Tonggak awal perjuangan menuju kemerdekaan Bangsa Indonesia berawal dari kemunculan golongan baru di kalangan masyarakat Hindia-Belanda, yaitu para kaum terpelajar yang sudah mendapatkan pendidikan ala Barat setelah Politik Etis mulai dilaksanakan pemerintah Hindia-Belanda. Meskipun hanya ditujukan untuk kepentingan pemerintah kolonial, namun program ini telah membawa perubahan besar kepada kalangan pemuda Hindia-Belanda, khususnya di bidang pendidikan, sehingga mereka mendapatkan pengetahuan baru yang dibawa dari dunia Internasional. Seiring berjalannya waktu, rasa kebangsaan kian tumbuh di antara para pelajar yang juga mendapatkan pengaruh ide-ide antikolonialisme yang dibawa dari luar negeri. 

Di kalangan kaum pelajar ini, timbul rasa kebangsaan atas dasar persamaan senasib dan seperjuangan. Ini ditandai dengan didirikannya organisasi-organisasi oleh para kaum bumiputera dari berbagai latar belakang, mulai dari agama, daerah, ideologi, serta profesi. Meskipun awalnya masih bersifat kedaerahan, namun akhirnya semua organisasi-organisasi ini lantas menyatukan tujuannya dengan salah satu tonggak awalnya, yaitu dilaksanakannya Kongres Pemuda dengan hasil monumental berupa Sumpah Pemuda. Ini menjadi salah satu tonggak awal dari rasa kebangsaan serta nasionalisme Indonesia yang dipelopori para pelajar. 
 
Selain tumbuh dan berkembang di tanah Hindia Belanda, gerakan nasionalisme kemerdekaan Indonesia juga turut diperjuangkan di kancah internasional oleh para pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri. Mereka terhimpun dalam organisasi bernama ‘Indische Vereeniging’. Didirikan pada 1908 atas prakarsa R. M. Noto Soeroto dan Soetan Kasajangan, awalnya organisasi ini diterima baik oleh pemerintah Belanda yang memang pandangan awalnya masih patuh terhadap Belanda, karena belum bersifat politis. Menurut Noto Soeroto, tujuan dari organisasi ini yaitu untuk memajukan kepentingan bersama orang Hindia di Belanda dan menjaga hubungan dengan Hindia Timur Belanda. 
 
Di akhir tahun 1913, kedatangan Tiga Serangkai membuat banyak perubahan besar di dalam Indische Vereeniging. Gagasan mereka yang menginginkan kemerdekaan Tanah Hindia ini tentu bertentangan dengan ide dari Noto Soeroto yang menginginkan tetap loyal dengan Belanda. Pada akhirnya, pemikiran Noto Soeroto ini ditinggalkan oleh para generasi baru Indische Vereeniging yang datang ke Belanda pasca Perang Dunia Pertama. Mereka membawa ide serta gagasan kebangsaan yang sebelumnya sudah disemai oleh Indische Partij di tanah Hindia Belanda. Perubahan haluan ini ditandai dengan berubahnya nama organisasi ini menjadi Indonesische Vereeniging (1922) dan menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) (1925). Ini merupakan pernyataan sikap dari para anggota organisasi mengenai nasionalisme dan antikolonial; merdeka dan bebas dari penjajahan. 
 
Ide serta pemikiran politis yang mereka bawa ini kemudian berakulturasi dengan gagasan baru yang sedang berkembang di dunia saat itu. Para pemuda generasi baru PI ini kemudian tertarik dengan pemikiran Marxisme-Leninisme. Para pemuda generasi baru ini adalah Mohammad Hatta, Gatot Mangkupradja, Iwa Koesoema Soemantri, dan Soebardjo. Meskipun para pemimpin PI memiliki orientasi Marxisme yang kuat, hanya sedikit yang menjadi pendoktrin ajaran Marxisme dan sedikit sekali yang melakukan analisis kelas dalam masyarakat Indonesia. Mereka lebih tertarik dengan analisis perjuangan ras antara orang Indonesia berkulit cokelat melawan orang Belanda yang berkulit putih, atau antara bangsa Asia melawan Eropa, yang kemudian dikenal sebagai perjuangan “sini” lawan “sana”. 
 
Pada 1925, ketua PI baru, Soekiman Wirjosandjojo memutuskan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia yang berusaha dicapai melalui strategi solidaritas, swadaya, dan nonkooperasi, tidak cukup bila hanya memperhatikan aspek “kesatuan nasional”, tetapi juga harus dibarengi dengan “kesetiakawanan internasional”. Visi internasional ini telah tertanam di antara pemimpin PI karena dipengaruhi pula oleh peristiwa global serta gerakan nasionalis lainnya di negara-negara Asia dan Afrika. Strategi yang disepakati oleh para pemimpin PI dalam memperluas propaganda gerakan kemerdekaan Indonesia di kancah internasional adalah membangun jaringan dengan gerakan antikolonial Asia dan Afrika, terutama yang berada di Eropa. Usaha yang dilakukan dengan segera adalah mulai mengirimkan perwakilan PI ke kota-kota di Eropa yang menjadi basis pergerakan antiimperialisme dunia jajahan. Paris kemudian dipilih sebagai kota utama dari aktivisme internasional PI. Ini didasari oleh pertimbangan bahwa Paris merupakan ‘ibukota’ dari aktivitas antiimperialisme dan antikolonialisme yang bergairah, dimana para aktivis dari berbagai belahan dunia seperti Asia, Afrika, Karibia, dan Amerika Latin tinggal di sana, mengorganisir rapat dan pertemuan dengan aktif, menerbitkan majalah pergerakan, serta membangun jaringan antar sesama organisasi dengan minat serupa. 
 
Mononutu ditunjuk sebagai perwakilan PI untuk mengontak dan membangun hubungan dengan organisasi antikolonial dari dunia jajahan. Ia dipilih karena dapat berbahasa Perancis dengan baik, memiliki hubungan luas dengan para diplomat, memiliki keberanian dalam mengemukakan pendapat, serta dapat bertindak atas nama PI karena posisinya sebagai wakil ketua. Dengan mengorbankan studinya di Belanda, Mononutu pergi ke Paris di musim panas tahun 1925. Hal yang pertama kali dilakukan Mononutu di Paris adalah mencari kontak dengan gerakan antikolonial Asia dan Afrika sebagaimana hasil yang disepakati dalam rapat PI. Organisasi yang menjadi pintu gerbang internasionalisasi pemikiran dan program PI di Paris adalah Association pour l’étude des Civilisations Orientales (AECO). Program ini menjadi corong dari PI untuk berhubungan dengan para aktivis dan intelektual antikolonial Asia dan bertukar pandangan satu sama lain. 
 
PI kemudian mendapat kesempatan untuk hadir dalam Kongres Demokrasi Internasional untuk Perdamaian (Congrès Démocratique International pour la Paix) di Bierville, sebuah desa kecil 120 kilometer dari barat laut Paris. Konferensi yang diadakan pada tanggal 14-23 Agustus 1926 ini merupakan event tahunan yang diorganisasi oleh Ligue de la Jeune-République atas dorongan utama dari gerakan demokrasi internasional di bawah pimpinan bekas anggota parlemen Perancis, Marc Sangnier. Hatta sebagai ketua PI kepengurusan 1926 berangkat ke Bierville sebagai perwakilan dari PI dan pemuda Indonesia. Di dalam rapat, Hatta mengemukakan bahwa kehadirannya di Bierville mempunyai misi untuk mengenalkan nama Indonesia di kancah internasional. Konferensi Bierville sendiri dihadiri oleh sekitar 5.000 orang dari 33 bangsa yang mayoritas di Eropa. 
 
Dalam kesempatan pidatonya, Hatta menyampaikan terima kasih kepada kongres karena telah mengizinkan seorang pemuda Indonesia berbicara atas nama Indonesia, yang mungkin baru mereka dengar pertama kali, untuk perjuangan Indonesia. Di dalam pidatonya, Hatta mengatakan bahwa perdamaian dunia terkait dengan kemerdekaan bangsa-bangsa. "Barangsiapa yang menghendaki perdamaian dunia, pastilah orang itu menginginkan kemerdekaan setiap bangsa", pungkas Hatta. Pada pernyataan tersebut, Hatta ingin mengungkapkan kepada kaum demokrat Barat bahwa ada hubungan yang tidak dapat diputus antara dasar kemanusiaan dan perjuangan revolusioner untuk kemerdekaan bangsa. 
 
Puncak dari aktivitas politik internasional dari kaum nasionalis PI adalah undangan untuk menghadiri Kongres Melawan Imperialisme dan Opresi Kolonial (The Brussels Congress against Imperialism and Colonial Oppression) pada tanggal 10-15 Februari 1927. Kongres ini dihadiri oleh ratusan militan kiri, aktivis dan nasionalis antikolonial, serta pasifis dari seluruh dunia. PI sendiri mengirim lima orang perwakilannya ke Brussels, yaitu Moh. Hatta sebagai ketua delegasi, Nazir Pamontjak, Ahmad Soebardjo, Gatot Taroenamihardja, dan Abdul Manaf (mewakili wakil seksi PI di Mesir). Selain itu, Semaun hadir juga mewakili Sarikat Rakyat. 
 
Di Brussels, delegasi Indonesia bertemu dengan para aktivis dan nasionalis terkenal dari Asia dan Afrika untuk pertama kalinya. Di forum inilah, mereka bertatap muka dan membangun kontak dengan Jawaharlal Nehru (India) dari Indian National Congress; Lamine Senghor (Senegal) dari Comité de Défense de la Race Nègre; Hansin Liu (Cina) perwakilan dari Kuomintang, Hafiz Ramadhan Bey (Mesir) perwakilan dari Egyptian National Party, Messali Hadj (Aljazair) delegasi dari Étoile Nord-Africaine, dan James La Guma dan Josiah Gumede (Afrika Selatan) yang mewakili African National Congress. Sebagai ketua delegasi PI, Hatta diberi kehormatan menduduki Presidium Kongres. 
 
Mewakili delegasi PI, Pamontjak menyampaikan sejarah dan karakteristik ekonomi serta geografi Indonesia. Kemudian, Pamontjak mengelaborasi sejarah kolonialisme Indonesia, eksploitasi ekonominya, dan penderitaannya terhadap rakyat Indonesia. Ia mengatakan bahwa negara kolonial adalah hamba setia dari kepentingan kapitalisme internasional. Penindasan ganda dari kapitalisme dan kolonialisme inilah yang melahirkan perjuangan nasional untuk meraih kemerdekaan. Pemberontakan komunis 1926 menurut Pamontjak mesti dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari meningkatnya frustasi sosial dan berkembangnya pergerakan antikolonial. 
 
Pidato Pamontjak diterima dengan baik oleh audiens. Seperti kebiasaan pada umumnya, pembicara dapat mengajukan suatu resolusi yang mengekspresikan solidaritas dengan rakyat yang diperjuangkannya. Kongres akhirnya menyetujui resolusi bahwa mereka bersimpati kepada gerakan kemerdekaan Indonesia, memberikan kebebasan kepada rakyat Indonesia untuk bergerak, dan menuntut pemberian amnesti kepada para pemberontak. Selain itu, kongres memutuskan untuk membentuk suatu komisi beranggotakan Nansen, Bernard Shaw, dan Barbusse untuk pergi ke Jawa dan Sumatera dengan tujuan untuk menyelidiki benarkah pemberontakan komunis yang baru terjadi merupakan hasutan komunis atau karena kesengsaraan sosial yang diderita oleh rakyat. 
 
Sekembalinya dari Brussels, para anggota PI merasa puas dengan performa yang mereka tunjukkan di sana. Bagi delegasi PI, keterlibatan mereka di Brussels jelas bermanfaat sekali untuk melaksanakan kepentingan mereka; memperluas jaringan ke gerakan antikolonial internasional dan menyebarkan propaganda kemerdekaan Indonesia. Mereka, para delegasi Indonesia, berkenalan pertama kali dengan pemimpin pergerakan rakyat dari Asia dan Afrika, seperti Nehru, Senghor, Ramadhan Bey, dan Messali Hadj. Inilah momen dimana mereka tidak hanya saling berkenalan, tetapi juga saling mempelajari pergerakan masing-masing negara, dan yang paling penting adalah membina hubungan yang akan bermanfaat di masa depan. 
 
Di akhir, para peserta kongres sepakat untuk mendirikan sebuah liga bernama Liga Melawan Imperialisme dan untuk Kemerdekaan Nasional (League against Imperialism and for National Independence). Penamaan organisasi yang menggunakan kata liga merupakan hal yang disengaja sebagai serangan langsung terhadap Liga Bangsa-Bangsa yang tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghentikan kolonialisme. Hatta dan Semaun duduk di dalam Komite Eksekutif Liga bersama Nehru, Senghor, dan Messali Hadj. Tugas Komite Eksekutif Liga adalah mewakili Liga dalam konferensi-konferensi, menentukan agenda, dan menyebarluaskan propaganda. 
 
Meskipun propaganda internasional yang dilakukan oleh PI untuk kemerdekaan tanah air, kontak dan jaringan yang dibangun oleh para elit nasionalis Indonesia ini ditempa di pusat imperial Eropa, bukan di koloni. Melalui aktivitas internasional PI, kita dapat melihat bahwa kemunculan ide nasionalisme menginspirasi pembentukan jaringan baru melampaui wilayah Belanda dan Indonesia. Kita bisa melihat perjuangan pelajar Indonesia dalam meraih kemerdekaan bangsa juga turut dilakukan di kancah internasional. Semangat internasionalisme antikolonial pergerakan Indonesia di awal abad ke-20 begitu luar biasa membentang, terhubung dengan gerakan nasionalis global Asia dan Afrika, komunisme internasional, dan di antara diaspora politik orang Indonesia itu sendiri. 
  
Sumber:
  • Utama, W. (2018). Mempropagandakan Kemerdekaan di Eropa: Perhimpunan Indonesia dan Internasionalisasi Gerakan Antikolonial di Paris. Jurnal Sejarah, 1(2). 
  • Utama, W. S. (2017). Nasionalisme dan Gagasan Kebangsaan Indonesia Awal: Pemikiran Soewardi Suryaningrat, Tjiptomangoenkusumo dan Douwes Dekker 1912-1914. Lembaran Sejarah, 11(1), 51-70. 
  • Poeze, Harry. (2008). Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. Jakarta: Gramedia.
 
Penulis: Irvan Maulana
Editor: Pinpin Cahyadi