Dalam Jurnal Treubia Vol. 46 yang dirilis oleh LIPI (kini BRIN) pada Desember 2019, terdapat catatan mengenai penemuan empat jenis kumbang dari genus Epholcis, yaitu E. acutus, E. arcuatus, E. cakalele, dan E. obiensis. Kemmpat jenis kumbang ini tersebar di wilayah Maluku Utara, seperti Halmahera, Obi, dan Ternate.
Dengan penemuan empat spesies baru ini, beserta dengan lima jenis sebelumnya (E. divergens, E. gracilis, E. bilobiceps, E. longior, dan E. uniformis) dan satu jenis yang ditransfer dari genus lain (E. moluccanus yang sebelumnya dimasukkan ke dalam genus Maechidius), maka terdapat 10 jenis kumbang Epholcis yang sudah teridentifikasi. Para peneliti menduga bahwa kumbang Epholcis ini juga tersebar di Papua (yang sejauh ini diidentifikasi sebagai kumbang Maechidius karena memiliki banyak kesamaan), Sulawesi, dan Nusa Tenggara.
Kumbang Epholcis digolongkan sebagai hewan nokturnal. E. arcuatus menjadi salah satu spesies yang cukup menjadi perhatian karena ia memakan bunga cengkeh. Kebiasaan mengkonsumsi tumbuhan juga ditemukan pada E. bilobiceps asal Australia yang memakan eukaliptus di sana.
Penemuan ini menunjukkan keanekaragaman hayati yang tinggi dan bernilai di Indonesia, khususnya di Maluku Utara.
Data dan Foto: Narakusumo, Raden Pramesa dan Balke, Michael. (2019). Treubia Vol.46: Four New Species of Epholcis Waterhouse, 1875 (Coleoptera: Scarabaeidae: Melolonthinae: Maechidiini) from the Moluccas, Indonesia
Selengkapnya
Pada 2019 lalu, publik dikejutkan dengan salah satu video unggahan Presiden Joko Widodo yang tampak sedang menikmati minuman jamu yang merupakan campuran rempah temulawak, jahe, dan kunyit. Hasil tumbukan ketiga rempah tersebut kemudian dicampur dengan air panas, lalu disaring dan diminum. Jokowi menuturkan bahwa ia telah mengkonsumsi ramuan ini bahkan sejak 2002 silam, jauh sebelum pandemi COVID-19 muncul di tanah air. Menurutnya, konsumsi minuman kesehatan juga harus dibarengi dengan pola hidup sehat lainnya seperti berolahraga dan mengkonsumsi vitamin tambahan.
Dilansir dari penelitian Prof. Dr. Chairul A. Nidom, drh., MS (Universitas Airlangga), kandungan curcumin pada empon-empon selain dapat meningkatkan daya tahan tubuh, juga mencegah kerusakan paru-paru lebih lanjut pada orang yang telah terpapar.
Nusantara adalah hamparan lautan yang ditaburi kepulauan. Dengan kondisi geografis demikian, dunia maritim menjadi pusat kehidupan masyarakat Asia Tenggara. Berbagai aktivitas seperti, berdagang, sistem transportasi, aktivitas politik, hingga aktivitas sosial lainnya tidak dapat terlepas dari eksistensi sungai, danau, dan laut. Keanekaragaman flora dan fauna juga menstimulasi aktivitas perdagangan antardaerah, jauh maupun dekat. Teknologi kelautan yang maju seperti jenis perahu, sistem navigasi, dan perniagaan menjadi ciri khas masyarakat maritim Nusantara. Lebih jauh lagi, manusia laut ini melebur dengan kebudayaan maritim yang kompleks.
Kemajuan dalam bidang maritim dan perjumpaan dengan pedagang nan jauh dari Arab dan China memicu kemunculan berbagai pelabuhan yang dikelola oleh kerajaan-kerajaan maritim. Dari perdagangan dan perniagaan, simpul jalur-jalur maritim terbentuk menyatukan Banten dan Malaka, Malaka dan Maluku, Tuban dan Sumba Opu, Jepara dan Ternate, dan lain sebagainya, hingga Nusantara menjadi arus kuat dari selatan ke utara serta dari timur ke barat. Ini menjadi bukti bahwa laut memiliki posisi sentral dalam kehidupan masyarakat Nusantara. Hal ini kian dipertegas oleh majunya sistem hukum perundang-undangan pelayaran dan perdagangan, seperti Amanna Gappa.
Tak butuh waktu lama bagi arus balik dari utara ke selatan dan dari barat ke timur datang dengan ideologi ekspansionis dan senjatanya. Ini membuat beberapa simpul maritim Nusantara seolah hancur oleh gelombang tsunami dalam semalam. Beberapa kebudayaan maritim, baik yang tumbuh dalam hukum adat hingga di bawah kekuasaan feodal lokal berangsur-angsur hilang. Mataram yang semula memiliki pelabuhan hebat seperti Tuban, Surabaya, dan Jepara tunduk dalam kuasa asing (kolonial). Cukup rumit memang untuk dapat mengerti cara kolonial untuk menguasai lautan Nusantara, perdebatan yang mengatakan kekuasaan lokal runtuh karena konflik internal dan eksternal.
Perahu kora-kora yang semula menjadi bagian dari perniagaan dan kebudayaan maritim berubah menjadi perahu patroli VOC dan Ternate dalam Pelayaran Hongi. Kebudayaan laut di pesisir pantai Jawa Utara berangsur hilang dengan berpindahnya kekuasaan dari Sultan Pakubuwana II kepada VOC. Kekalahan Gowa terhadap VOC dengan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya, menjadikan Gowa yang semula menjadi kerajaan maritim paling disegani di lautan Sulawesi kehilangan taringnya. Beberapa contoh kasus diatas cukup menggambarkan kenyataan surutnya laut Nusantara dalam arus besar sejarah. Dalam arus kecil sejarah, sejarah mencatat bahwa keterbatasan akses perniagaan di berbagai wilayah menjadi tanda buruk bagi keberlangsungan kebudayaan maritim Nusantara. Seperti contoh, masyarakat ulayat Kepulauan Seram yang tidak dapat lagi menjual hasil kebunnya kepada pedagang lokal karena akses perniagaan yang ditutup. Masyarakat Banda yang semula menjadi ujung jarum kompas dunia kini harus tenggelam dengan darahnya sendiri. Lasem yang semula menjadi identitas diversitas budaya, kini harus bersembunyi di balik isu rasialitas.
Hingga sampailah kita pada kesimpulan bahwa orang laut masih memunggungi laut. Raja laut bukan lagi berwujud penguasa feodal atau kolonial, namun perusahaan asing yang bebas untuk menangkap ikan dalam jumlah yang besar. Sangat relevan bahwasannya penjajahan tidak pernah hengkang, namun hadir dalam bentuk yang lain. Dalam hal ini, laut yang katanya memiliki posisi sentral dalam kehidupan masyarakat Nusantara kembali dipertanyakan. Akankah kita melihat laut bukan lagi sebagai pemisah, tetapi pemersatu? Sudikah bila kita berpaling untuk melihat kembali laut?
Daftar Pustaka
• Lapian, A. B. (2009). Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Depok: Komunitas Bambu.
• Lapian, A. B. (2008). Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17. Depok: Komunitas Bambu.
• Peter Boomgaard (ed). (2007). A World of Water: Rain, River, and Seas in Southeast Asian Histories. Leiden: KITLV Press.
• Groeneveldt, W. P. (2009). Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
• Parthesius, R. (2010). Dutch ships in tropical waters: The Development of the Dutch East India Company (VOC) shipping network in Asia 1595-1660. Amsterdam: Amsterdam University Press.
• Vlekke, B. H. M. (2010). Nusantara: Sejarah Indonesia. (Samsudin Berlian, Trans.). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
• Ham, O. H. (2018). Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang. Jakarta: Gramedia.
Penulis: Raymizard Alifian Firmansyah
Editor: Pinpin Cahyadi
Pencemaran tidak hanya dapat terjadi pada air dan udara, namun juga pada tanah. Keberadaan limbah rumah tangga, industri, serta penggunaan pestisida yang berlebihan ikut mempengaruhi struktur tanah dan tanaman yang tumbuh di atasnya.
Limbah terbagi menjadi dua, yaitu yang diakibatkan dari kumpulan sampah organik serta anorganik. Meski sampah organik seperti bagian tumbuhan, hewan, dan kertas dapat diuraikan oleh mikroorganisme tanah (dekomposer), namun bila jumlahnya terlalu banyak, maka tetap saja dapat mempengaruhi kualitas tanah.
Sebagai contoh, di wilayah Desa Kupuk, Kecamatan Bungkal, Jawa Timur, terdapat area yang dijadikan tempat pembuangan limbah jamu oleh warga sekitar. Karena panas berlebih, maka memicu pembentukan api dari dalam tanah. Pestisida memiliki nama lain biosida, yaitu bahan kimia yang diciptakan untuk membunuh organisme. Penggunaan pestisida secara berlebihan tanpa perhitungan dan perencanaan yang baik tidak hanya sekadar berdampak pada pencemaran tanah, namun juga turut membunuh organisme nontarget, seperti cacing tanah dan dekomposer lainnya. Hal yang sama juga akan terjadi ketika limbah kimia dari industri merembes ke dalam tanah.
Upaya untuk memulihkan atau membersihkan tanah dari bahan pencemar dikenal dengan nama remediasi. Proses ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara in-situ dan ex-situ. Remediasi di tempat asalnya (in-situ) dapat menggunakan bantuan organisme hidup seperti bakteri dan jamur (bioremediasi) atau menggunakan tanaman (fitoremediasi). Sedangkan, remediasi ex-situ dilakukan dengan cara membawa tanah untuk kemudian diberi zat pembersih dan dikeluarkan zat pencemarnya.
Sumber: Beritajatim. (2019). Tanah di Ponorogo yang Keluarkan Bara Api Pernah Jadi Pembuangan Limbah Jamu | Pujiyanto, Sri. (2012). Menjelajah Dunia Biologi 1. Solo: Platinum
Dengan kondisi perairan Indonesia yang jauh lebih luas daripada wilayah daratan (2,28 berbanding 1), serta penggunaan jalur maritim sebagai jalur distribusi yang telah berlangsung sejak lama, maka Blue Economy pas bila diterapkan di negara yang terdiri dari 17.000 pulau ini (2021).
Blue Economy merupakan konsep yang dapat digunakan untuk memaksimalkan pertumbuhan ekonomi tanpa merusak ekosistem perairan sekaligus melindungi aneka peninggalan yang terkandung di dalamnya, seperti BMKT (Benda Muatan Kapal Tenggelam). Blue Economy dimaknai sebagai keberlanjutan usaha yang dapat bergerak sejalan dengan pelestarian lingkungan, dimana industri dan pemerintah dapat bertumbuh bersama secara holistik.
Sejumlah tantangan pun dijumpai seiring dengan pelaksanaan Blue Economy, seperti jumlah sampah plastik yang terus bertambah 6,8 juta ton per tahun di laut Indonesia (KLHK), penangkapan ikan berlebihan dan menggunakan bahan kimia, serta efek yang ditimbulkan akibat perubahan iklim.
Penggunaan teknologi yang kian canggih juga dapat menunjang keberlangsungan sumber daya di dalam air, seperti memanfaatkan program berbasis IoT (Internet of Things), cloud, dan bergantung pada big data, seperti yang pernah diaplikasikan di berbagai sektor industri seperti makanan dan minuman, tekstil, otomotif, obat-obatan, dan elektronik.
Sumber: Laksamana Pertama Bakamla Retiono Kunto, H, S.E (Direktur Kerja Sama Bakamla RI), Thomas Bell (Science and Communications Officer, PEMSEA), Kaisar Akhir, S.I.K., M.Sc. (Founder & Chairman, Maritim Muda Indonesia) dalam Youth IFSR (Y-IFSR) 2021
Lumut, jamur, maupun organisme lainnya menjadi musuh utama bagi Bangunan Cagar Budaya (BCB). Organisme perusak ini dapat memperpendek umur BCB. Salah satu BCB yang mengalami masalah ini adalah Candi Borobudur. UNESCO sebelumnya pernah memberi teguran kepada Balai Konservasi Borobudur (BKB) karena menggunakan bahan kimia dalam proses pembersihan organisme pada dinding Candi Borobudur.
Sebelumnya, mereka melakukan 3 tipe pembersihan, yaitu secara mekanis kering, mekanis basah, dan bahan kimia. Bahan kimia yang digunakan adalah AC 322, yang disinyalir selain merusak dinding candi, juga berbahaya terhadap lingkungan sekitar karena memiliki tingkat keasaman yang tinggi. Oleh sebab itu, para peneliti Balai Konservasi Borobudur berinisiatif untuk mencari solusi dalam upaya mencari pengganti bahan kimia ini supaya lebih aman dan ramah lingkungan.Setelah menjalani penelitian selama kurang lebih 5 tahun, para peneliti dari Balai Konservasi Borobudur berhasil menciptakan pestisida alami yang dapat membersihkan Candi Borobudur ataupun bangunan berbahan batu lainnya dari organisme seperti lumut dan jamur. Bahan yang digunakan adalah minyak atsiri yang berasal dari serai, konservan alami ramah lingkungan yang mudah menguap/volatil.Pada 2015, para peneliti pertama kali mencari cara untuk menghambat pertumbuhan jamur Penicillium sp. dan lumut kerak pada batu andesit dengan menggunakan minyak atsiri nilam, minyak temulawak, dan minyak terpentin. Dari penelitian ini, didapatkan kesimpulan bahwa nilam merupakan bahan minyak atsiri yang paling efektif.Penelitian lanjutan yang dilakukan oleh peneliti tahun 2016 bertujuan untuk mengetahui daya hambat minyak atsiri terhadap pertumbuhan alga. Minyak atsiri yang digunakan berasal dari campuran cengkeh, biji pala, temulawak, dan nilam. Dari hasil kajian, diperoleh kesimpulan bahwa minyak atsiri dari temulawak menjadi yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan alga.Di tahun 2019, dilanjutkan dengan pengujian emulsi minyak atsiri serai dengan larutan surfaktan tween 80. Hasil penelitian ini dianggap sebagai yang paling memuaskan. Dengan menggunakan 200 liter campuran ini, bisa membersihkan hampir seluruh permukaan Candi Borobudur dari lumut serta jamur. Dalam praktiknya, pembersihan ini dilakukan pada siang hari dengan cara disemprotkan dan didiamkan selama 1-2 hari. Dalam pengujian ini, lebih efektif pada bangunan berbahan batu andesit.Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid turut mengapresiasi penemuan ini. Beliau menambahkan, penemuan ini adalah salah satu inovasi penting dari para ahli Balai Konservasi Borobudur yang dapat mendunia."Penggunaan bahan organik dipercaya lebih aman dan ramah lingkungan. Melihat dari segi harga, juga lebih hemat. Minyak atsiri ini juga tidak tumbuh di laboratorium, melainkan tumbuh di masyarakat. Jadi, kalau misalnya kita harus keluar biaya untuk itu, nanti yang merasakan juga masyarakat. Harapannya, minyak ini juga akan digunakan untuk membersihkan batu-batu candi, baik yang dikelola Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) maupun oleh badan lainnya. Bahkan, tidak menutup kemungkinan bisa digunakan di situs-situs di luar negeri. Ini bisa jadi inovasi yang kita ekspor, bukan mencari duitnya, tapi ini justru untuk memperlihatkan bahwa dari Candi Borobudur, lahir begitu banyak inovasi. Dari lokal untuk internasional." (Balai Konservasi Borobudur)Sumber: Balai Konservasi Borobudur. (2021). Conservation Showcase - Inovasi Bahan Antilumut yang Aman dan Wangi#negerirempah #jalurrempah #rempahrempah #rempahnusantara #spicerouteid #spiceroute #konservasiborobudur #konservasi #borobudur #candiborobudur #candi #balaikonservasiborobudur #minyakatsiri #atsiri
Banda merupakan gugusan kepulauan penghasil pala yang terkenal di Maluku. Kepulauan Banda terdiri dari enam pulau, dimana Pulau Lontor dan Pulau Naira yang terpisah selat kecil adalah pulau terbesar.
Mendengar kata ‘cagar budaya’, tentu sudah tidak asing di telinga masyarakat, apalagi bila berkaitan dengan benda-benda antik atau bangunan kuno yang berasal dari zaman praaksara hingga peninggalan zaman penjajahan Hindia Belanda. Namun, tidak semua benda dan bangunan yang terlihat kuno ini bisa disebut sebagai cagar budaya.
Merujuk pada UU No. 11 Tahun 2010 tentang pelestarian cagar budaya, cagar budaya didefinisikan sebagai warisan budaya bersifat kebendaan (berupa Benda Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya) di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Yang perlu digarisbawahi dari pengertian cagar budaya ini yaitu sasarannya yang bersifat kebendaan; jenis objek, bangunan, struktur, situs, dan kawasan; lokasinya berada di darat dan/atau di air; memiliki nilai yang melekat dan penting untuk masa kini dan yang akan datang. Kemudian, yang juga penting adalah penetapannya melalui proses yang berjenjang.
Ketika sebuah objek belum memenuhi proses ini, maka ia masih dikategorikan sebagai Objek yang Diduga Cagar Budaya (ODCB). Bila benda ini hanya berusia tua semata dan diidentifikasi belum memiliki nilai penting yang melekat padanya, maka disebut dengan Tinggalan Purbakala atau Temuan Arkeologis. Ada juga yang disebut dengan Satuan Ruang Geografis yang Tidak Memenuhi Kriteria Cagar Budaya, tetapi karena memiliki arti khusus bagi masyarakat dan bangsa Indonesia, maka dapat diusulkan sebagai cagar budaya melalui proses penelitian. Arti khusus tersebut dapat berupa simbol pemersatu, kebanggaan, dan jati diri bangsa, atau yang merupakan suatu peristiwa luar biasa berskala nasional atau dunia. Contohnya, Monumen Nasional di Jakarta dan kapal terdampar akibat peristiwa tsunami di Banda Aceh.
Jenis objek cagar budaya terbagi menjadi 5 jenis yaitu:
Penetapan Objek Cagar Budaya harus melalui persetujuan yang dibuat oleh kepala daerah atau menteri. Setelah ditetapkan sebagai cagar budaya, maka wajib dilestarikan bersama. Proses pelestarian ini meliputi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan, dimana ketiganya dilaksanakan dengan dukungan dari pemerintah dan masyarakat.
Objek Cagar Budaya juga perlu kita lindungi keaslian serta keutuhannya sehingga tidak rusak dan masih bisa terus dinikmati oleh anak cucu kita kelak. Namun, bila hanya dilindungi tanpa dikembangkan serta dimanfaatkan, maka sebuah Objek Cagar Budaya menjadi sia-sia keberadaannya. Masyarakat bisa memanfaatkan sebuah Objek Cagar Budaya, seperti bangunan Candi Borobudur di Magelang atau Kawasan Kotagede di Yogyakarta yang dijadikan sebagai tempat untuk mencari nafkah hingga menggerakkan roda perekonomian masyarakat sekitar. Secara akademis, juga bisa dikembangkan sebagai sumber primer untuk meneliti kehidupan di masa lalu, sehingga dapat memperkaya pengetahuan tentang kehidupan nenek moyang kita di era sebelumnya.
Penulis: Irvan Maulana
Editor : Pinpin Cahyadi
Berlokasi di Kallenkote, Steenwijkerland, Belanda, terdapat sebuah destinasi wisata unik yang diberi nama Taman Indonesia. Lokasinya dekat dengan pusat wisata Giethoorn, dapat ditempuh dengan 20 menit berkendara, atau 25 jam bila perjalanan bermula dari Amsterdam.
Di lokasi ini, terdapat Taman Rempah Indonesia yang dipenuhi dengan aneka rempah seperti kencur, kunyit, jahe, pinang, serai, dan lainnya. Di sana, Anda juga dapat mencicipi berbagai kuliner khas Indonesia, seperti wedang jahe dan es cendol. Selain itu, juga terdapat beragam produk khas Indonesia, seperti rokok kretek, minuman rempah dalam bentuk sachet, pakaian, dan kerajinan tangan yang dijajakan di sana.
Dikelola oleh Marlisa Wareman, warga negara Belanda keturunan Indonesia, tempat ini diharapkan menjadi wadah bagi warga Belanda untuk mempelajari kebudayaan Indonesia, sekaligus tempat persinggahan sebelum mengunjungi Indonesia yang sesungguhnya.
Sumber:
Antara. (2017), Taman Rempah Indonesia di Belanda
Kemlu. (2021). KBRI Den Haag Pamerkan Wastra Budaya di Taman Indonesia, Belanda
Setiap manusia memiliki tingkat resistensi yang berbeda terhadap kepedasan. Umumnya, bila manusia semakin sering mengkonsumsi makanan yang pedas, lidah juga akan semakin kebal atau terbiasa dengan efek terbakar yang ditimbulkan. Hal ini disebabkan karena tubuh memproduksiendorfin sebagai senyawa aktif pereda rasa sakit. Tak heran bila banyak orang yang menikmatinya, meski sebagian orang juga ada yang tidak tahan dengan sensasi tersebut.
Ternyata, rasa pedas ini tidak hanya dinikmati oleh manusia, tetapi juga oleh hewan, seperti tikus pohon (Tupaia glis). Berdasarkan penelitian di Cina, mamalia ini memiliki mutasi genetik pada reseptor TRPV1 yang dapat membuat efek yang sama seperti manusia pada umumnya ketika mengkonsumsi cabai, seperti berkeringat dan muncul rasa terbakar di mulut. Keadaan ini memungkinkan tikus pohon memiliki peluang bertahan hidup yang lebih lama di alam bebas karena lebih banyak varian makanan yang dijadikan sebagai bagian dari diet
Reseptor terhadap zat capsaicin ini juga ditemukan dengan tingkat yang lebih rendah pada burung. Mereka juga tidak dapat sepenuhnya merasakan panas akibat capsaicin. Bagi yang memiliki burung peliharaan, Anda dapat mencoba untuk mencampurkan benih burung dengan beberapa biji cabai agar tidak direbut binatang lain.
National Geographic. (2018). One is the Human and the Other, Says A New Study, is the Tree Shrew
Mahi. (2020). The Two Animals that Can Eat Hot Sauce - Other than Humans
Tonggak awal perjuangan menuju kemerdekaan Bangsa Indonesia berawal dari kemunculan golongan baru di kalangan masyarakat Hindia-Belanda, yaitu para kaum terpelajar yang sudah mendapatkan pendidikan ala Barat setelah Politik Etis mulai dilaksanakan pemerintah Hindia-Belanda. Meskipun hanya ditujukan untuk kepentingan pemerintah kolonial, namun program ini telah membawa perubahan besar kepada kalangan pemuda Hindia-Belanda, khususnya di bidang pendidikan, sehingga mereka mendapatkan pengetahuan baru yang dibawa dari dunia Internasional. Seiring berjalannya waktu, rasa kebangsaan kian tumbuh di antara para pelajar yang juga mendapatkan pengaruh ide-ide antikolonialisme yang dibawa dari luar negeri.
Tunggu Tubang adalah tradisi waris yang berlaku dalam masyarakat Suku Semende, Sumatera Selatan. Suku Semende diduga berasal dari Suku Pasemah, suku yang juga memiliki kekerabatan dengan Suku Melayu dan Suku Komering.
Tubang merupakan sebilah bambu yang terdiri dari beberapa ruas. Bambu ini dipotong sedikit pada salah satu sisinya dan diletakkan menggantung di atas perapian atau tempat memasak. Tubang ini biasanya dipergunakan sebagai tempat menyimpan rempah-rempah bumbu masak.
Tradisi waris di Suku Semende ini seumpama dengan menjaga rempah-rempah atau bumbu masak, yang biasanya dilakukan oleh perempuan. Dalam tradisi ini, harta waris dipercayakan kepada anak perempuan tertua dalam keluarga. Jika berhalangan, maka diturunkan kepada anak perempuan selanjutnya. Harta tersebut umumnya berupa rumah utama dan sawah atau kebun. Perempuan tunggu tubang harus menjaga harta tersebut dan mempergunakan hasilnya untuk menjaga keluarganya.
Tradisi ini diduga muncul sebagai akibat dari budaya merantau yang dianut para pria di Suku Semende. Rumah dan tanah yang ditinggalkan di kampung akhirnya dijaga oleh anak perempuan saat para anak lelaki keluarga tersebut pergi merantau. Para lelaki yang merantau ini pun tetap melestarikan tradisi tunggu tubang di tanah rantau, membuat tradisi ini menyebar di wilayah sebelah barat dan barat daya Provinsi Sumatera Selatan.
Teks: Robby SunataEditor: Pinpin CahyadiFoto: Tropen Museum
#negerirempah #jalurrempah #rempahrempah #rempahnusantara #spicerouteid #spiceroute #tunggutubang #tubang #tradisi #sumateraselatan #semende #pasemah
Kincir angin merupakan salah satu daya tarik wisata di Belanda yang telah berlangsung selama berabad-abad. Pada masa Perang Dunia Il, kincir angin digunakan untuk membawa pesan rahasia antarpenduduk lokal.
Memasuki abad ke-14, masyarakat Belanda membuat banyak kincir angin sebagai bagian dari pemanfaatan alam dan pelestarian tradisi masyarakat. Dengan sentuhan teknologi, energi angin diubah menjadi energi gerak dan energi listrik yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk memotong kayu, membuat kertas, serta menggiling gandum, jagung, dan rempah.
Bagaimana dengan kincir angin di Indonesia? Di Belitung, kincir angin memiliki beragam nama seperti kelonceran dan menangin. Kincir angin ini juga tidak dapat dilepaskan dari tradisi, adat, dan budaya. Jika tradisi Belanda dipengaruhi oleh laut, masyarakat Kampung Aik Nangkak, Desa Simpang Rusak, Membalong di Belitung dipengaruhi oleh perbukitan.
Tak jauh dari Air Terjun Jurak Linsum Kawai, warga mempersiapkan diri ketika angin membawa pesan alam dari bukit ke lembah Aik Nangkak untuk menyiapkan diri berkreasi. Kayu yang panjang serta daun nangkak di sepanjang aik arongan (sungai kecil) dimanfaatkan. Kayu yang tebal ditipiskan, yang kaku dilenturkan hingga kombinasi kayu dan daun berubah menjadi kincir angin. Kincir angin ini merupakan salah satu tradisi yang masih dipertahankan oleh masyarakat Kampong Aik Nangkak dan kampung-kampung lainnya di Belitung.
Bila musimnya tiba, mereka membuat menangin hingga dua depa panjangnya. Tentunya tradisi ini lestari karena mereka memiliki keterampilan dan mengutamakan kebersamaan.
Kala siang tiba, mereka bergegas beradu menangin. Menjelang malam, lahir tradisi minter (mancing lelutai) bersama.
Teks dan foto: FithroroziEditor: Pinpin Cahyadi
Beternak ayam broiler merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar terhadap daging ayam. Pertumbuhan ayam yang cepat (35-40 hari), didukung oleh banyaknya strain yang unggul membuat usaha inidiminati sejumlah pihak. Akan tetapi, industri ini juga memiliki masalahnya tersendiri. Aroma tidak sedap muncul dari kotoran ayam. Ditambah, lalat yang seringkali berkumpul di area kandang yang berpengaruhterhadap tingkat higienitas produk.
Inilah dasar dari pembuatan pakan khusus ayam broiler yang dicampur dengan aneka rempah seperti kunyit, jahe, lengkuas, dan lempuyang. Campuran bahan ini dapat mengurangi bau tidak sedap pada kotoran ayam serta meningkatkan bobot ayam.
Rempah-rempah tersebut diiris tipis, kemudian dijemur hingga kering selama 1-2 hari, kemudian diblender. Rempah yang sudah dihaluskan ini kemudian dicampur bersama dengan jagung dan ampas kelapa, lalu digiling kembali dan dikeringkan dengan perapian.
Pakan alternatif dengan campuran rempah ini merupakan produk inovasi karya mahasiswa FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Sumber: Jogja Daily. (2016). Pak Abu, Pakan Ayam Anti Bau Berbahan Dasar Rempah-Rempah
Hari Pendidikan Nasional tidak dapat dilepaskan dari sosok Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara. la termasuk yang frontal dalam menentang pembatasan yang dilakukan Belanda, terutama aturan dimana hanya orang-orang keturunan Belanda dan kaum priyayi yang dapat mengenyam pendidikan. la sempat diasingkan ke Belanda, setelah aksinya memprotes perayaan kemerdekaan Belanda melalui tulisan yang bertajuk Als ik een Nederlander was (Seandainya Aku Seorang Belanda).
Namun, nyalinya tak padam. Di sana, ia bergabung dalam Indische Vereeniging, perkumpulan pelajar Indonesia di Belanda. Setelah ia kembali ke Indonesia (1918), ia membuat Taman Siswa (1922). Pendirian Taman Siswa bukan hanya dimaknai sebagai pembangunan sekolah atau perguruan belaka, tetapi merupakan sebuah gerakan untuk memajukan kualitas pendidikan anak-anak Indonesia. Nasionalisme menjadi basis dari kurikulum yang diusung Taman Siswa.
Semboyan 'ing ngarso sung tulodo' (di depan menjadi contoh atau panutan), 'ing madyo mangun karso' (di tengah membangkitkan semangat), dan 'tut wuri handayani' (dari belakang memberikan dorongan) menjadi prinsip yang dipegang teguh oleh para pengajar atau guru.
Kini, setiap tanggal kelahirannya dirayakan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Atas perjuangannya, ia diabadikan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia. Tut wuri handayani dijadikan slogan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemdikbudristek).
Data: (berbagai sumber)
Oleh Yanuardi Syukur
Walau ada yang bilang "all history is maritime history", tidaklah berarti bahwa daratan tidak membentuk peradaban. Baik lautan dan daratan, keduanya membentuk perjalanan dan peradaban manusia. Dalam tulisan ini saya coba bahas keterkaitan lautan dan peradaban.
Masih ingat di benak kita perebutan kekuasaan atas Laut Cina Selatan. Ada 6 negara yang terlibat aktif: China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Brunei dan Malaysia. Perebutan klaim dibarengi dengan show of maritime force di kawasan. Vietnam misalnya, merujuk National Institute for South China Sea Studies, lembaga riset berbasis di Hainan, China, "telah meningkatkan 'fishing militia' (milisi perairan) dalam 10 tahun terakhir. Mereka melakukan operasi gabungan di Kepulauan Paracel dan di selatan Vietnam. Selain Paracel, Kepulauan Spratly juga diklaim yurisdiksi Vietnam.
China, bahkan mengklaim 90% dari laut seluas 3,5 juta km persegi itu miliknya. Di situ ada potensi perikanan dan cadangan bahan bakar fosil. Dibanding negara lainnya, China adalah paling kuat secara militer dalam klaim tersebut, termasuk bagaimana mereka mempersenjatai nelayan terlatih dalam kerjaan paramiliter dengan dukungan dari penjaga pantai.
Kenapa laut penting?
Pertanyaan ini penting untuk dijawab. Satu hal yang pasti adalah sejak lama manusia menyadari bahwa laut adalah pembentuk peradaban. Inggris berjaya karena berkuasa di laut, pun demikian Amerika dengan sekian banyak kapal perang pada berbagai pangkalan di planet bumi ini.
Maka, penguasaan laut, dalam konteks dirasionalisasikan sebagai penguasaan atas peradaban. Apalagi, dari sudut ekonomi penguasaan laut sangat bermakna bagi income negara. Punya power dalam dagang tapi tidak punya kapal dan pangkalan juga pincang.
Sesuai garis kekuatan laut, kekuatan maritim sebuah bangsa akan kuat jika menggabungkan tiga hal: perdagangan, pangkalan, dan kapal. Produk China masuk kemana-mana, tapi jika tidak punya pangkalan-ekonomi, militer, sosial budaya- juga akan lemah. Itulah kenapa klaim atas LCS menjadi penting sebagai kekuatan peradaban sebuah bangsa.
Antropologi maritim
Ada banyak karya antropologi maritim yang membahas manusia dan laut. Estellie M. Smith menulis "Those who live from the sea: a study in maritime anthropology (1977). Neil L. Whitehead juga mengedit satu kumpulan etnograf dari Karibia, berjudul "Wolves from the sea: Readings in the anthropology of the Native Carribean (1995). Dalam buku itu, Whitehead dan kolega menemukan pluralitas identitas etnik dalam menyambut kedatangan Columbus sekaligus penolakan terhadap skema colonial ethnology.
Karya lainnya, Tanya J. King dan Gary Robinson (2019) berjudul "At Home on the Waves: Human habitation of the sea from the mesolithic to today" (2019). Di dalamnya, mereka mengeksplorasi berbagai cara-sejak lama-bagaimana manusia bisa betah dengan laut dan terus hidup akrab dengan laut.
Beberapa karya terkait laut itu menarik untuk memperkaya berbagai kajian antropologi maritim di Indonesia yang telah dilakukan berbagai peneliti. Studi terkait Suku Bajo cukup banyak dilakukan. Di Sulsel, kajian maritim terhadap menjadi idola. Saat jenjang sarjana, saya pernah terlibat dalam riset kecil di Pare-pare dan Takalar.
Bagaimana konstruksi kultural pelaut Bugis-Makassar mulai dari ritual pembuatan kapal, turunkan kapal ke laut, hingga berbagai wisdom strategi kultural yang dilakukan saat menghadapi misalnya angin puting beliung. Kerinduan terhadap sang kekasih di darat juga dipelajari, misalnya dalam versi Indonesia: "....hujan-hujan di malam hari, kukira air matamu // angin semilir kukira pesanmu tiba." Kurang lebih seingat saya begitu.
Orang Asia Kaya Maritim
Kita sebagai orang Asia adalah bangsa yang kaya dengan pengalaman bahari. Pengalaman itu, khususnya dalam 'jaringan perdagangan Samudra Hindia', tulis sejarawan Lincoln Paine dalam "The Sea and Civilization" (2015) telah eksis sejak 4000 tahun lalu.
Bangsa-bangsa Asia Selatan (India, Sri Lanka, Maldives, etc.), Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina, etc.), dan Timur Jauh (Cina, Jepang, Taiwan, etc.), sudah membangun 'spice route', jauh sebelum pelaut Portugis Vasco da Gama berlabuh (hingga wafat pada kunjungan ketiga, 1524) di Kochi [nama Portugis-nya: Cochin]), yang sekarang jadi ibu kota negara bagian Kerala, India.
Jalur maritim ini-dalam semua penyebutan, 'silk road' hingga 'spice route'-adalah saluran penting bagi pembentukan peradaban manusia karena di situ tidak hanya ada perjalanan barang, tanaman, ternak, dan manusia-bebas atau budak- tapi juga ada 'projection of values', pemancaran nilai-nilai yang tersebar di sepanjang jalur tersebut.
Lautan luas yang di masa lalu dianggap 'milik bersama' itu membuat orang bebas untuk melangkah dan mencari nafkah. Profesor David Abulafia dari Universitas Cambridge, dalam "The Boundless Sea" (Oxford University Press, 2019), menulis bahwa jaringan maritim masa lalu itu secara bertahap membentuk kontinum interaksi dan interkoneksi antarbangsa.
Bisa kita sebut juga, di sepanjang jalur itu ada interaksi manusia dalam bentuk transfer pengetahuan dan universal human values yang sampai saat ini nilai-nilai itu tampaknya masih ada. Kapal Phinisi yang dibuat di Bulukumba, bahkan dipesan khusus untuk dipakai di luar negeri. Di Madagaskar misalnya, nenek moyang mereka adalah orang Indonesia. Kalau pulang kampung, mereka juga menyebut kata yang sama dengan Indonesia: "mudik."
Berarti, projection of values Indonesia sebenarnya sudah hadir di Samudra Hindia, bahkan tidak menutup kemungkinan juga telah ada di dua protagonis utama samudra di planet ini: Pasifik dan Atlantik. Maka, kekayaan sejarah dan kultur kita seharusnya dapat 'dikapitalisasi' menjadi makna-makna baru untuk mengangkat Indonesia jaya berbasis pada sejarah dan kultur maritim kita yang sangat panjang.*
Sumber: https://mandarnesia.com/manusia-laut-dan-peradaban/
Halaman 1 dari 3