Loading...

Dalam Jurnal Treubia Vol. 46 yang dirilis oleh LIPI (kini BRIN) pada Desember 2019, terdapat catatan mengenai penemuan empat jenis kumbang dari genus Epholcis, yaitu E. acutus, E. arcuatus, E. cakalele, dan E. obiensis. Kemmpat jenis kumbang ini tersebar di wilayah Maluku Utara, seperti Halmahera, Obi, dan Ternate.

Dengan penemuan empat spesies baru ini, beserta dengan lima jenis sebelumnya (E. divergens, E. gracilis, E. bilobiceps, E. longior, dan E. uniformis) dan satu jenis yang ditransfer dari genus lain (E. moluccanus yang sebelumnya dimasukkan ke dalam genus Maechidius), maka terdapat 10 jenis kumbang Epholcis yang sudah teridentifikasi. Para peneliti menduga bahwa kumbang Epholcis ini juga tersebar di Papua (yang sejauh ini diidentifikasi sebagai kumbang Maechidius karena memiliki banyak kesamaan), Sulawesi, dan Nusa Tenggara.

Kumbang Epholcis digolongkan sebagai hewan nokturnal. E. arcuatus menjadi salah satu spesies yang cukup menjadi perhatian karena ia memakan bunga cengkeh. Kebiasaan mengkonsumsi tumbuhan juga ditemukan pada E. bilobiceps asal Australia yang memakan eukaliptus di sana.

Penemuan ini menunjukkan keanekaragaman hayati yang tinggi dan bernilai di Indonesia, khususnya di Maluku Utara.

Data dan Foto: Narakusumo, Raden Pramesa dan Balke, Michael. (2019). Treubia Vol.46: Four New Species of Epholcis Waterhouse, 1875 (Coleoptera: Scarabaeidae: Melolonthinae: Maechidiini) from the Moluccas, Indonesia

Pada 2019 lalu, publik dikejutkan dengan salah satu video unggahan Presiden Joko Widodo yang tampak sedang menikmati minuman jamu yang merupakan campuran rempah temulawak, jahe, dan kunyit. Hasil tumbukan ketiga rempah tersebut kemudian dicampur dengan air panas, lalu disaring dan diminum. Jokowi menuturkan bahwa ia telah mengkonsumsi ramuan ini bahkan sejak 2002 silam, jauh sebelum pandemi COVID-19 muncul di tanah air. Menurutnya, konsumsi minuman kesehatan juga harus dibarengi dengan pola hidup sehat lainnya seperti berolahraga dan mengkonsumsi vitamin tambahan.

Dilansir dari penelitian Prof. Dr. Chairul A. Nidom, drh., MS (Universitas Airlangga), kandungan curcumin pada empon-empon selain dapat meningkatkan daya tahan tubuh, juga mencegah kerusakan paru-paru lebih lanjut pada orang yang telah terpapar.

Resep ini kemudian diabadikan sebagai salah satu menu pada kafe jamu kekinian Acaraki. Oleh Jony Yuwono, sang pemilik, racikan ini diberi nama JKT 1681. Selain sebagai bentuk apresiasi terhadap kepedulian Jokowi dalam mengedukasi masyarakat mengenai budaya minum jamu, kehadiran menu ini juga diharapkan dapat menginspirasi masyarakat untuk melirik kembali ke alam dan mempercayai jamu sebagai bagian dari obat tradisional.
 
Sumber: Ngawi Times. (2020). Jauh Sebelum Dosen Unair Bagikan Resep Cegah Corona, Jokowi Sudah Rutin Minum Jamu | Tempo. (2020). Peracik Jamu Spesialti

Nusantara adalah hamparan lautan yang ditaburi kepulauan. Dengan kondisi geografis demikian, dunia maritim menjadi pusat kehidupan masyarakat Asia Tenggara. Berbagai aktivitas seperti, berdagang, sistem transportasi, aktivitas politik, hingga aktivitas sosial lainnya tidak dapat terlepas dari eksistensi sungai, danau, dan laut. Keanekaragaman flora dan fauna juga menstimulasi aktivitas perdagangan antardaerah, jauh maupun dekat. Teknologi kelautan yang maju seperti jenis perahu, sistem navigasi, dan perniagaan menjadi ciri khas masyarakat maritim Nusantara. Lebih jauh lagi, manusia laut ini melebur dengan kebudayaan maritim yang kompleks.

Kemajuan dalam bidang maritim dan perjumpaan dengan pedagang nan jauh dari Arab dan China memicu kemunculan berbagai pelabuhan yang dikelola oleh kerajaan-kerajaan maritim. Dari perdagangan dan perniagaan, simpul jalur-jalur maritim terbentuk menyatukan Banten dan Malaka, Malaka dan Maluku, Tuban dan Sumba Opu, Jepara dan Ternate, dan lain sebagainya, hingga Nusantara menjadi arus kuat dari selatan ke utara serta dari timur ke barat. Ini menjadi bukti bahwa laut memiliki posisi sentral dalam kehidupan masyarakat Nusantara. Hal ini kian dipertegas oleh majunya sistem hukum perundang-undangan pelayaran dan perdagangan, seperti Amanna Gappa. 

Tak butuh waktu lama bagi arus balik dari utara ke selatan dan dari barat ke timur datang dengan ideologi ekspansionis dan senjatanya. Ini membuat beberapa simpul maritim Nusantara seolah hancur oleh gelombang tsunami dalam semalam. Beberapa kebudayaan maritim, baik yang tumbuh dalam hukum adat hingga di bawah kekuasaan feodal lokal berangsur-angsur hilang. Mataram yang semula memiliki pelabuhan hebat seperti Tuban, Surabaya, dan Jepara tunduk dalam kuasa asing (kolonial). Cukup rumit memang untuk dapat mengerti cara kolonial untuk menguasai lautan Nusantara, perdebatan yang mengatakan kekuasaan lokal runtuh karena konflik internal dan eksternal.

Perahu kora-kora yang semula menjadi bagian dari perniagaan dan kebudayaan maritim berubah menjadi perahu patroli VOC dan Ternate dalam Pelayaran Hongi. Kebudayaan laut di pesisir pantai Jawa Utara berangsur hilang dengan berpindahnya kekuasaan dari Sultan Pakubuwana II kepada VOC. Kekalahan Gowa terhadap VOC dengan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya, menjadikan Gowa yang semula menjadi kerajaan maritim paling disegani di lautan Sulawesi kehilangan taringnya. Beberapa contoh kasus diatas cukup menggambarkan kenyataan surutnya laut Nusantara dalam arus besar sejarah. Dalam arus kecil sejarah, sejarah mencatat bahwa keterbatasan akses perniagaan di berbagai wilayah menjadi tanda buruk bagi keberlangsungan kebudayaan maritim Nusantara. Seperti contoh, masyarakat ulayat Kepulauan Seram yang tidak dapat lagi menjual hasil kebunnya kepada pedagang lokal karena akses perniagaan yang ditutup. Masyarakat Banda yang semula menjadi ujung jarum kompas dunia kini harus tenggelam dengan darahnya sendiri. Lasem yang semula menjadi identitas diversitas budaya, kini harus bersembunyi di balik isu rasialitas.

Hingga sampailah kita pada kesimpulan bahwa orang laut masih memunggungi laut. Raja laut bukan lagi berwujud penguasa feodal atau kolonial, namun perusahaan asing yang bebas untuk menangkap ikan dalam jumlah yang besar. Sangat relevan bahwasannya penjajahan tidak pernah hengkang, namun hadir dalam bentuk yang lain. Dalam hal ini, laut yang katanya memiliki posisi sentral dalam kehidupan masyarakat Nusantara kembali dipertanyakan. Akankah kita melihat laut bukan lagi sebagai pemisah, tetapi pemersatu? Sudikah bila kita berpaling untuk melihat kembali laut?

 

Daftar Pustaka

• Lapian, A. B. (2009). Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Depok: Komunitas Bambu. 

• Lapian, A. B. (2008). Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17. Depok: Komunitas Bambu. 

• Peter Boomgaard (ed). (2007). A World of Water: Rain, River, and Seas in Southeast Asian Histories. Leiden: KITLV Press. 

• Groeneveldt, W. P. (2009). Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu. 

• Parthesius, R. (2010). Dutch ships in tropical waters: The Development of the Dutch East India Company (VOC) shipping network in Asia 1595-1660. Amsterdam: Amsterdam University Press. 

• Vlekke, B. H. M. (2010). Nusantara: Sejarah Indonesia. (Samsudin Berlian, Trans.). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 

• Ham, O. H. (2018). Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang. Jakarta: Gramedia.

 

Penulis: Raymizard Alifian Firmansyah

Editor: Pinpin Cahyadi

Pencemaran tidak hanya dapat terjadi pada air dan udara, namun juga pada tanah. Keberadaan limbah rumah tangga, industri, serta penggunaan pestisida yang berlebihan ikut mempengaruhi struktur tanah dan tanaman yang tumbuh di atasnya.

Limbah terbagi menjadi dua, yaitu yang diakibatkan dari kumpulan sampah organik serta anorganik. Meski sampah organik seperti bagian tumbuhan, hewan, dan kertas dapat diuraikan oleh mikroorganisme tanah (dekomposer), namun bila jumlahnya terlalu banyak, maka tetap saja dapat mempengaruhi kualitas tanah.

Sebagai contoh, di wilayah Desa Kupuk, Kecamatan Bungkal, Jawa Timur, terdapat area yang dijadikan tempat pembuangan limbah jamu oleh warga sekitar. Karena panas berlebih, maka memicu pembentukan api dari dalam tanah. Pestisida memiliki nama lain biosida, yaitu bahan kimia yang diciptakan untuk membunuh organisme. Penggunaan pestisida secara berlebihan tanpa perhitungan dan perencanaan yang baik tidak hanya sekadar berdampak pada pencemaran tanah, namun juga turut membunuh organisme nontarget, seperti cacing tanah dan dekomposer lainnya. Hal yang sama juga akan terjadi ketika limbah kimia dari industri merembes ke dalam tanah.

Upaya untuk memulihkan atau membersihkan tanah dari bahan pencemar dikenal dengan nama remediasi. Proses ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara in-situ dan ex-situ. Remediasi di tempat asalnya (in-situ) dapat menggunakan bantuan organisme hidup seperti bakteri dan jamur (bioremediasi) atau menggunakan tanaman (fitoremediasi). Sedangkan, remediasi ex-situ dilakukan dengan cara membawa tanah untuk kemudian diberi zat pembersih dan dikeluarkan zat pencemarnya.

Sumber: Beritajatim. (2019). Tanah di Ponorogo yang Keluarkan Bara Api Pernah Jadi Pembuangan Limbah Jamu | Pujiyanto, Sri. (2012). Menjelajah Dunia Biologi 1. Solo: Platinum

Dengan kondisi perairan Indonesia yang jauh lebih luas daripada wilayah daratan (2,28 berbanding 1), serta penggunaan jalur maritim sebagai jalur distribusi yang telah berlangsung sejak lama, maka Blue Economy pas bila diterapkan di negara yang terdiri dari 17.000 pulau ini (2021).

Blue Economy merupakan konsep yang dapat digunakan untuk memaksimalkan pertumbuhan ekonomi tanpa merusak ekosistem perairan sekaligus melindungi aneka peninggalan yang terkandung di dalamnya, seperti BMKT (Benda Muatan Kapal Tenggelam). Blue Economy dimaknai sebagai keberlanjutan usaha yang dapat bergerak sejalan dengan pelestarian lingkungan, dimana industri dan pemerintah dapat bertumbuh bersama secara holistik.

Sejumlah tantangan pun dijumpai seiring dengan pelaksanaan Blue Economy, seperti jumlah sampah plastik yang terus bertambah 6,8 juta ton per tahun di laut Indonesia (KLHK), penangkapan ikan berlebihan dan menggunakan bahan kimia, serta efek yang ditimbulkan akibat perubahan iklim.

Penggunaan teknologi yang kian canggih juga dapat menunjang keberlangsungan sumber daya di dalam air, seperti memanfaatkan program berbasis IoT (Internet of Things), cloud, dan bergantung pada big data, seperti yang pernah diaplikasikan di berbagai sektor industri seperti makanan dan minuman, tekstil, otomotif, obat-obatan, dan elektronik.

Sumber: Laksamana Pertama Bakamla Retiono Kunto, H, S.E (Direktur Kerja Sama Bakamla RI), Thomas Bell (Science and Communications Officer, PEMSEA), Kaisar Akhir, S.I.K., M.Sc. (Founder & Chairman, Maritim Muda Indonesia) dalam Youth IFSR (Y-IFSR) 2021

Lumut, jamur, maupun organisme lainnya menjadi musuh utama bagi Bangunan Cagar Budaya (BCB). Organisme perusak ini dapat memperpendek umur BCB. Salah satu BCB yang mengalami masalah ini adalah Candi Borobudur. UNESCO sebelumnya pernah memberi teguran kepada Balai Konservasi Borobudur (BKB) karena menggunakan bahan kimia dalam proses pembersihan organisme pada dinding Candi Borobudur.


Sebelumnya, mereka melakukan 3 tipe pembersihan, yaitu secara mekanis kering, mekanis basah, dan bahan kimia. Bahan kimia yang digunakan adalah AC 322, yang disinyalir selain merusak dinding candi, juga berbahaya terhadap lingkungan sekitar karena memiliki tingkat keasaman yang tinggi. Oleh sebab itu, para peneliti Balai Konservasi Borobudur berinisiatif untuk mencari solusi dalam upaya mencari pengganti bahan kimia ini supaya lebih aman dan ramah lingkungan.

Setelah menjalani penelitian selama kurang lebih 5 tahun, para peneliti dari Balai Konservasi Borobudur berhasil menciptakan pestisida alami yang dapat membersihkan Candi Borobudur ataupun bangunan berbahan batu lainnya dari organisme seperti lumut dan jamur. Bahan yang digunakan adalah minyak atsiri yang berasal dari serai, konservan alami ramah lingkungan yang mudah menguap/volatil.

Pada 2015, para peneliti pertama kali mencari cara untuk menghambat pertumbuhan jamur Penicillium sp. dan lumut kerak pada batu andesit dengan menggunakan minyak atsiri nilam, minyak temulawak, dan minyak terpentin. Dari penelitian ini, didapatkan kesimpulan bahwa nilam merupakan bahan minyak atsiri yang paling efektif.

Penelitian lanjutan yang dilakukan oleh peneliti tahun 2016 bertujuan untuk mengetahui daya hambat minyak atsiri terhadap pertumbuhan alga. Minyak atsiri yang digunakan berasal dari campuran cengkeh, biji pala, temulawak, dan nilam. Dari hasil kajian, diperoleh kesimpulan bahwa minyak atsiri dari temulawak menjadi yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan alga.

Di tahun 2019, dilanjutkan dengan pengujian emulsi minyak atsiri serai dengan larutan surfaktan tween 80. Hasil penelitian ini dianggap sebagai yang paling memuaskan. Dengan menggunakan 200 liter campuran ini, bisa membersihkan hampir seluruh permukaan Candi Borobudur dari lumut serta jamur. Dalam praktiknya, pembersihan ini dilakukan pada siang hari dengan cara disemprotkan dan didiamkan selama 1-2 hari. Dalam pengujian ini, lebih efektif pada bangunan berbahan batu andesit.

Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid turut mengapresiasi penemuan ini. Beliau menambahkan, penemuan ini adalah salah satu inovasi penting dari para ahli Balai Konservasi Borobudur yang dapat mendunia.

"Penggunaan bahan organik dipercaya lebih aman dan ramah lingkungan. Melihat dari segi harga, juga lebih hemat. Minyak atsiri ini juga tidak tumbuh di laboratorium, melainkan tumbuh di masyarakat. Jadi, kalau misalnya kita harus keluar biaya untuk itu, nanti yang merasakan juga masyarakat. Harapannya, minyak ini juga akan digunakan untuk membersihkan batu-batu candi, baik yang dikelola Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) maupun oleh badan lainnya. Bahkan, tidak menutup kemungkinan bisa digunakan di situs-situs di luar negeri. Ini bisa jadi inovasi yang kita ekspor, bukan mencari duitnya, tapi ini justru untuk memperlihatkan bahwa dari Candi Borobudur, lahir begitu banyak inovasi. Dari lokal untuk internasional." (Balai Konservasi Borobudur)

Sumber: Balai Konservasi Borobudur. (2021). Conservation Showcase - Inovasi Bahan Antilumut yang Aman dan Wangi

#negerirempah #jalurrempah #rempahrempah #rempahnusantara #spicerouteid #spiceroute #konservasiborobudur #konservasi #borobudur #candiborobudur #candi #balaikonservasiborobudur #minyakatsiri #atsiri

Banda merupakan gugusan kepulauan penghasil pala yang terkenal di Maluku. Kepulauan Banda terdiri dari enam pulau, dimana Pulau Lontor dan Pulau Naira yang terpisah selat kecil adalah pulau terbesar. 

 
Tome Pires menjelaskan bahwa pada abad ke-16, para pedagang Jawa dan Melayu berlabuh di Pulau Naira untuk membeli pala. Tiga pulau lainnya (Ai, Run, dan Lontor) tidak memiliki tempat berlabuh yang terlindung karena banyak karang yang muncul ke permukaan setelah laut surut. Pulau Nailaka merupakan pulau terakhir yang tidak memiliki produk niaga, kecuali sagu.
 
Pada waktu itu, Banda memiliki kurang lebih 3.000 penduduk. Pada abad ke-16, Kepulauan Banda menghasilkan lebih banyak pala dan fuli setiap tahunnya. Untuk menjaga diversitas komoditas yang diniagakan, cengkih didatangkan dari Maluku Utara dan Kepulauan Seram. Pada paruh awal abad ke-17, penduduk Banda mendapat kekayaan lebih akibat dari naiknya harga jual pala. Kondisi ini lumrah karena Banda merupakan penghasil pala dunia.
 
Ketika armada Portugis yang dikepalai oleh Serrao tiba di Banda, Portugis berdagang secara damai. Melalui perdagangan awal tersebut ,Portugis menikmati keuntungan paling sedikit 1.000%. Setelahnya, Banda relatif diacuhkan karena Portugis berfokus di Ternate. Meskipun sebenarnya pada tahun 1529, Kapten Garcia mencoba membangun benteng, namun karena mendapat perlawanan dari penduduk Banda, upaya tersebut diurungkan.
 
Tidak seperti Portugis, Belanda datang dengan lebih ofensif. Belanda berusaha untuk memonopolisasi komoditas pala dan fuli di Kepulauan Banda. Setelah melucuti kekuatan Portugis dan Inggris di Kepulauan Seram dan Banda, Belanda melakukan beberapa represi di Kepulauan Banda. Beberapa ekspedisi dikirim untuk memperkuat kekuatan.
 
Untuk membalas pembunuhan terhadap Laksamana Verhoeff, Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen membawa armada penghukum. Armada ini berkekuatan 13 kapal besar, tiga kapal pesiar, dan 36 kapal tongkang, beserta ribuan pasukan gabungan (1.905 orang Eropa, 286 budak Jawa, dan 80 ronin bayaran). Prajurit VOC itu memporak-porandakan orang Banda. Dimulai dengan menaklukan Lonthor, desa-desa dibakar, 883 penduduk (287 pria, 356 wanita, dan 240 anak-anak yang 176 diantaranya tewas di atas kapal). Coen benar-benar melakukan depopulasi Banda dengan cara mengirim sisa penduduk Banda ke Batavia untuk dijual sebagai Budak. Dalam Nathaniel’s Nutmeg, tidak diketahui jumlah pastinya, namun dari satu kapal saja tercatat membawa hampir 900 orang yang seperempatnya meninggal di perjalanan.  
 
Penduduk Banda ‘yang asli’ hampir punah. Dari populasi awal sejumlah 15.000 orang, hanya sekitar 1.000 orang yang selamat. Mereka yang selamat melarikan diri dengan cara menyeberang ke pulau sekitar, seperti Seram, Kei, Serua, hingga Aru di timur. Repopulasi dilakukan dengan cara mendatangkan budak dari berbagai daerah guna menjadi budak perkebunan pala. Masalah monopoli pala dan fuli kini telah usai. Sejak saat itu, Banda benar-benar berada di bawah dominasi VOC.
 
Kurang lebih tiga abad setelahnya, Banda masih saja menjadi tempat pengasingan para tokoh pergerakan bangsa. Pada tanggal 11 Februari 1936, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir diasingkan di Banda setelah sebelumnya diasingkan Boven Digoel. Hatta dan Sjahrir diberi kebebasan untuk berkomunikasi dengan siapapun, baik penduduk sekitar ataupun kolega di luar daerah. Disini, mereka juga diberi kebebasan untuk membaca buku, berita di koran, dan majalah. Dengan enam belas peti buku, ditambah atmosfer alam yang indah menegaskan bahwa kondisi Banda memang tak seburuk Digoel.
 
Di Banda, Hatta dan Sjahrir bertemu dengan kolega-kolega seperjuangan, seperti Tjipto Mangoenkoesoemo, Iwa Koesoemasoemantri, dr. Soeroyo, dr. Soeherman, dan beberapa lainnya. Di sini, Hatta mendapat keleluasaan untuk bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh pergerakan. Di Banda, Hatta juga mengajar pemuda-pemuda setempat dua kali dalam seminggu, termasuk dua tamatan MULO Bukittinggi dan seorang lulusan Taman Siswa yang dikirim oleh Anwar Sutan Saidi. Pelajaran mereka berbeda-beda, ada yang bersangkutan dengan ilmu praktis dan ada juga soal politik.
 
Di samping memberi pengajaran terhadap pemuda setempat, Hatta juga menyempatkan waktunya untuk menuliskan buah pikirnya ke beberapa surat kabar. Sekali-kali, Hatta mengirimkannya ke Batavia, Medan, dan Solo. Apalagi sejak di Banda, Hatta diminta untuk menulis di surat kabar Pemandangan dan Sin Tit Po. Akhirnya pada tahun 1942, tiba-tiba Hatta dan Sjahrir dipindahkan pemerintah Belanda ke Sukabumi sebagai respon kacaunya kondisi Hindia Belanda akibat perang Pasifik.
 
Dari sini, Banda dapat dilihat sebagai satu entitas dalam beberapa ruang dan waktu yang berbeda. Pada periode pra kolonial, Banda merupakan satu-satunya daerah penghasil pala dunia. Pelaut Arab, China, dan Nusantara berniaga dalam suatu kondisi sosial kosmopolitan. Pada masa setelahnya, bangsa Eropa mulai merusak kondisi tersebut dengan melakukan monopoli tak sehat. Perang, pembumihangusan, dan pembantaian dilakukan untuk menguasai pala. Tiga abad berlalu, Banda akhirnya menjadi tempat pengasingan tokoh pergerakan nasional. Neraka Banda yang kelam menunjukkan kembali kekuatan surgawinya setelah tiga abad tertidur. Buah pikiran negara Indonesia diciptakan di pulau yang dulunya menjadi pusat perdagangan dunia. 
 
Penulis: Raymizard Alifian Firmansyah 
Editor : Pinpin Cahyadi
 
Sumber:
Amal, M. A. (2016). Kepulauan Rempah-Rempah. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 
 
Argensola B. L. D. (1708). The Discovery and Conquest of The Malucco and Philippine Islands. London [s.n.]. 
 
Loth, V.C. (1995). Pioneers and Perkeniers: The Banda Islands in The 17th Century, 6. 13-35. Diunduh 9 Mei 2021 dari https://scholarspace.manoa.hawaii.edu/handle/10125/4207 
 
Milton, G. (1999). Nathaniel's Nutmeg Or, The True and Incredible Adventures of the Spice Trader Who Changed the Course of History. New York: Farrar, Straus and Giroux. 
 
Noer, D. (2018). Mohammad Hatta dan Pemikirannya: Biografi. Vol. 1. Jakarta: Kompas. 
 
Widjojo, M. (2013). Pemberontakan Nuku: Persekutuan Lintas Budaya di Maluku-Papua Sekitar 1780-1810. Depok: Komunitas Bambu.

Mendengar kata ‘cagar budaya’, tentu sudah tidak asing di telinga masyarakat, apalagi bila berkaitan dengan benda-benda antik atau bangunan kuno yang berasal dari zaman praaksara hingga peninggalan zaman penjajahan Hindia Belanda. Namun, tidak semua benda dan bangunan yang terlihat kuno ini bisa disebut sebagai cagar budaya.

Merujuk pada UU No. 11 Tahun 2010 tentang pelestarian cagar budaya, cagar budaya didefinisikan sebagai warisan budaya bersifat kebendaan (berupa Benda Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya) di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. 

Yang perlu digarisbawahi dari pengertian cagar budaya ini yaitu sasarannya yang bersifat kebendaan; jenis objek, bangunan, struktur, situs, dan kawasan; lokasinya berada di darat dan/atau di air; memiliki nilai yang melekat dan penting untuk masa kini dan yang akan datang. Kemudian, yang juga penting adalah penetapannya melalui proses yang berjenjang.

Ketika sebuah objek belum memenuhi proses ini, maka ia masih dikategorikan sebagai Objek yang Diduga Cagar Budaya (ODCB). Bila benda ini hanya berusia tua semata dan diidentifikasi belum memiliki nilai penting yang melekat padanya, maka disebut dengan Tinggalan Purbakala atau Temuan Arkeologis. Ada juga yang disebut dengan Satuan Ruang Geografis yang Tidak Memenuhi Kriteria Cagar Budaya, tetapi karena memiliki arti khusus bagi masyarakat dan bangsa Indonesia, maka dapat diusulkan sebagai cagar budaya melalui proses penelitian. Arti khusus tersebut dapat berupa simbol pemersatu, kebanggaan, dan jati diri bangsa, atau yang merupakan suatu peristiwa luar biasa berskala nasional atau dunia. Contohnya, Monumen Nasional di Jakarta dan kapal terdampar akibat peristiwa tsunami di Banda Aceh.

Jenis objek cagar budaya terbagi menjadi 5 jenis yaitu: 

  1. Benda Cagar Budaya, berupa benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia
  2. Bangunan Cagar Budaya, didefinisikan sebagai susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding dan beratap
  3. Struktur Cagar Budaya, yaitu susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia
  4. Situs Cagar Budaya, diartikan sebagai lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu
  5. Kawasan Cagar Budaya, merupakan satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas

Penetapan Objek Cagar Budaya harus melalui persetujuan yang dibuat oleh kepala daerah atau menteri. Setelah ditetapkan sebagai cagar budaya, maka wajib dilestarikan bersama. Proses pelestarian ini meliputi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan, dimana ketiganya dilaksanakan dengan dukungan dari pemerintah dan masyarakat.

Objek Cagar Budaya juga perlu kita lindungi keaslian serta keutuhannya sehingga tidak rusak dan masih bisa terus dinikmati oleh anak cucu kita kelak. Namun, bila hanya dilindungi tanpa dikembangkan serta dimanfaatkan, maka sebuah Objek Cagar Budaya menjadi sia-sia keberadaannya. Masyarakat bisa memanfaatkan sebuah Objek Cagar Budaya, seperti bangunan Candi Borobudur di Magelang atau Kawasan Kotagede di Yogyakarta yang dijadikan sebagai tempat untuk mencari nafkah hingga menggerakkan roda perekonomian masyarakat sekitar. Secara akademis, juga bisa dikembangkan sebagai sumber primer untuk meneliti kehidupan di masa lalu, sehingga dapat memperkaya pengetahuan tentang kehidupan nenek moyang kita di era sebelumnya.

 

Penulis: Irvan Maulana

Editor : Pinpin Cahyadi

Berlokasi di Kallenkote, Steenwijkerland, Belanda, terdapat sebuah destinasi wisata unik yang diberi nama Taman Indonesia. Lokasinya dekat dengan pusat wisata Giethoorn, dapat ditempuh dengan 20 menit berkendara, atau 25 jam bila perjalanan bermula dari Amsterdam.

Di lokasi ini, terdapat Taman Rempah Indonesia yang dipenuhi dengan aneka rempah seperti kencur, kunyit, jahe, pinang, serai, dan lainnya. Di sana, Anda juga dapat mencicipi berbagai kuliner khas Indonesia, seperti wedang jahe dan es cendol. Selain itu, juga terdapat beragam produk khas Indonesia, seperti rokok kretek, minuman rempah dalam bentuk sachet, pakaian, dan kerajinan tangan yang dijajakan di sana.

Dikelola oleh Marlisa Wareman, warga negara Belanda keturunan Indonesia, tempat ini diharapkan menjadi wadah bagi warga Belanda untuk mempelajari kebudayaan Indonesia, sekaligus tempat persinggahan sebelum mengunjungi Indonesia yang sesungguhnya.

Sumber:

Antara. (2017), Taman Rempah Indonesia di Belanda

Kemlu. (2021). KBRI Den Haag Pamerkan Wastra Budaya di Taman Indonesia, Belanda

Setiap manusia memiliki tingkat resistensi yang berbeda terhadap kepedasan. Umumnya, bila manusia semakin sering mengkonsumsi makanan yang pedas, lidah juga akan semakin kebal atau terbiasa dengan efek terbakar yang ditimbulkan. Hal ini disebabkan karena tubuh memproduksi
endorfin sebagai senyawa aktif pereda rasa sakit. Tak heran bila banyak orang yang menikmatinya, meski sebagian orang juga ada yang tidak tahan dengan sensasi tersebut.

Ternyata, rasa pedas ini tidak hanya dinikmati oleh manusia, tetapi juga oleh hewan, seperti tikus pohon (Tupaia glis). Berdasarkan penelitian di Cina, mamalia ini memiliki mutasi genetik pada reseptor TRPV1 yang dapat membuat efek yang sama seperti manusia pada umumnya ketika mengkonsumsi cabai, seperti berkeringat dan muncul rasa terbakar di mulut. Keadaan ini memungkinkan tikus pohon memiliki peluang bertahan hidup yang lebih lama di alam bebas karena lebih banyak varian makanan yang dijadikan sebagai bagian dari diet

Reseptor terhadap zat capsaicin ini juga ditemukan dengan tingkat yang lebih rendah pada burung. Mereka juga tidak dapat sepenuhnya merasakan panas akibat capsaicin. Bagi yang memiliki burung peliharaan, Anda dapat mencoba untuk mencampurkan benih burung dengan beberapa biji cabai agar tidak direbut binatang lain.

Sumber:

National Geographic. (2018). One is the Human and the Other, Says A New Study, is the Tree Shrew

Mahi. (2020). The Two Animals that Can Eat Hot Sauce - Other than Humans

Tonggak awal perjuangan menuju kemerdekaan Bangsa Indonesia berawal dari kemunculan golongan baru di kalangan masyarakat Hindia-Belanda, yaitu para kaum terpelajar yang sudah mendapatkan pendidikan ala Barat setelah Politik Etis mulai dilaksanakan pemerintah Hindia-Belanda. Meskipun hanya ditujukan untuk kepentingan pemerintah kolonial, namun program ini telah membawa perubahan besar kepada kalangan pemuda Hindia-Belanda, khususnya di bidang pendidikan, sehingga mereka mendapatkan pengetahuan baru yang dibawa dari dunia Internasional. Seiring berjalannya waktu, rasa kebangsaan kian tumbuh di antara para pelajar yang juga mendapatkan pengaruh ide-ide antikolonialisme yang dibawa dari luar negeri. 

Di kalangan kaum pelajar ini, timbul rasa kebangsaan atas dasar persamaan senasib dan seperjuangan. Ini ditandai dengan didirikannya organisasi-organisasi oleh para kaum bumiputera dari berbagai latar belakang, mulai dari agama, daerah, ideologi, serta profesi. Meskipun awalnya masih bersifat kedaerahan, namun akhirnya semua organisasi-organisasi ini lantas menyatukan tujuannya dengan salah satu tonggak awalnya, yaitu dilaksanakannya Kongres Pemuda dengan hasil monumental berupa Sumpah Pemuda. Ini menjadi salah satu tonggak awal dari rasa kebangsaan serta nasionalisme Indonesia yang dipelopori para pelajar. 
 
Selain tumbuh dan berkembang di tanah Hindia Belanda, gerakan nasionalisme kemerdekaan Indonesia juga turut diperjuangkan di kancah internasional oleh para pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri. Mereka terhimpun dalam organisasi bernama ‘Indische Vereeniging’. Didirikan pada 1908 atas prakarsa R. M. Noto Soeroto dan Soetan Kasajangan, awalnya organisasi ini diterima baik oleh pemerintah Belanda yang memang pandangan awalnya masih patuh terhadap Belanda, karena belum bersifat politis. Menurut Noto Soeroto, tujuan dari organisasi ini yaitu untuk memajukan kepentingan bersama orang Hindia di Belanda dan menjaga hubungan dengan Hindia Timur Belanda. 
 
Di akhir tahun 1913, kedatangan Tiga Serangkai membuat banyak perubahan besar di dalam Indische Vereeniging. Gagasan mereka yang menginginkan kemerdekaan Tanah Hindia ini tentu bertentangan dengan ide dari Noto Soeroto yang menginginkan tetap loyal dengan Belanda. Pada akhirnya, pemikiran Noto Soeroto ini ditinggalkan oleh para generasi baru Indische Vereeniging yang datang ke Belanda pasca Perang Dunia Pertama. Mereka membawa ide serta gagasan kebangsaan yang sebelumnya sudah disemai oleh Indische Partij di tanah Hindia Belanda. Perubahan haluan ini ditandai dengan berubahnya nama organisasi ini menjadi Indonesische Vereeniging (1922) dan menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) (1925). Ini merupakan pernyataan sikap dari para anggota organisasi mengenai nasionalisme dan antikolonial; merdeka dan bebas dari penjajahan. 
 
Ide serta pemikiran politis yang mereka bawa ini kemudian berakulturasi dengan gagasan baru yang sedang berkembang di dunia saat itu. Para pemuda generasi baru PI ini kemudian tertarik dengan pemikiran Marxisme-Leninisme. Para pemuda generasi baru ini adalah Mohammad Hatta, Gatot Mangkupradja, Iwa Koesoema Soemantri, dan Soebardjo. Meskipun para pemimpin PI memiliki orientasi Marxisme yang kuat, hanya sedikit yang menjadi pendoktrin ajaran Marxisme dan sedikit sekali yang melakukan analisis kelas dalam masyarakat Indonesia. Mereka lebih tertarik dengan analisis perjuangan ras antara orang Indonesia berkulit cokelat melawan orang Belanda yang berkulit putih, atau antara bangsa Asia melawan Eropa, yang kemudian dikenal sebagai perjuangan “sini” lawan “sana”. 
 
Pada 1925, ketua PI baru, Soekiman Wirjosandjojo memutuskan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia yang berusaha dicapai melalui strategi solidaritas, swadaya, dan nonkooperasi, tidak cukup bila hanya memperhatikan aspek “kesatuan nasional”, tetapi juga harus dibarengi dengan “kesetiakawanan internasional”. Visi internasional ini telah tertanam di antara pemimpin PI karena dipengaruhi pula oleh peristiwa global serta gerakan nasionalis lainnya di negara-negara Asia dan Afrika. Strategi yang disepakati oleh para pemimpin PI dalam memperluas propaganda gerakan kemerdekaan Indonesia di kancah internasional adalah membangun jaringan dengan gerakan antikolonial Asia dan Afrika, terutama yang berada di Eropa. Usaha yang dilakukan dengan segera adalah mulai mengirimkan perwakilan PI ke kota-kota di Eropa yang menjadi basis pergerakan antiimperialisme dunia jajahan. Paris kemudian dipilih sebagai kota utama dari aktivisme internasional PI. Ini didasari oleh pertimbangan bahwa Paris merupakan ‘ibukota’ dari aktivitas antiimperialisme dan antikolonialisme yang bergairah, dimana para aktivis dari berbagai belahan dunia seperti Asia, Afrika, Karibia, dan Amerika Latin tinggal di sana, mengorganisir rapat dan pertemuan dengan aktif, menerbitkan majalah pergerakan, serta membangun jaringan antar sesama organisasi dengan minat serupa. 
 
Mononutu ditunjuk sebagai perwakilan PI untuk mengontak dan membangun hubungan dengan organisasi antikolonial dari dunia jajahan. Ia dipilih karena dapat berbahasa Perancis dengan baik, memiliki hubungan luas dengan para diplomat, memiliki keberanian dalam mengemukakan pendapat, serta dapat bertindak atas nama PI karena posisinya sebagai wakil ketua. Dengan mengorbankan studinya di Belanda, Mononutu pergi ke Paris di musim panas tahun 1925. Hal yang pertama kali dilakukan Mononutu di Paris adalah mencari kontak dengan gerakan antikolonial Asia dan Afrika sebagaimana hasil yang disepakati dalam rapat PI. Organisasi yang menjadi pintu gerbang internasionalisasi pemikiran dan program PI di Paris adalah Association pour l’étude des Civilisations Orientales (AECO). Program ini menjadi corong dari PI untuk berhubungan dengan para aktivis dan intelektual antikolonial Asia dan bertukar pandangan satu sama lain. 
 
PI kemudian mendapat kesempatan untuk hadir dalam Kongres Demokrasi Internasional untuk Perdamaian (Congrès Démocratique International pour la Paix) di Bierville, sebuah desa kecil 120 kilometer dari barat laut Paris. Konferensi yang diadakan pada tanggal 14-23 Agustus 1926 ini merupakan event tahunan yang diorganisasi oleh Ligue de la Jeune-République atas dorongan utama dari gerakan demokrasi internasional di bawah pimpinan bekas anggota parlemen Perancis, Marc Sangnier. Hatta sebagai ketua PI kepengurusan 1926 berangkat ke Bierville sebagai perwakilan dari PI dan pemuda Indonesia. Di dalam rapat, Hatta mengemukakan bahwa kehadirannya di Bierville mempunyai misi untuk mengenalkan nama Indonesia di kancah internasional. Konferensi Bierville sendiri dihadiri oleh sekitar 5.000 orang dari 33 bangsa yang mayoritas di Eropa. 
 
Dalam kesempatan pidatonya, Hatta menyampaikan terima kasih kepada kongres karena telah mengizinkan seorang pemuda Indonesia berbicara atas nama Indonesia, yang mungkin baru mereka dengar pertama kali, untuk perjuangan Indonesia. Di dalam pidatonya, Hatta mengatakan bahwa perdamaian dunia terkait dengan kemerdekaan bangsa-bangsa. "Barangsiapa yang menghendaki perdamaian dunia, pastilah orang itu menginginkan kemerdekaan setiap bangsa", pungkas Hatta. Pada pernyataan tersebut, Hatta ingin mengungkapkan kepada kaum demokrat Barat bahwa ada hubungan yang tidak dapat diputus antara dasar kemanusiaan dan perjuangan revolusioner untuk kemerdekaan bangsa. 
 
Puncak dari aktivitas politik internasional dari kaum nasionalis PI adalah undangan untuk menghadiri Kongres Melawan Imperialisme dan Opresi Kolonial (The Brussels Congress against Imperialism and Colonial Oppression) pada tanggal 10-15 Februari 1927. Kongres ini dihadiri oleh ratusan militan kiri, aktivis dan nasionalis antikolonial, serta pasifis dari seluruh dunia. PI sendiri mengirim lima orang perwakilannya ke Brussels, yaitu Moh. Hatta sebagai ketua delegasi, Nazir Pamontjak, Ahmad Soebardjo, Gatot Taroenamihardja, dan Abdul Manaf (mewakili wakil seksi PI di Mesir). Selain itu, Semaun hadir juga mewakili Sarikat Rakyat. 
 
Di Brussels, delegasi Indonesia bertemu dengan para aktivis dan nasionalis terkenal dari Asia dan Afrika untuk pertama kalinya. Di forum inilah, mereka bertatap muka dan membangun kontak dengan Jawaharlal Nehru (India) dari Indian National Congress; Lamine Senghor (Senegal) dari Comité de Défense de la Race Nègre; Hansin Liu (Cina) perwakilan dari Kuomintang, Hafiz Ramadhan Bey (Mesir) perwakilan dari Egyptian National Party, Messali Hadj (Aljazair) delegasi dari Étoile Nord-Africaine, dan James La Guma dan Josiah Gumede (Afrika Selatan) yang mewakili African National Congress. Sebagai ketua delegasi PI, Hatta diberi kehormatan menduduki Presidium Kongres. 
 
Mewakili delegasi PI, Pamontjak menyampaikan sejarah dan karakteristik ekonomi serta geografi Indonesia. Kemudian, Pamontjak mengelaborasi sejarah kolonialisme Indonesia, eksploitasi ekonominya, dan penderitaannya terhadap rakyat Indonesia. Ia mengatakan bahwa negara kolonial adalah hamba setia dari kepentingan kapitalisme internasional. Penindasan ganda dari kapitalisme dan kolonialisme inilah yang melahirkan perjuangan nasional untuk meraih kemerdekaan. Pemberontakan komunis 1926 menurut Pamontjak mesti dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari meningkatnya frustasi sosial dan berkembangnya pergerakan antikolonial. 
 
Pidato Pamontjak diterima dengan baik oleh audiens. Seperti kebiasaan pada umumnya, pembicara dapat mengajukan suatu resolusi yang mengekspresikan solidaritas dengan rakyat yang diperjuangkannya. Kongres akhirnya menyetujui resolusi bahwa mereka bersimpati kepada gerakan kemerdekaan Indonesia, memberikan kebebasan kepada rakyat Indonesia untuk bergerak, dan menuntut pemberian amnesti kepada para pemberontak. Selain itu, kongres memutuskan untuk membentuk suatu komisi beranggotakan Nansen, Bernard Shaw, dan Barbusse untuk pergi ke Jawa dan Sumatera dengan tujuan untuk menyelidiki benarkah pemberontakan komunis yang baru terjadi merupakan hasutan komunis atau karena kesengsaraan sosial yang diderita oleh rakyat. 
 
Sekembalinya dari Brussels, para anggota PI merasa puas dengan performa yang mereka tunjukkan di sana. Bagi delegasi PI, keterlibatan mereka di Brussels jelas bermanfaat sekali untuk melaksanakan kepentingan mereka; memperluas jaringan ke gerakan antikolonial internasional dan menyebarkan propaganda kemerdekaan Indonesia. Mereka, para delegasi Indonesia, berkenalan pertama kali dengan pemimpin pergerakan rakyat dari Asia dan Afrika, seperti Nehru, Senghor, Ramadhan Bey, dan Messali Hadj. Inilah momen dimana mereka tidak hanya saling berkenalan, tetapi juga saling mempelajari pergerakan masing-masing negara, dan yang paling penting adalah membina hubungan yang akan bermanfaat di masa depan. 
 
Di akhir, para peserta kongres sepakat untuk mendirikan sebuah liga bernama Liga Melawan Imperialisme dan untuk Kemerdekaan Nasional (League against Imperialism and for National Independence). Penamaan organisasi yang menggunakan kata liga merupakan hal yang disengaja sebagai serangan langsung terhadap Liga Bangsa-Bangsa yang tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghentikan kolonialisme. Hatta dan Semaun duduk di dalam Komite Eksekutif Liga bersama Nehru, Senghor, dan Messali Hadj. Tugas Komite Eksekutif Liga adalah mewakili Liga dalam konferensi-konferensi, menentukan agenda, dan menyebarluaskan propaganda. 
 
Meskipun propaganda internasional yang dilakukan oleh PI untuk kemerdekaan tanah air, kontak dan jaringan yang dibangun oleh para elit nasionalis Indonesia ini ditempa di pusat imperial Eropa, bukan di koloni. Melalui aktivitas internasional PI, kita dapat melihat bahwa kemunculan ide nasionalisme menginspirasi pembentukan jaringan baru melampaui wilayah Belanda dan Indonesia. Kita bisa melihat perjuangan pelajar Indonesia dalam meraih kemerdekaan bangsa juga turut dilakukan di kancah internasional. Semangat internasionalisme antikolonial pergerakan Indonesia di awal abad ke-20 begitu luar biasa membentang, terhubung dengan gerakan nasionalis global Asia dan Afrika, komunisme internasional, dan di antara diaspora politik orang Indonesia itu sendiri. 
  
Sumber:
  • Utama, W. (2018). Mempropagandakan Kemerdekaan di Eropa: Perhimpunan Indonesia dan Internasionalisasi Gerakan Antikolonial di Paris. Jurnal Sejarah, 1(2). 
  • Utama, W. S. (2017). Nasionalisme dan Gagasan Kebangsaan Indonesia Awal: Pemikiran Soewardi Suryaningrat, Tjiptomangoenkusumo dan Douwes Dekker 1912-1914. Lembaran Sejarah, 11(1), 51-70. 
  • Poeze, Harry. (2008). Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. Jakarta: Gramedia.
 
Penulis: Irvan Maulana
Editor: Pinpin Cahyadi 

Tunggu Tubang adalah tradisi waris yang berlaku dalam masyarakat Suku Semende, Sumatera Selatan. Suku Semende diduga berasal dari Suku Pasemah, suku yang juga memiliki kekerabatan dengan Suku Melayu dan Suku Komering.

Tubang merupakan sebilah bambu yang terdiri dari beberapa ruas. Bambu ini dipotong sedikit pada salah satu sisinya dan diletakkan menggantung di atas perapian atau tempat memasak. Tubang ini biasanya dipergunakan sebagai tempat menyimpan rempah-rempah bumbu masak.

Tradisi waris di Suku Semende ini seumpama dengan menjaga rempah-rempah atau bumbu masak, yang biasanya dilakukan oleh perempuan. Dalam tradisi ini, harta waris dipercayakan kepada anak perempuan tertua dalam keluarga. Jika berhalangan, maka diturunkan kepada anak perempuan selanjutnya. Harta tersebut umumnya berupa rumah utama dan sawah atau kebun. Perempuan tunggu tubang harus menjaga harta tersebut dan mempergunakan hasilnya untuk menjaga keluarganya.


Tradisi ini diduga muncul sebagai akibat dari budaya merantau yang dianut para pria di Suku Semende. Rumah dan tanah yang ditinggalkan di kampung akhirnya dijaga oleh anak perempuan saat para anak lelaki keluarga tersebut pergi merantau. Para lelaki yang merantau ini pun tetap melestarikan tradisi tunggu tubang di tanah rantau, membuat tradisi ini menyebar di wilayah sebelah barat dan barat daya Provinsi Sumatera Selatan.

Teks: Robby Sunata
Editor: Pinpin Cahyadi
Foto: Tropen Museum

#negerirempah #jalurrempah #rempahrempah #rempahnusantara #spicerouteid #spiceroute #tunggutubang #tubang #tradisi #sumateraselatan #semende #pasemah

Kincir angin merupakan salah satu daya tarik wisata di Belanda yang telah berlangsung selama berabad-abad. Pada masa Perang Dunia Il, kincir angin digunakan untuk membawa pesan rahasia antarpenduduk lokal.

Memasuki abad ke-14, masyarakat Belanda membuat banyak kincir angin sebagai bagian dari pemanfaatan alam dan pelestarian tradisi masyarakat. Dengan sentuhan teknologi, energi angin diubah menjadi energi gerak dan energi listrik yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk memotong kayu, membuat kertas, serta menggiling gandum, jagung, dan rempah.

Bagaimana dengan kincir angin di Indonesia? Di Belitung, kincir angin memiliki beragam nama seperti kelonceran dan menangin. Kincir angin ini juga tidak dapat dilepaskan dari tradisi, adat, dan budaya. Jika tradisi Belanda dipengaruhi oleh laut, masyarakat Kampung Aik Nangkak, Desa Simpang Rusak, Membalong di Belitung dipengaruhi oleh perbukitan.

Tak jauh dari Air Terjun Jurak Linsum Kawai, warga mempersiapkan diri ketika angin membawa pesan alam dari bukit ke lembah Aik Nangkak untuk menyiapkan diri berkreasi. Kayu yang panjang serta daun nangkak di sepanjang aik arongan (sungai kecil) dimanfaatkan. Kayu yang tebal ditipiskan, yang kaku dilenturkan hingga kombinasi kayu dan daun berubah menjadi kincir angin. Kincir angin ini merupakan salah satu tradisi yang masih dipertahankan oleh masyarakat Kampong Aik Nangkak dan kampung-kampung lainnya di Belitung.

Bila musimnya tiba, mereka membuat menangin hingga dua depa panjangnya. Tentunya tradisi ini lestari karena mereka memiliki keterampilan dan mengutamakan kebersamaan.

Kala siang tiba, mereka bergegas beradu menangin. Menjelang malam, lahir tradisi minter (mancing lelutai) bersama.

Teks dan foto: Fithrorozi
Editor: Pinpin Cahyadi

Beternak ayam broiler merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar terhadap daging ayam. Pertumbuhan ayam yang cepat (35-40 hari), didukung oleh banyaknya strain yang unggul membuat usaha inidiminati sejumlah pihak. Akan tetapi, industri ini juga memiliki masalahnya tersendiri. Aroma tidak sedap muncul dari kotoran ayam. Ditambah, lalat yang seringkali berkumpul di area kandang yang berpengaruh
terhadap tingkat higienitas produk.

Inilah dasar dari pembuatan pakan khusus ayam broiler yang dicampur dengan aneka rempah seperti kunyit, jahe, lengkuas, dan lempuyang. Campuran bahan ini dapat mengurangi bau tidak sedap pada kotoran ayam serta meningkatkan bobot ayam.

Rempah-rempah tersebut diiris tipis, kemudian dijemur hingga kering selama 1-2 hari, kemudian diblender. Rempah yang sudah dihaluskan ini kemudian dicampur bersama dengan jagung dan ampas kelapa, lalu digiling kembali dan dikeringkan dengan perapian.

Pakan alternatif dengan campuran rempah ini merupakan produk inovasi karya mahasiswa FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Sumber: Jogja Daily. (2016). Pak Abu, Pakan Ayam Anti Bau Berbahan Dasar Rempah-Rempah

Hari Pendidikan Nasional tidak dapat dilepaskan dari sosok Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara. la termasuk yang frontal dalam menentang pembatasan yang dilakukan Belanda, terutama aturan dimana hanya orang-orang keturunan Belanda dan kaum priyayi yang dapat mengenyam pendidikan. la sempat diasingkan ke Belanda, setelah aksinya memprotes perayaan kemerdekaan Belanda melalui tulisan yang bertajuk Als ik een Nederlander was (Seandainya Aku Seorang Belanda).

Namun, nyalinya tak padam. Di sana, ia bergabung dalam Indische Vereeniging, perkumpulan pelajar Indonesia di Belanda. Setelah ia kembali ke Indonesia (1918), ia membuat Taman Siswa (1922). Pendirian Taman Siswa bukan hanya dimaknai sebagai pembangunan sekolah atau perguruan belaka, tetapi merupakan sebuah gerakan untuk memajukan kualitas pendidikan anak-anak Indonesia. Nasionalisme menjadi basis dari kurikulum yang diusung Taman Siswa.

Semboyan 'ing ngarso sung tulodo' (di depan menjadi contoh atau panutan), 'ing madyo mangun karso' (di tengah membangkitkan semangat), dan 'tut wuri handayani' (dari belakang memberikan dorongan) menjadi prinsip yang dipegang teguh oleh para pengajar atau guru.

Kini, setiap tanggal kelahirannya dirayakan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Atas perjuangannya, ia diabadikan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia. Tut wuri handayani dijadikan slogan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemdikbudristek).

Data: (berbagai sumber)

Oleh Yanuardi Syukur

Walau ada yang bilang "all history is maritime history", tidaklah berarti bahwa daratan tidak membentuk peradaban. Baik lautan dan daratan, keduanya membentuk perjalanan dan peradaban manusia. Dalam tulisan ini saya coba bahas keterkaitan lautan dan peradaban.

Masih ingat di benak kita perebutan kekuasaan atas Laut Cina Selatan. Ada 6 negara yang terlibat aktif: China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Brunei dan Malaysia. Perebutan klaim dibarengi dengan show of maritime force di kawasan. Vietnam misalnya, merujuk National Institute for South China Sea Studies, lembaga riset berbasis di Hainan, China, "telah meningkatkan 'fishing militia' (milisi perairan) dalam 10 tahun terakhir. Mereka melakukan operasi gabungan di Kepulauan Paracel dan di selatan Vietnam. Selain Paracel, Kepulauan Spratly juga diklaim yurisdiksi Vietnam.

China, bahkan mengklaim 90% dari laut seluas 3,5 juta km persegi itu miliknya. Di situ ada potensi perikanan dan cadangan bahan bakar fosil. Dibanding negara lainnya, China adalah paling kuat secara militer dalam klaim tersebut, termasuk bagaimana mereka mempersenjatai nelayan terlatih dalam kerjaan paramiliter dengan dukungan dari penjaga pantai.

Kenapa laut penting?

Pertanyaan ini penting untuk dijawab. Satu hal yang pasti adalah sejak lama manusia menyadari bahwa laut adalah pembentuk peradaban. Inggris berjaya karena berkuasa di laut, pun demikian Amerika dengan sekian banyak kapal perang pada berbagai pangkalan di planet bumi ini.

Maka, penguasaan laut, dalam konteks dirasionalisasikan sebagai penguasaan atas peradaban. Apalagi, dari sudut ekonomi penguasaan laut sangat bermakna bagi income negara. Punya power dalam dagang tapi tidak punya kapal dan pangkalan juga pincang.

Sesuai garis kekuatan laut, kekuatan maritim sebuah bangsa akan kuat jika menggabungkan tiga hal: perdagangan, pangkalan, dan kapal. Produk China masuk kemana-mana, tapi jika tidak punya pangkalan-ekonomi, militer, sosial budaya- juga akan lemah. Itulah kenapa klaim atas LCS menjadi penting sebagai kekuatan peradaban sebuah bangsa.

Antropologi maritim

Ada banyak karya antropologi maritim yang membahas manusia dan laut. Estellie M. Smith menulis "Those who live from the sea: a study in maritime anthropology (1977). Neil L. Whitehead juga mengedit satu kumpulan etnograf dari Karibia, berjudul "Wolves from the sea: Readings in the anthropology of the Native Carribean (1995). Dalam buku itu, Whitehead dan kolega menemukan pluralitas identitas etnik dalam menyambut kedatangan Columbus sekaligus penolakan terhadap skema colonial ethnology.

Karya lainnya, Tanya J. King dan Gary Robinson (2019) berjudul "At Home on the Waves: Human habitation of the sea from the mesolithic to today" (2019). Di dalamnya, mereka mengeksplorasi berbagai cara-sejak lama-bagaimana manusia bisa betah dengan laut dan terus hidup akrab dengan laut.

Beberapa karya terkait laut itu menarik untuk memperkaya berbagai kajian antropologi maritim di Indonesia yang telah dilakukan berbagai peneliti. Studi terkait Suku Bajo cukup banyak dilakukan. Di Sulsel, kajian maritim terhadap menjadi idola. Saat jenjang sarjana, saya pernah terlibat dalam riset kecil di Pare-pare dan Takalar.

Bagaimana konstruksi kultural pelaut Bugis-Makassar mulai dari ritual pembuatan kapal, turunkan kapal ke laut, hingga berbagai wisdom strategi kultural yang dilakukan saat menghadapi misalnya angin puting beliung. Kerinduan terhadap sang kekasih di darat juga dipelajari, misalnya dalam versi Indonesia: "....hujan-hujan di malam hari, kukira air matamu // angin semilir kukira pesanmu tiba." Kurang lebih seingat saya begitu.

Orang Asia Kaya Maritim 

Kita sebagai orang Asia adalah bangsa yang kaya dengan pengalaman bahari. Pengalaman itu, khususnya dalam 'jaringan perdagangan Samudra Hindia', tulis sejarawan Lincoln Paine dalam "The Sea and Civilization" (2015) telah eksis sejak 4000 tahun lalu.

Bangsa-bangsa Asia Selatan (India, Sri Lanka, Maldives, etc.), Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina, etc.), dan Timur Jauh (Cina, Jepang, Taiwan, etc.), sudah membangun 'spice route', jauh sebelum pelaut Portugis Vasco da Gama berlabuh (hingga wafat pada kunjungan ketiga, 1524) di Kochi [nama Portugis-nya: Cochin]), yang sekarang jadi ibu kota negara bagian Kerala, India.

Jalur maritim ini-dalam semua penyebutan, 'silk road' hingga 'spice route'-adalah saluran penting bagi pembentukan peradaban manusia karena di situ tidak hanya ada perjalanan barang, tanaman, ternak, dan manusia-bebas atau budak- tapi juga ada 'projection of values', pemancaran nilai-nilai yang tersebar di sepanjang jalur tersebut.

Lautan luas yang di masa lalu dianggap 'milik bersama' itu membuat orang bebas untuk melangkah dan mencari nafkah. Profesor David Abulafia dari Universitas Cambridge, dalam "The Boundless Sea" (Oxford University Press, 2019), menulis bahwa jaringan maritim masa lalu itu secara bertahap membentuk kontinum interaksi dan interkoneksi antarbangsa.

Bisa kita sebut juga, di sepanjang jalur itu ada interaksi manusia dalam bentuk transfer pengetahuan dan universal human values yang sampai saat ini nilai-nilai itu tampaknya masih ada. Kapal Phinisi yang dibuat di Bulukumba, bahkan dipesan khusus untuk dipakai di luar negeri. Di Madagaskar misalnya, nenek moyang mereka adalah orang Indonesia. Kalau pulang kampung, mereka juga menyebut kata yang sama dengan Indonesia: "mudik."

Berarti, projection of values Indonesia sebenarnya sudah hadir di Samudra Hindia, bahkan tidak menutup kemungkinan juga telah ada di dua protagonis utama samudra di planet ini: Pasifik dan Atlantik. Maka, kekayaan sejarah dan kultur kita seharusnya dapat 'dikapitalisasi' menjadi makna-makna baru untuk mengangkat Indonesia jaya berbasis pada sejarah dan kultur maritim kita yang sangat panjang.*

 

Sumber: https://mandarnesia.com/manusia-laut-dan-peradaban/