sumber: https://mainichi.jp/english/articles/20231103/p2g/00m/0na/007000c

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Jepang pada 3 November 2023, mengumumkan penganugerahan ‎bintang jasa ‎musim gugur 2023, kepada tiga WNI atas jasa-jasa mereka dalam memperkokoh ‎hubungan antara Jepang dan Indonesia.‎ Penghargaan pertama diberikan pada Noer Hassan Wirajuda, mantan Menteri Luar Negeri RI yang mendapat tanda jasa Grand Cordon of the Order of the Rising Sun

Penghargaan ini diberikan karena Hassan dinilai telah memberikan kontribusi bagi peningkatan hubungan dan persahabatan antara ‎Jepang dan Indonesia.‎ Hassan menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RI di bawah Pemerintahan mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri pada tahun 2001 dan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada periode pertama. Selama menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, Hassan dinilai telah berupaya ‎meningkatkan hubungan antara Jepang dan Indonesia dalam berbagai bidang, terutama ‎pada berbagai kesempatan kunjungan petinggi yang penting dari kedua negara, sebagai ‎pemimpin otoritas diplomasi pihak Indonesia - Hassan dinilai telah menyukseskan berbagai ‎kunjungan penting tersebut, sehingga berkontribusi besar untuk mendorong hubungan ‎persahabatan di antara kedua negara. Selain itu, Hassan juga berupaya ‎meningkatkan hubungan kedua negara menjadi Kemitraan Strategis dan berhasil ‎mewujudkannya. ‎

Orang kedua yang mendapat penghargaan dari Pemerintah Jepang adalah M. Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan ‎Rakyat (PUPR). Basuki mendapatkan tanda jasa The Order of the Rising Sun, Gold and Silver Star. Kedutaan Besar Jepang di Jakarta dalam keterangan menjelaskan Basuki dinilai telah berkontribusi meningkatkan hubungan Jepang dan ‎Indonesia di bidang infrastruktur.

Basuki berkontribusi bagi peningkatan proyek kerja sama ‎ekonomi antara kedua negara yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur dasar, di antaranya pembangunan jalan melalui berbagai jabatan yang pernah diduduki ‎seperti saat menjabat sebagai Dirjen Sumber Daya Air dan Dirjen Penataan Ruang, ‎Kementerian PUPR, hingga jabatan sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ‎‎(PUPR) sejak 2014.

Pengetahuan dan pengalaman yang didapat dari proyek pengendalian ‎erosi gunung berapi (Sabo) di Gunung Merapi, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, ‎telah menjadi masukan bagi proyek Sabo di Pulau Sakurajima dan Gunung Unzen Fugen-‎dake di Jepang. Kerjasama Jepang di Indonesia seperti ini telah memberikan kontribusi ‎yang besar bagi pengembangan pencegahan bencana gunung berapi bukan hanya di ‎Indonesia tetapi juga di Jepang. ‎

Terakhir, penghargaan diberikan pada Djodjok Soepardjo, Profesor dari Universitas Negeri Surabaya. Djodjok mendapat tanda jasa The Order of the Rising Sun, Gold Rays with Neck Ribbon. Djodjok dinilai berkontribusi pada peningkatan pertukaran akademik dan saling ‎pengertian antara Jepang dan Indonesia.

Djodjok adalah dosen Bahasa Jepang di Universitas Negeri ‎Surabaya (UNESA) sejak 1983, dan pernah menjabat sebagai Kepala ‎Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang dan Wakil Rektor bidang Perencanaan dan ‎Kerjasama. Djodjok memberikan kontribusi dengan mengajar banyak calon guru bahasa ‎Jepang di UNESA. Sebagai salah seorang profesor ahli bidang linguistik bahasa Jepang, ‎Djodjok berupaya membimbing akademisi muda bidang bahasa Jepang dan memajukan ‎pengembangan studi Bahasa Jepang di Indonesia.

Tak berhenti di situ saja, Djodjok juga ‎menawarkan kursus bahasa Jepang kepada peminat bahasa Jepang dari berbagai kalangan ‎melalui International Multicultural (I'Mc) Center yang didirikan pada 2005. Sejak 2018, Djodjok menjabat sebagai Ketua Asosiasi Studi Pendidikan Bahasa ‎Jepang Indonesia (ASPBJI) dan berkontribusi besar terhadap sosialisasi dan ‎perkembangan pendidikan bahasa Jepang di Indonesia termasuk penguatan jaringan ‎pengajar bahasa Jepang.

Sumber: https://dunia.tempo.co/amp/1792111/3-wni-dapat-penghargaanbintang-jasa-jepang-2023

The Embassy of India in Jakarta, and the Negeri Rempah Foundation cordially invite you for the celebration of Ayurveda Day.

Tuesday, 7 November 2023
16.00 hrs - onward

Jawaharlal Nehru India Cultural Center (JNICC) Auditorium Embassy of India 
Gama Tower, 27th floor, Jl. HR. Rasuna Said Kav. C22, Kuningan Setiabudi, Jakarta

Ayurveda, an ancient medical system with deep roots in herbal practices, is important around the world. To celebrate Ayurveda Day, the Indian Embassy and the Negeri Rempah Foundation invite you to learn more about the spices, herbs, jamu, food, and rich traditional heritage that India and Indonesia share, based on the ancient wisdom of both countries. Join our afternoon chat with the experts to learn more about remedies, the fascinating history and stories behind spices!

Meet our speakers:

  • Dr. Pallavi Khetan (Ayurvedic Doctor)
  • Nova Dewi Setiabudi (Jamu Expert / Mixologist, Suwe Ora Jamu)
  • Dr. Moh. Fathi Royyani (Anthropologist, The Ethnobiological Society of Indonesia / National Research and Innovation Agency (BRIN)
  • Kidangan Thomas Leo (Senior Manager Product & Training, International Marketing of Himalaya)
  • Amanda Katili Niode, Ph.D (Board of Experts, Negeri Rempah Foundation)
  • Remarks by the Ambassador of India, H.E. Shri Sandeep Chakravorty.

RSVP:  or scan the qr code in the flyer.

20231102 the celebration of 8th ayurveda day

Jakarta - Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB), Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) membedah buku berjudul "Rumah di Tanah Rempah: Perjalanan Memaknai Rasa dan Aroma Indonesia". Acara tersebut digelar dalam kemasan program Forum Diskusi Seri 64 melalui daring, Senin (28/08). Forum diskusi ini menghadirkan pembicara Nurdiyansah Dalidjo selaku Penulis buku tersebut yang juga seorang Jurnalis, serta Dewi Kumoratih dari Negeri Rempah Foundation. 

Kepala PRMB, Lilis Mulyani mengapresiasi penulis buku tersebut. Ia mengatakan, forum diskusi yang kebanyakan diselenggarakan daring tersebut untuk mendiskusikan gagasan-gagasan para peneliti yang ada di dalam jejaring PRMB. "Salah satu kegiatan diplomasi Indonesia di kancah global, khususnya UNESCO, yaitu Indonesia yang sedang mengajukan jalur rempah sebagai bagian dari warisan budaya dunia," tuturnya.

Menurut Lilis, dukungan dari dunia akademik dan pengumpulan atau akumulasi pengetahuan dan hasil riset yang telah dilakukan sangat penting untuk mendukung upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia. Seperti halnya, buku ini bisa menjadi salah satu dari pengetahuan yang bisa digunakan untuk mendorong dan mendukung diplomasi budaya global Indonesia tentang jalur rempah. 

Penulis yang dengan sapaan akrabnya Diyan, mengungkap latar belakangi penulisan buku berdasarkan pengalaman tentang kekurangpahaman soal konteks dari kolonialisme dulu ketika menjajah Indonesia. Selain itu, bagaimana memaknai identitas orang Indonesia di tengah berbagai keberagaman. Berangkat dari itu, tentu ada hal yang paling penting soal rasa dan aroma makanan, karena tradisi dan budaya rempah-rempah itu banyak sekali. Bahkan sampai sekarang dominan dan melekat di dalam tradisi dan budaya terhadap kuliner seperti kopi, jamu, dan lain-lain. 

"Nggak semua sebetulnya, cerita-cerita tentang perdagangan rempah dan warisan dari perdagangan rempah atau warisan dari kolonialisme dalam konteks Indonesia sebagai negara pasca kolonial yang merdeka. Karena penjajahan itu juga punya banyak sekali cerita yang tergabung dengan konflik," ungkapnya beralasan. Bahkan mungkin saja warisan itu juga sampai sekarang masih ada dan akan perlu terus dibicarakan dan dirawat, dalam konteks agar kita tidak lupa dan peristiwa itu tidak terulang Kembali.

Diyan menambahkan, kemungkinan dominan dari buku ini adalah perjalanannya waktu itu karena terinspirasi dari buku Ananta Toer tentang pantai utara Jawa. Contohnya, jalur Pantura yang dulu namanya Jalan Raya Pos atau Jalan Raya Daendels. Karena diinisiasi oleh Daendels, untuk membangun jalan raya sepanjang Anyer sampai Panarukan yang hanya dibangun dalam waktu 1 tahun untuk seluas itu. Akan tetapi juga kemudian dimaknai sebagai sebuah benteng yang sulit untuk diimajinasikan. 

Meskipun namanya benteng pertahanan militer tetapi bentuknya adalah jalan raya yang tentu saja punya konteks sejarah yang sangat penting di masa lalu. Saat itu sebelum kedatangan orang-orang kota dan pesisir di pantai utara Jawa. Jalur itu merupakan salah satu hal ataupun episentrum untuk perdagangan dan juga hubungan diplomatis antara berbagai kerajaan dan juga masyarakat adat di Jawa.  

"Selama berabad-abad mereka belum kedatangan orang kulit putih. Untuk mengenang satu peristiwa revolusi tentang bagaimana perubahan-perubahan ketika Indonesia belum dijajah, masa orde lama, orde baru dan berakhirnya Orde Baru revolusi 98," terangnya.

Diyan melanjutkan, bahwa katakanlah reformasi sebagai anak muda berusaha untuk merenungkan seperti apa warisan rempah-rempah dari sejarah kolonialisme dan menghubungkannya. Pada konteks, anak muda saat ini punya kegelisahan untuk memaknai konteks sejarah dan juga budaya Indonesia, sebagai negara yang merdeka dari penjajahan yang mungkin ampas dari penjajahannya masih bisa kita rasakan sampai saat ini.

Sementara, Dewi mendeskripsikan buku tersebut sebagai sebuah catatan perjalanan mengenai Indonesia melalui jejak perdagangan rempah-rempah. Penjelajahannya dimulai dengan berkunjung ke berbagai wilayah Indonesia dan gagasan tentang ke-indonesiaan yang dikemas sangat ringan dan cair melalui sudut pandang orang pertama. Sehingga buku ini membawa pembaca ikut ke dalam cerita. Hal yang  menarik adalah narasinya selalu diawali dengan sensasi indrawi yang dikaitkan dengan rasa dan aroma makanan dan minuman meskipun tidak harus selalu rempah. 

Sejarah perdagangan rempah rumah Nusantara sebetulnya bukan semata-mata perdagangan rempahnya. Tetapi bagaimana melalui rempah ini, nusantara yang kelak menjadi Indonesia mengalami berbagai macam pergulatan, menuju kawasan yang makmur maju ekonominya sampai ketika Eropa datang dan kemudian terjadi banyak pelanggaran HAM, penindasan, dan lain sebagainya. Ini  menunjukkan bahwa warisan kolonialisme itu masih ada. Meskipun Indonesia sudah merdeka dan narasumber yang menjadi bagian dari penceritaan itu juga ditangkap suara-suaranya, bagaimana mereka memaknai rempah-rempah ini jadi pergulatan kolonialisme ternyata masih terasa sampai hari ini.

Persoalan identitas ini jadi pertemuan antar budaya dan jejak akulturasi yang di jembatani oleh tradisi kuliner. "Ternyata ceritanya panjang sekali dan persoalan yang menyangkut perbedaan etnis, seperti ras dan agama ternyata masih merupakan isu yang crusial typing. Stigma masih terjadi terutama pada masyarakat adat," papar Dewi. 

Jadi, menurutnya, identitas tersebut seolah-olah PR yang penulis. Ia bercerita bagaimana pergulatan masyarakat setempat mempertahankan ruang hidup. Kemudian ada nilai-nilai yang menggeser masyarakat adat dengan tempat asalnya, Serta, bagaimana tanah-tanah ada yang digunakan untuk kepentingan lain dengan dalih kepentingan nasional. Kemudian isu identitas ini juga akhirnya senantiasa muncul di berbagai tempat di Indonesia. 

Dewi menambahkan, adanya  perbendaharaan makanan dan minuman yang berasal dari kekayaan sumber daya alam dan pengetahuan akan rempah-rempah oleh masyarakat setempat ternyata tidak hanya rempah-rempah. Memang semuanya terkait dengan bagaimana jalur perdagangan di masa lalu, yang komunitas utamanya rempah. Namun rempah itu juga bagian dari sumber daya alam yang juga sangat kaya dimiliki oleh Nusantara. Contohnya bagaimana sumber-sumber dan komoditas lain pengganti rempah yang juga dianggap berharga oleh pemerintah kolonial, seperti kopi juga berkontribusi pada pembentukan budaya yang sampai hari ini memberi warna bagi Indonesia. 

"Buku ini dapat menginspirasi kita yang ingin mengenal kembali wajah Indonesia dengan sejujur-jujurnya tidak hanya indah saja, tetapi keindahan itu juga dibentuk dari tempaan kepahitan perjuangan. Sehingga menghasilkan satu kearifan yang memberikan makna mendalam tentang menjadi Indonesia," pungkasnya. (Noor/ed:jml)

Sumber: https://www.brin.go.id/news/114646/dukung-diplomasi-budaya-jalur-rempah-brin-bedah-buku-rumah-di-tanah-rempah

Jakarta - Humas BRIN. International Forum on Spice Route (IFSR) merupakan forum yang membahas berbagai kajian dan riset terkait jalur rempah, terutama jalur rempah Indonesia. Program ini bermula tahun 2019 dari inisiasi Yayasan Negeri Rempah (YNR) bersama jejaring termasuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Lalu tahun 2022 YNR mulai berkolaborasi dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). 

"Semenjak itu, IFSR menjadi bagian dari kegiatan rutin tahunan BRIN, yang salah satunya AB Lapian Memorial Lecture. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan mengembangkan jejaring pada kalangan akademisi dan peneliti untuk membangun komunitas epistemik dengan tema Jalur Rempah," kata Kepala Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB), Lilis Mulyani, pada  Jumat (22/09).

Lilis menjelaskan dari setiap penyelenggaraan IFSR BRIN terus memperkaya materi kajian dan riset, ada banyak tema yang menjadi objek kajian rangkaian IFSR tahun 2023 ini. Untuk itu, sejak awal penyelenggaraan, BRIN menggandeng lebih banyak mitra untuk menyemarakkan momentum internasional tersebut. 

Pada seminar dan diskusi yang berlangsung membahas tema terkait pertemuan global dan pertukaran budaya serta warisan budaya. Sementara, tujuan penyelenggaraan tahun ini untuk mendorong terakumulasinya pengetahuan tentang jalur rempah nusantara dan dunia. 

"Pusat Riset Masyarakat dan Budaya berkeinginan mempertemukan gagasan, pengetahuan, hasil riset dari para akademisi, peneliti, praktisi, mahasiswa, diplomat, pemerintah, dan masyarakat yang terkait jalur rempah," tambahnya.

Semarak ini diungkapkannya sebagai pendorong terwujudnya harapan untuk menjaring berbagai pengetahuan dan pada akhirnya dapat mendukung nominasi Jalur Rempah Indonesia sebagai World Heritage melalui UNESCO.

Sesuai tema besar yang dibahas yaitu "Menghubungkan Kembali Jalur Rempah: Kontribusi Maritim Asia Tenggara terhadap Transformasi Global", membuka peluang kajian lebih meluas lagi untuk melihat jalur rempah dari berbagai sudut pandang kajian. 

Tema tersebut diangkat untuk melihat bahwa masih banyak jalur rempah dari aspek romantis historis masa lalu, padahal jalur rempah adalah jalur yang eksis hingga saat ini. 

"Karena itu kita mencoba melihat eksistensi jalur rempah kontemporer ini dan bagaimana studi atau pengetahuan serta praktik-praktik tentang jalur rempah dapat berkontribusi bagi perkembangan dunia secara regional (wilayah maritim Asia Tenggara) dan global," ungkapnya.

Lebih jauh Lilis berpendapat bahwa dalam konteks riset seluruh topik yang didiskusikan pada kegiatan ini menarik dan penting untuk kedepannya, sedangkan dalam jangka pendek sesuai dengan tema riset di PRMB fokus tentang "komunitas maritim menjadi kunci". 

"Dalam diskusi tentang jalur rempah aspek human paling perlu mendapatkan perhatian lebih serius dibanding aspek komoditasnya. Ini yang masih hilang dalam kebijakan maritim pemerintah. Sementara kita masih terfokus pada aspek lembaga, ekonomi, atau komoditasnya," pungkasnya. (suhe/set)

Sumber: https://brin.go.id/news/115397/brin-dorong-jalur-rempah-indonesia-masuk-nominasi-world-heritage-dari-unesco

Jakarta - Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) jalin kerjasama dengan Yayasan Negeri Rempah menyelenggarakan kegiatan International Forum on Spice Route 2023 (IFSR 2023) dengan tema "Menghubungkan Kembali Jalur Rempah: Kontribusi Maritim Asia Tenggara terhadap Transformasi Global". Rangkaian acara ini dilaksanakan selama empat hari yaitu pada 20-23 September 2023 dalam bentuk hybrid.

Sebuah eksplorasi menarik tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan dari salah satu jaringan perdagangan paling signifikan di dunia. Hal ini dari penelusuran jejak perdagangan rempah-rempah kuno dan dampaknya yang besar terhadap dunia yang kita kenal sekarang. Demikian yang disampaikan Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH), Ahmad Najib Burhani dalam pembukaan IFSR 2023 di Jakarta pada Rabu (20/9).

"Saat ini India sedang sibuk mempromosikan jalur kapas dan jalur lain yang secara historis populer, misalnya Jalur Cinamon dan Jalur Sutra. Semua ini menjadikan forum dengan hakikat Indonesia sebagai negara maritim dan visi menjadi poros maritim global, perjalanan intelektual jalur rempah-rempah, dan kekayaan sejarah maritim Asia Tenggara. Mereka memainkan peran penting dalam membentuk perdagangan rempah-rempah global," ucapnya.

Najib menambahkan, jalur rempah-rempah bukan sekadar jalur perdagangan tetapi jembatan yang menghubungkan budaya, peradaban, dan mimpi. Hal itu di antara banyak komunitas yang telah meninggalkan jejak tak terhapuskan di jalur bersejarah ini.

Diulas pula olehnya, Bajau, Bajao, Bajo atau Bayo sering disebut sebagai pengembara laut atau gipsi laut yang melambangkan semangat maritim Asia Tenggara. Selama berabad-abad, mereka hidup harmonis dengan laut dengan menguasai seni navigasi dan perdagangan.

"Masyarakat Bajau memiliki legalitas dalam bentuk keberanian, kecerdikan, dan kemampuan beradaptasi yang tak terbatas, serta sifat-sifat yang tidak hanya menopang komunitas mereka. Akan tetapi, mereka juga berkontribusi secara signifikan terhadap kekayaan jalur rempah-rempah. Hubungan intim mereka dengan laut telah menjadi pusat pertukaran spesies dan budaya di wilayah yang jauh," imbuhnya.

Berbeda dengan bajau, ungkapnya, Sangihe Talaud atau Orang Sangir merupakan bukti keragaman mosaik yang membentuk sejarah jalur rempah-rempah membentuk bagian utara Asia Tenggara. "Praktik budaya mereka yang unik. Jaringan perdagangan dan kontribusi sejarah telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam narasi kompleks perdagangan rempah-rempah. Komunitas Sangihe Talaud berperan sebagai penjaga dan katalisator jalur rempah-rempah. Mereka berperan sebagai perantara dan kontributor perdagangan rempah-rempah antarbenua, sehingga semakin memperkaya kisah-kisah yang terkuak di sepanjang jalur kuno ini," paparnya.

Kreativitas Adaptasi Manusia dan Konsep Estetika dan Komunitas Maritim

Hari pertama IFSR 2023 terbagi dengan dua panel kegiatan. Panel pertama, membahas isu-isu terkait peran konsep estetika yang mendasari budaya material dan non material, dalam bentuk seni dan kreativitas pada adaptasi manusia di sepanjang jalur rempah-rempah. Diungkapkan di sini, seni adalah suatu bentuk ekspresi yang digunakan untuk mengomunikasikan ide, emosi, pengalaman, dan untuk meningkatkan kesadaran tentang isu-isu penting.

Kebudayaan material mengacu pada benda-benda fisik yang diciptakan dan digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Benda-benda ini dapat mencakup apa saja mulai dari perkakas dan senjata hingga pakaian dan perhiasan. Budaya material dapat digunakan untuk mengekspresikan identitas, kepercayaan, dan nilai melalui pelaksanaan ritual. Hal ini juga dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain dan untuk menciptakan rasa kreativitas masyarakat yaitu kemampuan untuk memunculkan hal-hal baru dan adaptasi.

Panel tersebut ditujukan untuk mengeksplorasi cara-cara di mana budaya material, budaya non material, seni, dan kreativitas digunakan untuk merevitalisasi dan melindungi warisan budaya. Tentu saja juga dibahas tantangan dan peluang ke depan dalam upaya melindungi ekspresi seni yang berada di ambang kepunahan.

Panel selanjutnya ialah tentang Komunitas Maritim, Nelayan, perikanan dan komunitas maritim merupakan isu penting yang semakin penting dalam kancah global. di satu sisi, populasi dunia yang terus meningkat memerlukan pangan yang cukup dan sehat, dan ikan merupakan salah satu komoditas terpenting untuk memenuhi kebutuhan tersebut. di sisi lain, kita menyaksikan meningkatnya krisis perikanan dunia, permasalahan identitas, perbatasan dan batas-batas yang khususnya dihadapi oleh komunitas maritim dalam krisis ini.

Mereka memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perikanan global (ekonomi dan budaya) namun mereka sering hidup dalam kondisi yang buruk di darat dan di Laut. Strategi dan pendekatan baru diperlukan untuk lebih memahami sifat masalah ini dan untuk mengembangkan solusi dengan berbagi pembelajaran dan menginisiasi hubungan antara masyarakat dan komunitas dari berbagai negara yang terhubung melalui jalur rempah-rempah. panel ini menjelajahi inovasi, strategi, dan pendekatan untuk mengatasi tantangan yang dihadapi nelayan dan sektor perikanan.

Bersamaan dengan itu, turut hadir  para narasumber dan moderator diantaranya Kepala Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) BRIN Lilis Mulyani, Peneliti Utama PRMB BRIN  Agus Heri Purnomo, serta Staf Ahli Menteri Bidang Kemaritiman dan Investasi Tukul Rameyo Adi. Selain itu Dewi Kumoratih dan Hassan Wirajuda dari Yayasan Negeri Rempah juga Hilmar Farid dari Kemendikbudristek, dan  Xu Liping dari China Academy of Social.(ANS/ ed. trs)

Sumber: https://www.brin.go.id/news/115410/brin-yayasan-negeri-rempah-jalin-kerja-sama-bahas-rempah-nasional

JAKARTA, jurnal-ina.com – Guna pengajuan “Jalur Rempah” sebagai warisan dunia (world heritage) ke UNESCO, Yayasan Negeri Rempah bersama Yayasan Taut Seni menyelenggarakan Spice & Rice Festival pada 11-16 November 2022 di Bali Collection, ITDC, Nusa Dua, Bali. Festival ini merupakan bagian dari side event forum pertemuan antar Kepala Negara G20 di Nusa Dua, Bali yang dikoordinasikan oleh Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM).

Selaras dengan tema side event G20 yaitu “Local Wisdom for Global Sustainability”, Spice and Rice Festival akan mempromosikan kekayaan rempah dan beras Nusantara untuk mendorong bergeraknya komunitas masyarakat dan pelaku usaha kecil Indonesia meningkatkan peluang kemajuan ekonomi rakyat.

Indonesia adalah negeri kepulauan yang terletak di khatulistiwa beriklim tropis memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (baik di darat dan laut) yang menjadikan Nusantara surga pangan yang tiada habisnya. Salah satunya adalah beras, sumber pangan yang telah dibudidayakan manusia Nusantara sejak zaman Neolitikum. Setidaknya 8.000 jenis padi tumbuh di Nusantara (Rigg, 2002).

Begitu pula dengan rempah. Dari 400-500 jenis tumbuhan yang digunakan sebagai rempah dalam skala dunia, setidaknya 275 jenis rempah merupakan endemik Nusantara (Prosea, 1999). Rempah bukan sekadar bumbu penambah cita rasa makanan, juga merupakan bahan utama obat-obatan. Tak pelak, beras dan rempah menjadi komoditas penting di mata perdagangan Nusantara dari masa ke masa.

Berkah pangan inilah yang senantiasa disyukuri dan dirayakan oleh seluruh masyarakat Nusantara, dalam berbagai tradisi dan wujud. Rempah dan beras hampir selalu ada dalam berbagai ritus kehidupan, kelahiran, perkawinan, kematian, sebagai penolak bala bahkan penyucian diri.

Tradisi masyarakat Nusantara tak bisa dilepaskan dari pangan karena bagaimana mereka menjaga dan mengolah pangan merupakan seni kehidupan (art of life) itu sendiri. Seiring dengan jaman yang berubah, pandemi global Covid-19 menjadi momentum yang menyadarkan kita bahwa ada rantai pengetahuan yang harus dijaga keberlanjutannya, salah satunya adalah kekayaan kosa rasa pangan yang kita miliki.

Untuk menghormati dua warisan alam dan budaya Indonesia yaitu rempah dan beras yang telah diakui dunia, Spice and Rice Festival ini hadir di tengah perhelatan G20.

spice-and-rice-festival-side-event-g20-mengusung-kearifan-lokal-untuk-keberlanjutan-global-rempah2.jpeg

Jenis rempah-rempah Indonesia

“Kami ingin menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia memiliki nilai-nilai budaya yang layak dikontribusikan bagi dunia untuk mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik. Serta mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan yang inklusif, berkesetaraan dan berkeadilan bagi semua,” ujar Kumoratih Kushardjanto, ketua Yayasan Negeri Rempah.

Andar Manik dari Yayasan Taut Seni menambahkan nilai-nilai yang direpresentasikan melalui produk-produk pilihan yang dipamerkan dalam kegiatan ini tidak terbatas pada pangan saja, tetapi juga beragam ekspresi budaya seperti kesenian yang lahir dari tradisi daerah-daerah penghasil beras dan rempah, baik dari pesisir maupun pedalaman.

Selama enam hari ke depan, Spice and Rice Festival akan menyelenggarakan ‘Jamuan Negeri Rempah’ (tradisi makan bersama khas Indonesia) dan ‘Hidangan Rempah’ (tradisi kuliner daerah-daerah penghasil rempah dan beras). Jamuan makan yang menghadirkan sensasi tradisi makan bersama dari beberapa daerah di Indonesia diisi dengan megibung (Bali), bajamba (Minangkabau), bedulang (Belitung), botram (Jawa Barat), tumpengan (Jawa), rimo-rimo (Maluku Utara), serta tradisi makan bersama dari Bone (Sulawesi Selatan).

Selain jamuan makan bersama khas Indonesia, akan hadir pula hidangan rempah asal India dan Timur Tengah yang menunjukkan jejak keterhubungan budaya yang terbentuk dari jalur rempah dari masa ke masa.

Festival ini juga akan menghadirkan ‘Warung Jamu’, ‘Pasar Makanan’ (food fair), serta kedai ‘Lisoi’ yang mengangkat aneka minuman fermentasi lokal seperti tuak dan arak, serta produk fermentasi lainnya termasuk kretek.

Jaringan komunitas pelaku UKM turut pula menghangatkan suasana secara gotong-royong melalui ‘Pasarempah Tumpah’ (pasar produk pangan/non-pangan dan makanan/minuman siap saji yang berkaitan dengan tradisi/budaya dari daerah penghasil beras dan rempah), ‘Toko Kelontong’ (toko aneka produk titipan para pelaku usaha kecil yang berasal dari luar Bali), hingga workshop singkat yang memperkenalkan beragam produk budaya dari rempah dan beras.

Pameran Mini akan menampilkan peta Jalur Rempah dan peta sebaran rempah yang dapat memberikan gambaran singkat tentang jejak perdagangan rempah Nusantara. Tak ketinggalan, pelaku seni tradisi dari beberapa daerah di Indonesia tampil meramaikan festival. “Kami ingin menghadirkan kembali spirit kebersamaan yang melekat pada tradisi Nusantara melalui pangannya,” ucap Kumoratih.

MULIA GINTING – ERWIN TAMBUNAN

Spice and Rice Festival Side Event G20 rempah1

Sumber: https://govnews-idn.com/ragam-dan-kuliner/spice-and-rice-festival-side-event-g20-mengusung-kearifan-lokal-untuk-keberlanjutan-global/

Jakarta (ANTARA) - Komunitas Rasasastra bersama Yayasan Negeri Rempah mengadakan workshop dan literasi seni budaya untuk mengenalkan bermacam rasa rempah pada masyarakat dengan "'Kosa Rasa".

"Rasasastra bekerja sama dengan Yayasan Negeri Rempah membentuk konsep besar, Kosa Rasa. Kosa rasa adalah perbendaharaan rasa akan rempah," ucap Gisel Anindita, perwakilan Rasasastra dan Yayasan Negeri Rempah yang ditemui dalam acara 'Rasasastra Union' di Jakarta, Minggu.

Dalam acara ini, Rasasastra bekerja sama dengan banyak komunitas yang menyajikan bermacam olahan rempah dan tempe seperti Wedangan Q dan Tempe.ide.

Selain itu, juga ada literasi mengenai rempah melalui seni dan budaya dalam dongeng "Ando dan Ramuan Ajaib" yang dibawakan oleh Winson The storytelling family.

Gisel mengatakan ide dibentuknya Yayasan Negeri Rempah ini pada saat pandemi COVID-19, masyarakat disarankan meminum jamu sebagai usaha membentuk daya tahan tubuh. Namun, tidak semua orang menyukai jamu, termasuk anak-anak dan remaja.

"Awal mulanya ada salah satu penggagas Negeri Rempah selama pandemi kita disuruh minum jamu, empon-empon, tapi anak dan remaja enggak mau, bukannya enggak suka, tapi enggak dibiasakan kenal rasa itu," ucap Gisel.

Ia mengatakan Yayasan Negeri Rempah ingin mengenalkan bermacam rasa rempah agar masyarakat terutama anak-anak kenal dengan warisan makanan khas Indonesia dan familiar dengan rasanya.

Melalui Rasasastra, ia berharap masyarakat mudah teredukasi dengan kekayaan rempah Indonesia, salah satunya dengan workshop dan dongeng sebagai alat komunikasinya.

"Kenapa Rasasastra tertarik, karena inline-nya literasi tidak hanya tulisan, tapi juga lisan. Salah satu literasi lisan itu adalah mengajarkan rempah-rempah, tentang banyaknya warisan makanan Indonesia dengan workshop dan dongeng," ucapnya.

Gisel berharap semakin banyak masyarakat mengetahui rasa dari rempah-rempah Indonesia dan bertambahnya komunitas pecinta rempah-rempah.

Selain menyajikan olahan rempah, dalam acara ini juga diadakan workshop belajar aksara Jawa dan penampilan tarian dari Anindaloka.

Pewarta: Fitra Ashari
Editor: Endang Sukarelawati
COPYRIGHT © ANTARA 2022

Sumber: https://www.antaranews.com/berita/3225753/rasasastra-kenalkan-rempah-dengan-literasi-seni-budaya-kosa-rasa

Jakarta (ANTARA) -
Pegiat jamu Puri Lestari mengatakan masyarakat Indonesia sudah banyak melupakan profil rasa jamu karena hilangnya tradisi mengonsumsi jamu.

"Untuk yang biasa minum jamu karena sudah dikasih dari kecil untuk daya tahan, kalo kita-kita di urban sudah hilang tradisi itu karena sudah ada yang kimiawi, tapi kan efeknya beda," ucapnya saat ditemui dalam acara 'Rasasastra Union' di Jakarta, Minggu.

Melalui literasi rempah bersama Rasasastra ini, ia ingin mengembangkan profil rasa dari jamu yang sudah banyak dilupakan masyarakat saat ini dengan preferensi rasa yang lebih akrab di lidah melalui usaha menjual jamu botolan yang dirintisnya.

"Kalau jamu ini ingin kita kemas lagi dengan profil rasa yang bisa lebih masuk ke lidah sekarang seperti apa, karena kita sudah kehilangan kosa rasa tentang rempah itu sendiri," ucap Puri.

Menurut Puri, hilangnya kebiasaan masyarakat mengonsumsi jamu juga dikarenakan memori rasa pahit setiap mengonsumsi jamu dan selalu identik sebagai obat.

Maka itu ia ingin menjadikan konsumsi jamu sebagai bagian dari keseharian seperti kopi, dan menggeser stigma bahwa jamu identik dengan obat dan rasa pahit.

Pengusaha jamu ini juga bekerja sama dengan Yayasan Negeri Rempah, ingin menjadikan petani rempah Indonesia bisa menyaingi negara lain dalam hal ekspor komoditas rempah dengan melakukan pendampingan.

"Di Yayasan Negeri Rempah ini sebenarnya kita banyak pendampingan untuk teman-teman UMKM yang mungkin punya akses ke petani rempah diambil dengan harga yang lebih baik dari tengkulak, dikemas bagus dan dijual," ucapnya.

Namun masih ada beberapa kendala yang dihadapi petani rempah Indonesia seperti kapasitas produksi yang tidak stabil karena masih bergantung dengan cuaca, sehingga belum memenuhi standar untuk ekspor komoditas ke luar negeri.

Pewarta: Fitra Ashari
Uploader : Naryo
COPYRIGHT © ANTARA 2022

Sumber: https://megapolitan.antaranews.com/berita/219085/masyarakat-indonesia-sudah-banyak-hilang-tradisi-mengonsumsi-jamu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pegiat jamu Puri Lestari mengatakan masyarakat Indonesia sudah banyak melupakan profil rasa jamu. Hal tersebut karena sudah semakin hilangnya tradisi mengonsumsi jamu.

"Untuk yang biasa minum jamu karena sudah dikasih dari kecil untuk daya tahan, kalau kita-kita di urban sudah hilang tradisi itu karena sudah ada yang kimiawi. Tapi kan efeknya beda," ucapnya saat ditemui dalam acara 'Rasasastra Union' di Jakarta, Ahad (6/11/2022).

Melalui literasi rempah bersama Rasasastra ini, ia ingin mengembangkan profil rasa dari jamu yang sudah banyak dilupakan masyarakat saat ini. Yaitu dengan preferensi rasa yang lebih akrab di lidah melalui usaha menjual jamu botolan yang dirintisnya.

"Kalau jamu ini ingin kita kemas lagi dengan profil rasa yang bisa lebih masuk ke lidah sekarang seperti apa, karena kita sudah kehilangan kosa rasa tentang rempah itu sendiri," ucap Puri.

Menurut Puri, hilangnya kebiasaan masyarakat mengonsumsi jamu juga dikarenakan memori rasa pahit setiap mengonsumsi jamu dan selalu identik sebagai obat. Maka itu ia ingin menjadikan konsumsi jamu sebagai bagian dari keseharian seperti kopi, dan menggeser stigma bahwa jamu identik dengan obat dan rasa pahit.

Pengusaha jamu ini juga bekerja sama dengan Yayasan Negeri Rempah, ingin menjadikan petani rempah Indonesia bisa menyaingi negara lain dalam hal ekspor komoditas rempah dengan melakukan pendampingan. "Di Yayasan Negeri Rempah ini sebenarnya kita banyak pendampingan untuk teman-teman UMKM yang mungkin punya akses ke petani rempah diambil dengan harga yang lebih baik dari tengkulak, dikemas bagus dan dijual," ucapnya.

Namun masih ada beberapa kendala yang dihadapi petani rempah Indonesia seperti kapasitas produksi yang tidak stabil karena masih bergantung dengan cuaca. Sehingga belum memenuhi standar untuk ekspor komoditas ke luar negeri.

Sumber: https://www.republika.co.id/berita/rkxb0a328/pegiat-nilai-masyarakat-sudah-banyak-melupakan-rasa-jamu

20221106 113826 01

Jakarta (ANTARA) - Pegiat literasi dongeng Wiwin Windrati mengatakan mengenalkan rempah-rempah Indonesia bisa dilakukan dengan mudah pada anak melalui seni bertutur atau dongeng.

"Dongeng adalah satu media yang paling mudah diterima menurut kami, kemudian kami kembangkan ini karena pada saat audiens atau siapapun menonton pertunjukan dongeng enggak akan merasa kaya di ajarin, enggak merasa dilarang," kata Wiwin saat ditemui di acara 'Rasasastra Union' di Jakarta, Minggu.

Ia mengatakan, Indonesia sudah lama akrab dengan dongeng atau cerita mulai dari nenek moyang. Hal itu menjadi sesuatu yang mudah diterima dan sampai ke alam bawah sadar siapapun yang mendengarkan.

Maka itu, dalam acara yang digagas Rasasastra, ia bersama komunitas Winson The Storyteller Family, mengajak anak-anak mengenal rempah-rempah melalui dongeng yang dibalut dengan musik berjudul "Ando dan Ramuan Ajaib".

"Kebetulan 'Ando dan Ramuan Ajaib' ini bentuknya musikalisasi, artinya elemen musik juga sangat kuat disini," ucapnya.

Wanita yang akrab disapa Miss Wiwin itu mengatakan dongeng "Ando dan Ramuan Ajaib" bercerita tentang perjalanan anak laki-laki untuk mencari rempah-rempah demi menolong putri di negeri dongeng.

Gelaran dongeng yang juga menggunakan wayangan ini dilakukan dengan cara 'lesehan' agar semakin dekat dan tidak berjarak dengan anak-anak.

"Gimana rempah jadi jauh sama anak-anak, jadi si Ando ini yang mau mendekatkan rempah jadi suatu yang dekat dengan penyampaian yang sesederhana mungkin supaya mudah tersampaikan," ucap Wiwin.

Grup musik yang ikut mengantarkan cerita "Ando dan Ramuan Ajaib" ini terdiri dari anak-anak berbakat dari bermacam latar belakang genre musik seperti rock, jazz, dan classic. Mereka menjadikan cerita tentang rempah ini lebih mudah diterima anak-anak dengan mengaransemen ulang lagu anak yang sudah ada.

Wiwin berharap dari cerita "Ando dan Ramuan Ajaib", literasi tentang rempah Indonesia akan menyebar ke seluruh dunia dan bisa menyampaikan pesan baik kepada anak-anak agar menjadi kuat terhadap banyak hal.

"Rempah ini adalah elemen akarnya Ando, kalau bicara rempah, bicara Indonesia banyak yang bisa dikaitkan. Berharap ramuan ajaib ini yang bisa membuat anak2 Indonesia kuat terhadap banyak hal," ucap Wiwin.

Pewarta: Fitra Ashari
Editor: Desi Purnamawati
COPYRIGHT © ANTARA 2022

Sumber: https://www.antaranews.com/berita/3226117/mengenalkan-rempah-pada-anak-melalui-dongeng

spice rice festival

Local Wisdom for Global Sustainability
G20 Official Side Event - Future SME Village

🗓️ 11-16 November 2022
📍Selasar Gedung Putih, Bali Collection, ITDC Nusa Dua, Bali

Taking the momentum of the G20 Summit (15-16 November) in Nusa Dua Bali, this festival would like to show the world that Indonesia has cultural values that can contribute to the world ending hunger, achieving food security and better nutrition, as well as supporting sustainable development goals that are inclusive, equal, and fair for all. These values are represented through the best Indonesian products.

  • Jamuan Negeri Rempah (the Indonesian Traditional Communal Banquet) - dinner by reservation
  • Hidangan Rempah (Spice and Rice Cuisine) - lunch by reservation
  • Lisoi…! (Arak and Kretek Lounge)
  • Warung Jamu (Jamu Bar)
  • Pasarempah Tumpah & Toko Kelontong (Pop-Up Food and Spice Market)
  • Sesi Berbagi/Workshop (Sharing Sessions and Workshops) - by reservation

The Spice and Rice Festival is an official side event of the G20 Summit in Nusa Dua Bali, brought to you by Taut Seni Foundation and Negeri Rempah Foundation.

To be part of the Festival, please contact us at:

  • Irma +62 896 48884493
  • Shinta +62 812 3947142
  • Tania +62 821 44329609
  • Wiwit +62 818 02030802
  • Lita +62 812 81442295

* All products will be curated. Terms and conditions applied.

JAKARTA, govnews-idn.com – Guna pengajuan “Jalur Rempah” sebagai warisan dunia (world heritage) ke UNESCO, Yayasan Negeri Rempah bersama Yayasan Taut Seni menyelenggarakan Spice & Rice Festival pada 11-16 November 2022 di Bali Collection, ITDC, Nusa Dua, Bali. Festival ini merupakan bagian dari side event forum pertemuan antar Kepala Negara G20 di Nusa Dua, Bali yang dikoordinasikan oleh Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM).

Selaras dengan tema side event G20 yaitu “Local Wisdom for Global Sustainability”, Spice and Rice Festival akan mempromosikan kekayaan rempah dan beras Nusantara untuk mendorong bergeraknya komunitas masyarakat dan pelaku usaha kecil Indonesia meningkatkan peluang kemajuan ekonomi rakyat.

Indonesia adalah negeri kepulauan yang terletak di khatulistiwa beriklim tropis memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (baik di darat dan laut) yang menjadikan Nusantara surga pangan yang tiada habisnya. Salah satunya adalah beras, sumber pangan yang telah dibudidayakan manusia Nusantara sejak zaman Neolitikum. Setidaknya 8.000 jenis padi tumbuh di Nusantara (Rigg, 2002).

Begitu pula dengan rempah. Dari 400-500 jenis tumbuhan yang digunakan sebagai rempah dalam skala dunia, setidaknya 275 jenis rempah merupakan endemik Nusantara (Prosea, 1999). Rempah bukan sekadar bumbu penambah cita rasa makanan, juga merupakan bahan utama obat-obatan. Tak pelak, beras dan rempah menjadi komoditas penting di mata perdagangan Nusantara dari masa ke masa.

Berkah pangan inilah yang senantiasa disyukuri dan dirayakan oleh seluruh masyarakat Nusantara, dalam berbagai tradisi dan wujud. Rempah dan beras hampir selalu ada dalam berbagai ritus kehidupan, kelahiran, perkawinan, kematian, sebagai penolak bala bahkan penyucian diri.

Tradisi masyarakat Nusantara tak bisa dilepaskan dari pangan karena bagaimana mereka menjaga dan mengolah pangan merupakan seni kehidupan (art of life) itu sendiri. Seiring dengan jaman yang berubah, pandemi global Covid-19 menjadi momentum yang menyadarkan kita bahwa ada rantai pengetahuan yang harus dijaga keberlanjutannya, salah satunya adalah kekayaan kosa rasa pangan yang kita miliki.

Untuk menghormati dua warisan alam dan budaya Indonesia yaitu rempah dan beras yang telah diakui dunia, Spice and Rice Festival ini hadir di tengah perhelatan G20.

Spice_and_Rice_Festival_Side_Event_G20-rempah.jpeg

Beragam santapa”Kami ingin menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia memiliki nilai-nilai budaya yang layak dikontribusikan bagi dunia untuk mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik. Serta mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan yang inklusif, berkesetaraan dan berkeadilan bagi semua,” ujar Kumoratih Kushardjanto, ketua Yayasan Negeri Rempah.

Andar Manik dari Yayasan Taut Seni menambahkan nilai-nilai yang direpresentasikan melalui produk-produk pilihan yang dipamerkan dalam kegiatan ini tidak terbatas pada pangan saja, tetapi juga beragam ekspresi budaya seperti kesenian yang lahir dari tradisi daerah-daerah penghasil beras dan rempah, baik dari pesisir maupun pedalaman.

Selama enam hari ke depan, Spice and Rice Festival akan menyelenggarakan ‘Jamuan Negeri Rempah’ (tradisi makan bersama khas Indonesia) dan ‘Hidangan Rempah’ (tradisi kuliner daerah-daerah penghasil rempah dan beras). Jamuan makan yang menghadirkan sensasi tradisi makan bersama dari beberapa daerah di Indonesia diisi dengan megibung (Bali), bajamba (Minangkabau), bedulang (Belitung), botram (Jawa Barat), tumpengan (Jawa), rimo-rimo (Maluku Utara), serta tradisi makan bersama dari Bone (Sulawesi Selatan).

Selain jamuan makan bersama khas Indonesia, akan hadir pula hidangan rempah asal India dan Timur Tengah yang menunjukkan jejak keterhubungan budaya yang terbentuk dari jalur rempah dari masa ke masa.

Festival ini juga akan menghadirkan ‘Warung Jamu’, ‘Pasar Makanan’ (food fair), serta kedai ‘Lisoi’ yang mengangkat aneka minuman fermentasi lokal seperti tuak dan arak, serta produk fermentasi lainnya termasuk kretek.

Jaringan komunitas pelaku UKM turut pula menghangatkan suasana secara gotong-royong melalui ‘Pasarempah Tumpah’ (pasar produk pangan/non-pangan dan makanan/minuman siap saji yang berkaitan dengan tradisi/budaya dari daerah penghasil beras dan rempah), ‘Toko Kelontong’ (toko aneka produk titipan para pelaku usaha kecil yang berasal dari luar Bali), hingga workshop singkat yang memperkenalkan beragam produk budaya dari rempah dan beras.

Pameran Mini akan menampilkan peta Jalur Rempah dan peta sebaran rempah yang dapat memberikan gambaran singkat tentang jejak perdagangan rempah Nusantara. Tak ketinggalan, pelaku seni tradisi dari beberapa daerah di Indonesia tampil meramaikan festival. “Kami ingin menghadirkan kembali spirit kebersamaan yang melekat pada tradisi Nusantara melalui pangannya,” ucap Kumoratih.

MULIA GINTING – ERWIN TAMBUNAN

Spice_and_Rice_Festival_Side_Event_G20-rempah1.jpeg

Sumber: https://govnews-idn.com/ragam-dan-kuliner/spice-and-rice-festival-side-event-g20-mengusung-kearifan-lokal-untuk-keberlanjutan-global/

JAKARTA,suaramerdeka-jakarta.com - Dalam rangka pengajuan “Jalur Rempah” sebagai warisan dunia (world heritage) ke UNESCO, Yayasan Negeri Rempah bersama Yayasan Taut Seni menyelenggarakan Spice & Rice Festival pada 11-16 November 2022 di Bali Collection, ITDC, Nusa Dua, Bali. Festival ini merupakan bagian dari side event forum pertemuan antar Kepala Negara G20 di Nusa Dua, Bali, yang dikoordinasikan oleh Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM).

Selaras dengan tema side event G20 yaitu "Local Wisdom for Global Sustainability", Spice and Rice Festival akan mempromosikan kekayaan rempah dan beras Nusantara di dalam rangka mendorong bergeraknya komunitas masyarakat dan pelaku usaha kecil Indonesia untuk meningkatkan peluang kemajuan ekonomi rakyat.

Indonesia adalah negeri kepulauan yang terletak di khatulistiwa beriklim tropis memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (baik di darat dan laut) yang menjadikan Nusantara surga pangan yang tiada habisnya. Salah satunya adalah beras, sumber pangan yang telah dibudidayakan manusia Nusantara sejak zaman Neolitikum. Setidaknya 8.000 jenis padi tumbuh di Nusantara (Rigg, 2002).

Begitu pula dengan rempah. Dari 400-500 jenis tumbuhan yang digunakan sebagai rempah dalam skala dunia, setidaknya 275 jenis rempah merupakan endemik Nusantara (Prosea, 1999). Rempah bukan sekadar bumbu penambah cita rasa makanan; juga merupakan bahan utama obat-obatan. Tak pelak, beras dan rempah menjadi komoditas penting yang menjadi mata perdagangan Nusantara dari masa ke masa.

Berkah pangan inilah yang senantiasa disyukuri dan dirayakan oleh seluruh masyarakat Nusantara, dalam berbagai tradisi dan wujudnya. Rempah dan beras hampir selalu ada dalam berbagai ritus kehidupan: kelahiran, perkawinan, kematian, sebagai penolak bala bahkan penyucian diri.

Tradisi masyarakat Nusantara tak bisa dilepaskan dari pangan karena bagaimana mereka menjaga dan mengolah pangan merupakan seni kehidupan (art of life) itu sendiri. Seiring dengan jaman yang berubah, pandemi global Covid-19 menjadi momentum yang menyadarkan kita bahwa ada rantai pengetahuan yang harus dijaga keberlanjutannya, salah satunya adalah kekayaan kosa rasa pangan yang kita miliki.

Untuk menghormati dua warisan alam dan budaya Indonesia yaitu rempah dan beras yang telah diakui dunia, Spice and Rice Festival ini hadir di tengah perhelatan G20.

"Kami ingin menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia memiliki nilai-nilai budaya yang layak dikontribusikan bagi dunia untuk mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik, serta mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan yang inklusif, berkesetaraan dan berkeadilan bagi semua," ujar Kumoratih Kushardjanto, ketua Yayasan Negeri Rempah.

Andar Manik dari Yayasan Taut Seni menambahkan nilai-nilai yang direpresentasikan melalui produk-produk pilihan yang dipamerkan dalam kegiatan ini tidak terbatas pada pangan saja, tetapi juga beragam ekspresi budaya seperti kesenian yang lahir dari tradisi daerah-daerah penghasil beras dan rempah, baik dari pesisir maupun pedalaman.

Selama enam hari ke depan, Spice and Rice Festival akan menyelenggarakan ‘Jamuan Negeri Rempah’ (tradisi makan bersama khas Indonesia) dan ‘Hidangan Rempah’ (tradisi kuliner daerah-daerah penghasil rempah dan beras).

Jamuan makan yang menghadirkan sensasi tradisi makan bersama dari beberapa daerah di Indonesia diisi dengan megibung (Bali), bajamba (Minangkabau), bedulang (Belitung), botram (Jawa Barat), tumpengan (Jawa), rimo-rimo (Maluku Utara), serta tradisi makan bersama dari Bone (Sulawesi Selatan).

Selain jamuan makan bersama khas Indonesia, akan hadir pula hidangan rempah asal India dan Timur Tengah yang menunjukkan jejak keterhubungan budaya yang terbentuk dari jalur rempah dari masa ke masa.

Festival ini juga akan menghadirkan ‘Warung Jamu’, ‘Pasar Makanan’ (food fair), serta kedai ‘Lisoi’ yang mengangkat aneka minuman fermentasi lokal seperti tuak dan arak, serta produk fermentasi lainnya termasuk kretek. Jaringan komunitas pelaku UKM turut pula menghangatkan suasana secara gotong-royong melalui ‘Pasarempah Tumpah’ (pasar produk pangan/non-pangan dan makanan/minuman siap saji yang berkaitan dengan tradisi/budaya dari daerah penghasil beras dan rempah), ‘Toko Kelontong’ (toko aneka produk titipan para pelaku usaha kecil yang berasal dari luar Bali), hingga workshop singkat yang memperkenalkan beragam produk budaya dari rempah dan beras.

Pameran Mini akan menampilkan peta Jalur Rempah dan peta sebaran rempah yang dapat memberikan gambaran singkat tentang jejak perdagangan rempah Nusantara. Tak ketinggalan, pelaku seni tradisi dari beberapa daerah di Indonesia turut tampil meramaikan festival. "Kami ingin menghadirkan kembali spirit kebersamaan yang melekat pada tradisi Nusantara melalui pangannya," ucap Kumoratih.***(sh)

Sumber: https://jakarta.suaramerdeka.com/nasional/pr-1345392901/spice-and-rice-festival-side-event-g20-mengusung-kearifan-lokal-untuk-keberlanjutan-global

072754400-1666072781-830-556.jpg

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Negeri Rempah bersama Yayasan Taut Seni akan menyelenggarakan Spice & Rice Festival pada 11-16 November 2022 di Bali Collection, ITDC, Nusa Dua, Bali. Festival merupakan bagian dari side event forum pertemuan G20 yang dikoordinasikan oleh Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) RI.

Selaras dengan tema side event G20, yaitu "Local Wisdom for Global Sustainability", Spice and Rice Festival akan mempromosikan kekayaan rempah dan beras Nusantara. Kegiatan bertujuan mendukung pergerakan komunitas masyarakat dan pelaku usaha kecil Indonesia untuk meningkatkan peluang kemajuan ekonomi rakyat.

Ketua Yayasan Negeri Rempah, Kumoratih Kushardjanto, menyampaikan bahwa beras merupakan sumber pangan yang telah dibudidayakan manusia di Nusantara sejak zaman Neolitikum. Setidaknya ada 8.000 jenis padi yang tumbuh di Nusantara. Sementara, dari 400-500 jenis tumbuhan yang digunakan sebagai rempah di dunia, setidaknya 275 jenis rempah merupakan endemik Nusantara. Rempah bukan sekadar bumbu penambah cita rasa makanan, tetapi juga merupakan bahan utama obat-obatan.

Kumoratih mengatakan, beras dan rempah menjadi komoditas penting yang menjadi mata perdagangan Nusantara dari masa ke masa. Berkah pangan tersebut senantiasa disyukuri dan dirayakan oleh masyarakat Nusantara, dalam berbagai tradisi dan wujudnya.

Rempah dan beras hampir selalu ada dalam berbagai ritus kehidupan, termasuk kelahiran, perkawinan, kematian, sebagai penolak bala, bahkan penyucian diri. Untuk menghormati dua warisan alam dan budaya Indonesia yaitu rempah dan beras, Spice and Rice Festival hadir di tengah perhelatan G20.

"Kami ingin menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia memiliki nilai-nilai budaya yang layak dikontribusikan bagi dunia untuk mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik, serta mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan yang inklusif, berkesetaraan dan berkeadilan bagi semua," ujar Kumoratih lewat pernyataan resminya.

Produk-produk pilihan akan dipamerkan dalam kegiatan mendatang. Tidak terbatas pada pangan, tetapi juga beragam ekspresi budaya. Misalnya, kesenian yang lahir dari tradisi daerah-daerah penghasil beras dan rempah, baik dari wilayah pesisir maupun pedalaman Indonesia.

Spice and Rice Festival juga menghadirkan tradisi makan bersama khas Indonesia dan tradisi kuliner daerah-daerah penghasil rempah dan beras. Hadir pula hidangan rempah asal India dan Timur Tengah yang menunjukkan jejak keterhubungan budaya yang terbentuk dari jalur rempah dari masa ke masa.

Pengunjung festival juga bisa menyambangi warung jamu, pasar makanan, serta kedai yang mengangkat aneka minuman fermentasi lokal dan produk kretek. Ada pula pasarempah tumpah, toko kelontong, pameran mini, serta berbagai lokakarya.

n Shelbi Asrianti

Sumber: https://republika.co.id/berita/rkkglj328/spice-and-rice-festival-promosikan-beras-dan-rempah-nusantara