Banda merupakan gugusan kepulauan penghasil pala yang terkenal di Maluku. Kepulauan Banda terdiri dari enam pulau, dimana Pulau Lontor dan Pulau Naira yang terpisah selat kecil adalah pulau terbesar. 

 
Tome Pires menjelaskan bahwa pada abad ke-16, para pedagang Jawa dan Melayu berlabuh di Pulau Naira untuk membeli pala. Tiga pulau lainnya (Ai, Run, dan Lontor) tidak memiliki tempat berlabuh yang terlindung karena banyak karang yang muncul ke permukaan setelah laut surut. Pulau Nailaka merupakan pulau terakhir yang tidak memiliki produk niaga, kecuali sagu.
 
Pada waktu itu, Banda memiliki kurang lebih 3.000 penduduk. Pada abad ke-16, Kepulauan Banda menghasilkan lebih banyak pala dan fuli setiap tahunnya. Untuk menjaga diversitas komoditas yang diniagakan, cengkih didatangkan dari Maluku Utara dan Kepulauan Seram. Pada paruh awal abad ke-17, penduduk Banda mendapat kekayaan lebih akibat dari naiknya harga jual pala. Kondisi ini lumrah karena Banda merupakan penghasil pala dunia.
 
Ketika armada Portugis yang dikepalai oleh Serrao tiba di Banda, Portugis berdagang secara damai. Melalui perdagangan awal tersebut ,Portugis menikmati keuntungan paling sedikit 1.000%. Setelahnya, Banda relatif diacuhkan karena Portugis berfokus di Ternate. Meskipun sebenarnya pada tahun 1529, Kapten Garcia mencoba membangun benteng, namun karena mendapat perlawanan dari penduduk Banda, upaya tersebut diurungkan.
 
Tidak seperti Portugis, Belanda datang dengan lebih ofensif. Belanda berusaha untuk memonopolisasi komoditas pala dan fuli di Kepulauan Banda. Setelah melucuti kekuatan Portugis dan Inggris di Kepulauan Seram dan Banda, Belanda melakukan beberapa represi di Kepulauan Banda. Beberapa ekspedisi dikirim untuk memperkuat kekuatan.
 
Untuk membalas pembunuhan terhadap Laksamana Verhoeff, Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen membawa armada penghukum. Armada ini berkekuatan 13 kapal besar, tiga kapal pesiar, dan 36 kapal tongkang, beserta ribuan pasukan gabungan (1.905 orang Eropa, 286 budak Jawa, dan 80 ronin bayaran). Prajurit VOC itu memporak-porandakan orang Banda. Dimulai dengan menaklukan Lonthor, desa-desa dibakar, 883 penduduk (287 pria, 356 wanita, dan 240 anak-anak yang 176 diantaranya tewas di atas kapal). Coen benar-benar melakukan depopulasi Banda dengan cara mengirim sisa penduduk Banda ke Batavia untuk dijual sebagai Budak. Dalam Nathaniel’s Nutmeg, tidak diketahui jumlah pastinya, namun dari satu kapal saja tercatat membawa hampir 900 orang yang seperempatnya meninggal di perjalanan.  
 
Penduduk Banda ‘yang asli’ hampir punah. Dari populasi awal sejumlah 15.000 orang, hanya sekitar 1.000 orang yang selamat. Mereka yang selamat melarikan diri dengan cara menyeberang ke pulau sekitar, seperti Seram, Kei, Serua, hingga Aru di timur. Repopulasi dilakukan dengan cara mendatangkan budak dari berbagai daerah guna menjadi budak perkebunan pala. Masalah monopoli pala dan fuli kini telah usai. Sejak saat itu, Banda benar-benar berada di bawah dominasi VOC.
 
Kurang lebih tiga abad setelahnya, Banda masih saja menjadi tempat pengasingan para tokoh pergerakan bangsa. Pada tanggal 11 Februari 1936, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir diasingkan di Banda setelah sebelumnya diasingkan Boven Digoel. Hatta dan Sjahrir diberi kebebasan untuk berkomunikasi dengan siapapun, baik penduduk sekitar ataupun kolega di luar daerah. Disini, mereka juga diberi kebebasan untuk membaca buku, berita di koran, dan majalah. Dengan enam belas peti buku, ditambah atmosfer alam yang indah menegaskan bahwa kondisi Banda memang tak seburuk Digoel.
 
Di Banda, Hatta dan Sjahrir bertemu dengan kolega-kolega seperjuangan, seperti Tjipto Mangoenkoesoemo, Iwa Koesoemasoemantri, dr. Soeroyo, dr. Soeherman, dan beberapa lainnya. Di sini, Hatta mendapat keleluasaan untuk bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh pergerakan. Di Banda, Hatta juga mengajar pemuda-pemuda setempat dua kali dalam seminggu, termasuk dua tamatan MULO Bukittinggi dan seorang lulusan Taman Siswa yang dikirim oleh Anwar Sutan Saidi. Pelajaran mereka berbeda-beda, ada yang bersangkutan dengan ilmu praktis dan ada juga soal politik.
 
Di samping memberi pengajaran terhadap pemuda setempat, Hatta juga menyempatkan waktunya untuk menuliskan buah pikirnya ke beberapa surat kabar. Sekali-kali, Hatta mengirimkannya ke Batavia, Medan, dan Solo. Apalagi sejak di Banda, Hatta diminta untuk menulis di surat kabar Pemandangan dan Sin Tit Po. Akhirnya pada tahun 1942, tiba-tiba Hatta dan Sjahrir dipindahkan pemerintah Belanda ke Sukabumi sebagai respon kacaunya kondisi Hindia Belanda akibat perang Pasifik.
 
Dari sini, Banda dapat dilihat sebagai satu entitas dalam beberapa ruang dan waktu yang berbeda. Pada periode pra kolonial, Banda merupakan satu-satunya daerah penghasil pala dunia. Pelaut Arab, China, dan Nusantara berniaga dalam suatu kondisi sosial kosmopolitan. Pada masa setelahnya, bangsa Eropa mulai merusak kondisi tersebut dengan melakukan monopoli tak sehat. Perang, pembumihangusan, dan pembantaian dilakukan untuk menguasai pala. Tiga abad berlalu, Banda akhirnya menjadi tempat pengasingan tokoh pergerakan nasional. Neraka Banda yang kelam menunjukkan kembali kekuatan surgawinya setelah tiga abad tertidur. Buah pikiran negara Indonesia diciptakan di pulau yang dulunya menjadi pusat perdagangan dunia. 
 
Penulis: Raymizard Alifian Firmansyah 
Editor : Pinpin Cahyadi
 
Sumber:
Amal, M. A. (2016). Kepulauan Rempah-Rempah. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 
 
Argensola B. L. D. (1708). The Discovery and Conquest of The Malucco and Philippine Islands. London [s.n.]. 
 
Loth, V.C. (1995). Pioneers and Perkeniers: The Banda Islands in The 17th Century, 6. 13-35. Diunduh 9 Mei 2021 dari https://scholarspace.manoa.hawaii.edu/handle/10125/4207 
 
Milton, G. (1999). Nathaniel's Nutmeg Or, The True and Incredible Adventures of the Spice Trader Who Changed the Course of History. New York: Farrar, Straus and Giroux. 
 
Noer, D. (2018). Mohammad Hatta dan Pemikirannya: Biografi. Vol. 1. Jakarta: Kompas. 
 
Widjojo, M. (2013). Pemberontakan Nuku: Persekutuan Lintas Budaya di Maluku-Papua Sekitar 1780-1810. Depok: Komunitas Bambu.