Jakarta, CNBC Indonesia - Komoditas rempah menjadi rebutan bagi negara lain yang datang ke Nusantara pada masa kolonial berabad silam yang lalu.Tapi siapa sangka bahwa gambaran kemakmuran itu diselimuti bayang-bayang penderitaan, seperti kisah perbudakan, kekerasan seksual, dan perompakan.Adalah Junus Satrioatmodjo, seorang Arkeolog dari Universitas Indonesia yang memaparkan hal tersebut dalam sesi diskusi International Forum on Spice Route 2019 di Museum Nasional, Jakarta, beberapa waktu lalu. Junus mengungkapkan bahwa setengah pelaut pada masa kedatangan bangsa Portugis sampai VOC ke Nusantara ialah kriminal.
Para kriminal itu merupakan orang-orang terbuang dari lingkungan sosial di negara asalnya. Mereka berlayar untuk mencari sebuah pelarian. Namun, tidak semua orang yang melaut berdasar atas keinginan mereka. Di antaranya ada korban-korban penculikan yang terpaksa menjadi budak dan mengarungi lautan selama 5 sampai 6 tahun.
Pada CNBC Indonesia, Junus menjelaskan mengapa jalur rempah identik dengan perompakan. Pelayaran yang saat itu sibuk karena perdagangan rempah dari berbagai macam negara yang datang ke Nusantara dianggap sebagai sebuah harta karun di lautan.Para pelaut yang sukarela maupun dipaksa dipekerjakan sebagai tukang kapal atau sekadar bersih-bersih lantai. Junus mengatakan mereka yang datang dari India, Eropa, Persia, Arab, dan China ke Nusantara, lalu kemudian membawa rempah adalah orang yang terbiasa dengan daratan.Terombang-ambing bertahun-tahun di lautan membuat mereka berfantasi bahkan melakukan penyimpangan seksual."Mereka selalu berimajinasi ketika singgah di pelabuhan supaya bisa tidur di tempat yang empuk (perempuan). Pelacuran adalah kultur pelayaran dan wanita yang diidamkan saat itu ialah yang berpostur gemuk," kata Junus saat pemaparan dalam diskusi."Sisi gelap dari pelayaran lainya juga terjadi homoseksual. Hal ini disebut dalam naskah Persia lama," tambahnya.Pelacur dan pelayaran adalah bagian yang tidak terpisahkan. Junus memaparkan cerita perompak asal Filipina Selatan yang pergi ke pulau dan desa untuk mengambil wanita sebagai pelacur. Beberapa ada yang dijual. Tetapi tidak semua pelacur datang karena terpaksa.Konteks pelacuran adalah negatif. Namun tidak buat para pelayar. Mereka yang mendarat berusaha menjadi manusia kembali. Junus berkata bahwa pelaut juga menghadapi tekanan lain seperti kematian dan tekanan dari nahkoda kapal.
Ide dari perompak adalah siapapun yang berlayar di lautan harus membayar pajak ketika masuk dalam kawasan teritorialnya. Bahkan, hal ini juga berlaku pada kerajaan-kerajaan yang saat itu berkuasa."Seperti Kerajaan Cola, Tamil, India Selatan yang perang dengan Sriwijaya. Mereka menyerbu ke Kedah untuk menghancurkan dominasi Sriwijaya. Apa yang mereka lakukan? Perebutan jalur rempah yang mereka ambil," kata Junus pada CNBC Indonesia."Dan ketika melakukan perebutan mereka merompak juga. Tiap kapal yang lewat di ambil habis rempah rempahnya," ujarnya.Kerajaan yang melakukan perompakan adalah sebuah upaya agar ia diakui. Bahkan Perancis dan Inggris pun melakukan hal yang sama.
Selain pengakuan kuasa, Junus mengungkapkan bahwa itu juga berfungsi untuk efisiensi biaya dan waktu. Kapal yang biasanya berlayar dan balik ke negaranya selama 2 tahun menjadi 1 tahun karena kebutuhan rempah sudah terpenuhi dengan upaya perompakan.Dave Lumenta, seorang Antropolog dari Universitas Indonesia juga membedah soal pelaut dan sisi kelamnya. Kisah para pelaut yang melarikan diri dan budak yang dibawa ke pelayaran adalah kisah keterasingan manusia, menurutnya. Karena untuk memperkuat negara bukan hanya melalui jalur diplomasi dan senjata tapi juga memperkuat maritim.Harga rempah yang mahal juga meyakinkan Dave bahwa itu adalah bahan komoditas yang sangat diperebutkan negara/kerajaan saat itu. Pada CNBC Indonesia, Dave mengatakan logika sederhana dari perompakan rempah adalah investasi untuk mengirit ongkos."Ya sama aja komoditas apapun yang sangat berharga pasti rawan. Kontemporer, bajak laut di Selat Malaka yang diincar adalah kapal tanker. Saya kira tidak beda dengan perompak rempah di masa lalu," ujarnya.
"Karena orang banyak invest untuk rempah, sangat menguntungkan jika kita tunggu kapal yang bawa rempah lalu kita rebut. Kita invest banyak cost. Itu logika sederhana dari piracy," kata Dave.
Namun ia menambahkan bahwa perompakan yang terjadi di masa lalu adalah sebuah proxy dari sebuah negara, yakni ketika sebuah negara menggunakan pihak ketiga untuk kekuatan militer dan politiknya. Bahkan perompak bukan dianggap sebagai kriminal tapi orang yang berjasa pada negara."Misalnya ada kerajaan yang bersaing, menggunakan proxy dari bajak laut. Itu yang banyak dilakukan Kesultanan seperti di Selat Malaka. Dulu bisa dibilang ada bajak laut dari State Sanctioned, direkrut oleh State (negara).""Makanya bajak laut zaman dulu tidak dilihat sebagai kriminal. Tapi dilihat sebagai jasa untuk negara. Bahkan Inggris saat di Karibia dia melakukan itu. Tapi dengan membawa Raja atau Ratu," ucap Dave. (prm)
Sumber: Sisi Gelap Rempah: Perbudakan, Perompakan, Kekerasan Seksual (cnbcindonesia.com)
Selengkapnya
NUSANTARA memiliki posisi strategis sebagai poros yang menghubungkan ‘negeri-negeri di atas angin’, yaitu Tiongkok, India, Timur Tengah, hingga Eropa. Jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara, Nusantara telah menjadi pemain penting dalam perdagangan dunia dan telah lama dikenal sebagai negara pemasok utama komoditas penting di dunia, yakni rempah-rempah.
Diperkirakan dalam perjalanan waktu dan pada skala dunia, sekitar 400-500 spesies tanamn telah dipergunakan dan dikenal sebagai rempah. Di Asia Tenggara, jumlah tanaman rempah mendekati 275 spesies. Pendiri sekaligus Pembina Yayasan Negeri Rempah, Bram Kushardjanto, mengatakan, rempah-rempah punya makna yang mendalam bagi terciptanya negara Indonesia. Indonesia tidak akan ada tanpa rempah-rempah. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini tidak akan ada tanpa rempah-rempah. “Karena rempah-rempah, bangsa-bangsa Eropa itu ke sini. Tanpa kolonialisasi terjadi, kita tetap jadi Kerajaan Ternate, Tidore, dan kerajaan kecil-kecil. Kita bersatu karena kita dijajah dan memutuskan mendirikan negara bersama-sama, komitmen kita menjadi negara kesatuan. Kita sangat berutang budi pada rempah-rempah,” papar Bram, di sela-sela acara International Forum on Spice Route (IFSR), di Auditorium Museum Nasional, Selasa (19/3). Filosofi rempah-rempah menurutnya ialah sebagai pemersatu bangsa. Rempah-rempah juga merupakan komoditas paling penting, melebihi emas dan minyak. Meski dari sisi harga, rempah masih tergolong lebih rendah jika dibandingkan dengan minyak dan gas. Namun, ada satu hal yang penting, yakni rempah mempersatukan bangsa dan mengawali terbentuknya NKRI. Deputi Dewan Rempah Nasional, Lukman Basri, mengatakan, saat ini kondisi perdagangan rempah Indonesia turun jika dibandingkan dengan waktu zaman Belanda. Hal itu karena produk rempah tidak bisa memenuhi persyaratan perdagangan internasional, seperti sustainability, mutu, standar higienis, dan informasi akurat mengenai asal muasal barang itu dari mana. Umpamanya mengenai lada putih yang berasal dari Pangkalpinang, Bangka, kemudian luasan dan lokasi perkebunan perlu ada informasi detail untuk ekspor. Saat ini juga tidak ada pelabuhan-pelabuhan untuk ekspor seperti zaman belanda. Dahulu tiap daerah punya port sehingga daerah bisa langsung kirim rempah untuk ekspor. “Sekarang mau kirim atau ekspor kayu manis harus melalui Surabaya. Di samping itu, tidak ada ketersediaan finansial untuk mendanai ekspor rempah seperti saat Belanda memiliki berbagai bank sendiri untuk mendanai ekspor rempah,” ujar Lukman. Jalur damai Dewan Pembina Yayasan Negeri Rempah, Hassan Wirajuda, menambahkan, Indonesia terdiri atas selat-selat pulau yang merupakan titik yang memungkinkan perdagangan internasional untuk rempah-rempah pada zaman dahulu. Di dalamnya terdapat pertukaran budaya, agama, peradaban, bahasa, dan sosial. “Indonesia jadi tuan rumah dari peradaban besar, terutama Asia Timur, Tiongkok, India, dan Eropa. Keseluruhannya saling memengaruhi secara positif. Jalur rempah merupakan jalur yang damai,” kata Hasan. Rempah, lanjut Hasan, awalnya dikenalkan Mesir Kuno ribuan tahun sebelum masehi sebagai bahan pengawet. Lalu, makin jaya pada masa Kerajaan Sriwijaya, kemudian mengundang kedatangan bangsa Eropa abad ke-15 hingga ke-19. Interaksi perdagangan dan pertukaran budaya, bahasa dan agama sangat jelas pada masa Sriwijaya.
Sriwijaya juga punya kontribusi pembangunan internasional yang besar, seperti di India dan Srilanka. Sriwijaya juga punya andil pada pembangunan kuil di Tiongkok Selatan. Karena itu, diplomasi dan kontribusi Sriwijaya dari hasil perdagangan rempah sangat tinggi. Sementara itu, kontribusi Indonesia pada diplomasi internasional hanya menghabiskan sepersepuluh dari kontribusi Afrika untuk hubungan internasional. Dengan peran sepenting itu, rempah-rempah menjadi komoditas utama yang mampu memengaruhi kondisi politik, ekonomi, maupun sosial budaya dalam skala global. Para raja mengirim ekspedisi mengarungi samudra untuk mencarinya. Pedagang mempertaruhkan nyawa dan kekayaannya, perang demi perang memperebutkannya, dunia bergolak, dan sejarah peradaban manusia berubah. Poros perdagangan rempah-rempah global Asia, India–Nusantara–Tiongkok, melalui perairan Hindia hingga Pasifik meninggalkan jejak peradaban yang signifikan. Terletak di sepanjang jalur maritim tersibuk di dunia, Nusantara dari masa ke masa telah menjadi daerah strategis yang amat penting dan tujuan perdagangan selama ribuan tahun. Sebagai akibat dari lalu lintas laut yang padat ke Asia Timur, Timur Tengah, Eropa, dan sebaliknya, banyak peradaban berinteraksi, bertukar pengetahuan, pengalaman, dan budaya. Ia menjelma sebagai ruang silaturahim antarmanusia lintas bangsa sekaligus sarana pertukaran dan pemahaman antarbudaya yang mempertemukan berbagai ide, konsep, gagasan dan praksis melampaui konteks ruang dan waktu. Dipertemukan laut dan samudra. Warisan budaya maritim dalam jejak perniagaan global itu menjadi semakin penting untuk diangkat, dikaji, dan dimaknai kembali. “Apalagi ketika dewasa ini banyak bergulir pertarungan konsep seperti Jalur Sutera Maritim yang diusung Tiongkok maupun ragam konsep tentang wawasan Indo-Pasifik yang kesemuanya menuntut Indonesia untuk mengambil peranan yang penting,” jelas Menteri Luar Negeri Indonesia sejak 2001 hingga 2009 itu. Staf Ahli Sosio Antropologi, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman RI, Tukul Rameyo, mengatakan, pemerintah akan melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan kejayaan rempah-rempah, di antaranya dengan menambah luasan tanam rempah-rempah. “Rempah kita memang sekarang banyak pesaingnya, antara lain Srilanka yang juga punya rempah. Akan tetapi, rempah kita punya cita rasa yang khas dan berbeda dari rempah yang berasal dari negara lain. Ini menjadi keistimewaan rempah kita,” pungkasnya. (M-4)Sumber: https://mediaindonesia.com/weekend/224913/menghidupkan-kembali-kejayaan-rempah-indonesia
Jakarta - (23/3/2019) Kembali sosok Duta Baca (Reading Ambassador) Musi Banyuasin, Sumatera Selatan hadir dalam forum yang berskala internasional di Museum Nasional, Jakarta. Forum on Spice Route (IFSR) 2019 merupakan forum internasional pertama yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Maritim bekerjasama dengan Yayasan Negeri Rempah.
International Forum on Spice Route (IFSR) 2019 merupakan wadah untuk berbagi informasi dan pengetahuan mengenai budaya maritim Indonesia dan memperkenalkan kembali peranan penting Indonesia di skala global. Tema yang diusung IFSR adalah Reviving the World’s Maritime Culture through the Common Heritage of Spice Route, yang diselenggarakan dari tanggal 19 Maret – 24 Maret 2019 di Museum Nasional, Jakarta. Tentunya IFSR merupakan sarana untuk memperkenalkan kembali peranan penting Indonesia dalam skala global.
IFSR dihadiri oleh budayawan maupun sejarawan dari Indonesia maupun luar negeri (seperti Dr. Hassan Wirajuda, Prof. Anthony Reid, Prof. Dr. IBG Yudha Triguna, dll), Kantor Staf Presiden, Perwakilan Kementerian (seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, dll), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, perwakilan Kedutaan Besar Portugal, serta jejaring masyarakat rempah. IFSR sendiri dibuka oleh Dr. Hassan Wirajuda yang menjelaskan tentang sejarah jalur rempah di Indonesia, di mana jalur rempah menjadi sumber kejayaan serta malapetaka bagi Indonesia.
Kejayaan jalur rempah Indonesia bermula di masa kerajaan Sriwijaya, dan disampaikan bahwa keberadaan jalur rempah menjadikan kerajaan Sriwijaya sebagai pusat pertukaran budaya dan pengetahuan, utamanya ilmu tentang keagamaan Budha. Sedangkan, malapetaka didapat karena jalur rempah menjadi target utama penjajah dari Benua Eropa. Acara dilanjutkan oleh Prof. Anthony Reid dari Australian National University yang menjelaskan tentang pentingnya capaian Indonesia dikarenakan adanya jalur rempah, terutama pada tahun 1500 – 1650, yang perlu disebarluaskan dan ditanamkan dalam pendidikan sejarah Indonesia.
Acara yang berlangsung sangat padat ini pun, memberikan kesempatan kepada pengunjung mengamati berbagai rempah asli Indonesia yang dipamerkan di International Forum on Spice Route 2019 di Museum Nasional, Jakarta, sejak Selasa hingga acara usai nanti. Melalui sambuangan whatsap, Rojaki menyampaikan bahwa dirinya mendapat undangan khusus langsung dari ketua Ibu Kumoratih, Ketua Yayasan Negeri Rempah Foundation. Tentunya sebuah kebanggan, sosok Rojaki, M.Pd. bisa menjadi bagian peserta IFSR 2019 yang berlangsung sejak tanggal 19-24 maret 2019. Bertemu dengan berbagai narasumber dari berbagai negera dan juga Indonesia.
Tidak hanya itu, orang-orang yag hadir terdiri para pemangku kepentingan seperti pejabat publik, akademisi, budayawan, pakar, guru, praktisi/pemerhati seni, pemandu wisata, mahasiswa dari berbagai daerah, dan masih banyak lagi. "Saatnya saya menggali ilmu, pengalaman sebagai bekal pengetahuan yang berharga karena saat ini dipercaya sebagai Duta Baca Muba di bawah komando Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Daerah Kabupaten Musi Banyuasin yang mempunyai misi utama “Meningkatkan Minat Baca Masyarakat dan Pembangunan Kabupaten Muba menuju Muba Maju Berjaya 2022."
Rojaki menyampaikan bahwa dirinya mendapat undangan khusus langsung dari ketua Ibu Kumoratih, Ketua Yayasan Negeri Rempah Foundation. Tentunya sebuah kebanggan, sosok Rojaki, M.Pd. bisa menjadi bagian peserta IFSR 2019 yang berlangsung sejak tanggal 19-24 maret 2019. Bertemu dengan berbagai narasumber dari berbagai negera dan juga Indonesia.
Sebelum menutup perbincangan, Rojaki pun ingin menyampaikan rasa terima kasih atas dukungan kepada Duta Baca Muba, yang merupakan sosok guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 2 Unggul Sekayu dapat menghadairi acara yang berskala Internasional oleh Koordinator Kemaritiman RI dan Negeri Rempah Foundation.
Sumber: Duta Baca Muba, Rojaki M.Pd. Hadiri Undangan International Forum on Spice Route (IFSR) 2019 - Mubaonline
Jakarta, Agrifood.id – Nusantara telah menjadi pemain penting dalam perdagangan dunia dan negara pemasok utama komoditas penting di dunia yaitu rempah-rempah. Indonesia sebagai pemasok rempah-rempah telah lama dikenal jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara.
Diperkirakan, dalam perjalanan waktu dan pada skala dunia, 400-500 spesies tanaman telah dipergunakan dan dikenal sebagai rempah. Di Asia Tenggara sendiri, jumlahnya mendekati 275 spesies. Rempah-rempah digunakan untuk mengawetkan makanan, bumbu masakan, bahkan obat. Karena khasiatnya, rempah-rempah sangat laku di pasaran dan harganya pun mahal.
Nilai rempah-rempah yang tinggi mendorong orang-orang Eropa menjelajahi jalur pelayaran ke wilayah yang banyak memiliki bahan rempah-rempah, termasuk kepulauan Nusantara, Indonesia. Dalam perkembangannya, bangsa Eropa berdagang dan menguasai sumber rempah-rempah di negara penghasil. Sejak itu, dimulailah era kolonisasi Barat di Asia.“Bayangkan saja. Ketika Eropa belum memiliki banyak pengetahuan tentang berbagai komoditas, rempah-rempah dari dunia Timur telah menyediakan khasiat, cita rasa dan aroma yang dipergunakan sebagai bumbu masak, penawar racun dan obat, bahkan sampai bahan pengawet,” ujar Ketua Yayasan Negeri Rempah Bram Kushardjanto. Hal tersebut diungkapkan Bram Kushardjanto dalam International Forum on Spice Route (IFSR) di Jakarta, beberapa waktu lalu.Dengan peran sepenting itu, lanjut dia, rempah-rempah menjadi komoditas utama yang mampu mempengaruhi kondisi politik, ekonomi maupun sosial budaya dalam skala global.
Para raja mengirim ekspedisi mengarungi samudera untuk mencarinya; pedagang mempertaruhkan nyawa dan kekayaannya; perang demi perang memperebutkannya; dunia bergolak dan sejarah peradaban manusia berubah, ucap Bram Kushardjanto. Poros perdagangan rempah-rempah global Asia, India–Nusantara–Tiongkok, melalui perairan Hindia hingga Pasifik meninggalkan jejak peradaban yang signifikan. Terletak di sepanjang jalur maritim tersibuk di dunia, lanjut Bram, Nusantara dari masa ke masa telah menjadi daerah strategis yang amat penting dan tujuan perdagangan selama ribuan tahun.
Sebagai akibat dari lalu lintas laut yang padat ke Asia Timur, Timur Tengah, Eropa dan sebaliknya, banyak peradaban berinteraksi; bertukar pengetahuan, pengalaman, dan budaya, tutur Bram.
Sementara itu, Sejarawan Australia National University, Anthony Reid, mengatakan 60 persen jenis rempah di dunia ada di Indonesia. Rempah, lanjut dia, menjadi komoditas yang dicari para pedagang dari seluruh dunia pada ratusan tahun lalu. Jalur rempah pada masa itu juga menghubungkan Nusantara dengan dunia. Dalam konteks kemaritiman, lanjut Reid, Nusantara pusat pertemuan global khususnya pada 1480-1650.
Ia juga mengungkapkan jalur rempah bukan hanya terkait dengan perdagangan rempah, melainkan juga pertukaran tradisi, agama, pengetahuan, bahasa, sosial, teknologi, dan pengetahuan. Faktor-faktor lain itulah yang membuat para pedagang asing singgah dan berbisnis di Nusantara.
Baca : Pemerintah Siapkan Bibit Rempah Senilai Rp 2 Triliun
Selain itu, Ketua Dewan Pembina Yayasan Negeri Rempah Hassan Wirajuda mengatakan warisan budaya maritim dalam jejak perniagaan global ini menjadi semakin penting untuk diangkat, dikaji dan dimaknai kembali.Apalagi ketika dewasa ini banyak bergulir pertarungan konsep seperti Jalur Sutera Maritim yang diusung Tiongkok, maupun ragam konsep tentang wawasan Indo-Pasifik yang kesemuanya menuntut Indonesia untuk mengambil peranan yang penting, ungkap mantan Menteri Luar Negeri RI itu.
Karena itu, lanjut Hassan Wirajuda, pemerintah harus menengok kembali sejarah masa lalu kemaritiman Indonesia untuk memajukan budaya maritim. Masyarakat bisa belajar baik dari sisi baik dan buruk masa lalu bangsa ini sebagai upaya untuk memajukan Indonesia.
Salah satu cara mengingat kembali sejarah masa lalu kemaritiman Indonesia, lanjut dia, Yayasan Negeri Rempah menyelenggarakan International Forum on Spice Route (IFSR) pada 19-24 Maret 2019 di Jakarta. Bertema Reviving the World’s Maritime Culture through the Common Heritage of Spice Route, IFSR menjadi sarana untuk memperkenalkan kembali peranan penting Indonesia dalam skala global.
Hassan Wirajuda mengatakan IFSR mengingatkan kembali salah satu kekayaan warisan bangsa Indonesia, yaitu jalur rempah. Forum ini menjadi sarana pertukaran pengetahuan, ide maupun konsep antar budaya, ujar Hassan Wirajuda.Sementara itu, Staf Ahli bidang Sosio-Antropologi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Tukul Rameyo Adi mengatakan saat ini adalah saat yang tepat bagi Indonesia untuk mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai bangsa samudera dan tidak hanya dikenal sebagai bangsa pelaut.
“Nusantara sejatinya menjadi poros penghubung antara timur, barat, utara dan selatan. Dari Tiongkok, Timur Tengah hingga Eropa,” kata dia.Rameyo, seperti ditulsi Antara, mengatakan rempah adalah salah satu komoditas nusantara dari masa ke masa.“Dalam konteks yang lebih strategis, forum ini meletakkan Indonesia ke dalam percaturan perbincangan dunia (dimulai dari wilayah regional Asia Tenggara) dengan perspektifnya yang unik dalam memaknai sejarah perdagangan maritim dari masa ke masa,” ujar Tukul Rameyo Adi.
IFSR menjadi forum pertukaran pengetahuan dan pemahaman antar budaya, dengan mengedepankan kekuatan warisan budaya serta semangat multikulturalisme melalui narasi sosio-kultural-historis jalur rempah dan perdagangan maritim yang relevan dengan konteks kekinian.
Forum tersebut dihadiri para pembicara, narasumber ahli, akademisi dari Indonesia dan negara-negara sahabat, yakni Australia, Amerika Serikat, Filipina, India, Jerman, Korea, Malaysia, dan Portugal. Melalui para narasumber dari negara-negara sahabat yang juga memiliki warisan budaya maritim tersebut, masyarakat luas dapat turut merayakan kesamaan maupun perbedaan budaya. [AF-05]
Sumber: Mengembalikan Kejayaan Jalur Rempah Indonesia – AgriFood.id
Jakarta, Beritasatu.com - Ketua Yayasan Negeri Rempah Bram Kushardjanto, menegaskan Indonesia berpotensi besar untuk kembali berjaya dengan rempah. Meski butuh kemauan politik yang keras dari pemerintah untuk bisa mengembalikan kejayaan tersebut.
"Kita masih yang terbesar sampai saat ini. Masalah penjualan saja yang harus lewat Vietnam atau India, tetapi kita tetap produsen terbesar (di dunia). Namun butuh regulasi dan yang penting, political will. Kita mau kembali ke rempah atau tidak?" kata Bram Kushardjanto saat ditemui Beritasatu.com di sela-sela pameran "International Forum On Spice Route (IFSR) 2019", di Museum Nasional, Jakarta, belum lama ini.
Potensi untuk bisa merangkul pasar rempah dunia menurut Bram, masih terbuka lebar. Pasalnya, perdagangan besar tentunya membutuhkan angkutan laut sebagai alat pendukung logistik.
Untuk itu pula, Ketua Dewan Pembina Yayasan Negeri Rempah, Hassan Wirajuda mengatakan warisan budaya maritim dalam jejak perniagaan global semakin penting untuk dijajaki dan dimaknai kembali.
"Sejarah yang panjang, tetapi juga penuh dengan kegemilangan bahkan malapetaka. Berdasarkan sejarah, kekayaan alam juga bisa membawa malapetaka bagi Indonesia. Sepanjang kita tidak mampu mendukung kekayaan kita dengan kekuatan bersama, maka kekayaan alam kita dirampas bangsa lain," tukas Hassan.
Perjalanan tentang rempah-rempah di Indonesia pun bisa dilihat langsung oleh masyarakat dalam pameran bertajuk "International Forum On Spice Route (IFSR) 2019", yang diselenggarakan gratis untuk umum sejak 19-24 Maret 2019.
Nantinya, selama enam hari berturut-turut IFSR menjadi forum pertukaran pengetahuan dan pemahaman antar budaya. IFSR akan mengedepankan kekuatan warisan budaya serta semangat multikulturalisme melalui narasi sosio-kultural-historis jalur rempah dan perdagangan maritim yang relevan dengan konteks kekinian.
Sumber: Indonesia Berpotensi Menjadi Negara Rempah Terkaya (beritasatu.com)
Jakarta – Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menyebutkan komoditas rempah menjadi peluang Indonesia untuk menyasar pasar ekspor baru yang bukan arus utama (mainstream) dalam mendukung ekonomi.
"Jalur rempah ini selaras dengan keinginan Bapak Presiden yaitu ingin mencari pasar non-'mainstream', salah satu yang diharapkan adalah Afrika," kata Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Bidang Sosio-Antropologi, Tukul Rameyo Adi di acara International Forum on Spice Route (IFSR) Jakarta, disalin dari Antara.
Menurut Tukul, Afrika ke depan akan dijadikan aliansi perdagangan rempah seperti halnya yang terjadi di masa lampau. "Jadi jalur rempah bisa menjadi besar lagi dan dijadikan sebagai platform aliansi ekonomi seperti yang dilakukan Tiongkok melalui jalur sutera," tuturnya.
Tukul menuturkan aliansi perdagangan rempah dengan Afrika telah diinisiasi dalam Indonesia-Afrika Forum yang digelar 2018 lalu. Dalam forum ekonomi itu, diusulkan agar jalur rempah yang telah mengakrabkan Indonesia dan Afrika bisa kembali diangkat dalam koridor ekonomi.
Diharapkan aliansi perdagangan dengan Afrika dapat membuat komoditas rempah tidak hanya sekadar untuk kepentingan jual beli tetapi bisa mendorong inovasi dan membangkitkan budaya maritim Nusantara.
"Dulu kita berdagang, kita punya budaya rempah. Tapi harus diakui setelah 350 tahun lebih, rempah hanya jadi komoditas jual beli bukan budaya lagi. Ini yang mau kita bangkitkan," katanya.
Pembina Yayasan Negeri Rempah Bram Kushardjanto menegaskan Indonesia punya potensi besar untuk kembali berjaya dengan rempah. "Kita masih yang terbesar sampai saat ini. Masalah penjualan saja yang harus lewat Vietnam atau India, tapi kita tetap produsen terbesar (di dunia)," katanya. Komoditas unggulan Indonesia diantaranya cengkeh, pala, kayu manis hingga kayu aromatik seperti gaharu, gambir, cendana dan kemenyan.
Pembina Yayasan Negeri Rempah Bram Kushardjanto menilai perlu kemauan politik yang keras dari pemerintah untuk bisa mengembalikan kejayaan rempah di Indonesia. "Butuh regulasi dan yang penting itu 'political will', kita mau kembali ke rempah atau tidak," katanya.
Bram menyebut Indonesia berjaya dengan rempahnya sebelum mengenal komoditas tambang dan migas. Dengan rempah, nama Indonesia harum ke penjuru dunia sampai akhirnya dijajah Eropa.
Hingga saat ini, meski bukan menjadi negara pengekspor rempah terbesar dunia, Indonesia masih tercatat sebagai negara produsen rempah terbesar dunia. "Kita masih yang terbesar sampai saat ini. Masalah penjualan saja yang harus lewat Vietnam atau India, tapi kita tetap produsen terbesar," katanya.
Potensi untuk bisa memegang pasar rempah dunia, menurut Bram, masih sangat besar. Terlebih di Asia masih banyak masyarakat yang melakukan ritual sembahyang dengan wewangian aromatik dari rempah.
"Lada, misalnya, kita nomor tiga setelah Vietnam dan India, tapi produsen terbesar tetap Indonesia. Vietnam ladanya sedikit tapi dia ambil dari kita yang harganya tidak bersaing di luar negeri. Padahal kalau mau, kita bisa kontrol harga," tuturnya.
Bram menambahkan, mengembalikan kejayaan rempah akan juga mengembalikan kejayaan maritim nasional. Pasalnya, perdagangan besar tentunya membutuhkan angkutan laut sebagai alat pendukung logistik.
Ketua dewan pembina Yayasan Negeri Rempah Hassan Wirajuda mengatakan International Forum on Spice Route (IFSR) mendukung program pemerintah untuk memajukan dan menguatkan konsep poros maritim. "Yang salah satu elemen pentingnya adalah memajukan budaya maritim," ujar Hassan Wirajuda dalam International Forum on Spice Route (IFSR).
Untuk memajukan budaya maritim, lanjut Hassan, pemerintah harus menengok kembali sejarah masa lalu kemaritiman Indonesia. "Jadi dalam dunia yang moderen mengingatkan kita pada sejarah masa lalu bangsa Indonesia, sebagian gemilang dan gelap khususnya sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa," kata dia.
Hassan mengatakan mereka awalnya berniat berdagang tapi seiring berjalannya waktu mereka menjajah bangsa ini. "Tidak hanya dagang atau mendapatkan sumber rempah-rempah di kepulauan nusantara tetapi pada akhirnya memonopoli rempah dan mengkolonisasi rempah. Yang pada akhirnya menjajah Indonesia dan bangsa-bangsa lain di Afrika," ucap dia.
Karena itu, Hassan mengatakan masyarakat bisa belajar baik dari sisi baik dan buruk masa lalu bangsa ini sebagai upaya untuk memajukan Indonesia. Penyelenggarakan International Forum on Spice Route (IFSR) pada 19-24 Maret 2019 di Jakarta.
Sumber: Komoditas Rempah Sasar Peluang Pasar Ekspor Baru | Neraca.co.id
Jakarta, Beritasatu.com - Yayasan Negeri Rempah bersama Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menyelenggarakan International Forum on Spice Route (IFSR), gratis untuk umum sejak 19-24 Maret 2019 di Museum Nasional Jakarta. Tema yang diangkat adalah Reviving the World’s Maritime Culture through the Common Heritage of Spice Route.
Tujuan dari pameran ini tak lain adalah menjadi sarana untuk mengingatkan dan mengembalikan kembali jalur rempah di Indonesia.
Staf Ahli Menteri Sosio-Antropologi dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Tukul Rameyo Adi menjelaskan, kejayaan rempah-rempah Indonesia sudah tercatat di banyak manuskrip kuno sebagai bagian penting dalam pembentukan peradaban dunia.
Rempah-rempah yang dimiliki Indonesia juga menjadi salah satu komoditas penting dalam alur perdagangan. Apabila perjalanan rempah-rempah itu dipetakan, maka Indonesia akan menjadi pusat dari jalur rampah dunia.
"Dalam konteks yang lebih strategis, forum ini meletakkan Indonesia ke dalam percaturan perbincangan dunia, dimulai dari wilayah regional Asia Tenggara dengan perspektifnya yang unik dalam memaknai sejarah perdagangan maritim dari masa ke masa,” jelas Tukul dalam acara International Forum On Spice Route (IFSR) 2019 di Museum Nasional, Jakarta, baru-baru ini.
Lewat pameran ini Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman berusaha untuk membangkitkan kembali kejayaan rempah. Semisal, apabila negara Tiongkok memiliki jalur sutera, Indonesia juga memiliki jalur rempah. Rempah dibangkitkan sebagai komoditas, produk, jasa, dan pengalaman, termasuk juga dalam pariwisata.
"Jalur rempah pada akhirnya tak hanya menyentuh jalur komoditas, tetapi sebagai sarana silang pengetahuan dan budaya. Ini yang kita coba bangun, tak hanya jual beli, tapi juga berdialog dengan pasar-pasar non-mainstream, selaras dengan keinginan presiden” ungkapnya.
Pun demikian tidaklah mudah untuk membangun hal tersebut. Dirinya mengatakan perlu adanya inovasi dan koordinasi dari berbagai belah pihak, atau kerja budaya. Mengingat kini Indonesia bukanlah satu-satunya negara penghasil rempah-rempah.
Seperti Belanda, menurut Tukul, misalnya yang dulu berhasil mengambil bibit rempah dan berusaha menanam di mana-mana. Kemudian, Srilanka yang menghasilkan pala, Vietnam ataupun Malaysia yang menghasilkan lada.
"Rempah kita ini unik, rasanya berbeda. Keunikan ini yang harus kita angkat dan jadikan sebuah branding. Kalau hanya jual volume, kalah dengan Srilanka dan negara Asia lainnya. Harapannya, suatu saat Indonesia bisa memiliki kebijakan afirmatif perlindungan rempah,” pukasnya.
Secara umum, ekspor rempah-rempah Indonesia memang tidak bergairah. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, pertumbuhan rata-rata tahunan untuk nilai ekspor rempah hanya 3,10% dari 2013-2017.
Pertumbuhan yang tidak seberapa ini bahkan kian mengkhawatirkan karena beberapa komoditas rempah utama Indonesia justru mengalami penurunan.
Sumber: Mengembalikan Kejayaan Jalur Rempah Indonesia (beritasatu.com)
JAKARTA—Indonesia memiiki peranan penting dalam peradaban rempah-rempah di dunia. Selain penghasil rempah, Indonesias juga diuntungkan dengan letak geografis yang strategis sebagai jaur perdagangan.
Pernyataan ini diungkapkan oleh Staf Ahi Menko Kemaritiman, Tukul Rameyo dalam sambutan pembukaan acara International Forum on Spice Route (IFSR) yang diselenggarakan di Museum Nasional Jakarta, 19-24 Maret 2019. Lebih lanjut dirinya berharap pemerintah Indonesia mau melindungi kekayaan rempah yang ada di negerinya ini.“Harapan saya salah satunya adalah Indonesia memiliki kebijakan afirmasi untuk rempah,” harap Tukul seperti dikutip dari laman resmi kementerian koordinator kemaritiman.
Masih menurut Tukul sampai 2019 ini Indonesia baru mengurus sertifikat Indikasi Geografis untuk beberapa tanaman rempah saja, padahal tanaman rempah ungguan asli Indonesia itu banyak. “Saat ini yang sudah bersertifikat IG adalah lada muntok, kopi kintamani, produk-produk asli lainnya perlu mendapat sertifikat ini karena ini produk komoditas unggulan dengan nilai ekonomis yang sangat baik,” jelas Tukul.
Acara IFSR sendiri diinisiasi oleh Yayasan Negeri Rempah dan didukung penuh oeh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan mengambi tema Reviving the World’s Maritime Cuture Through the Common Heritage of Spice Route. IFSR menjadi sarana untuk meningkatkan kembali peranan penting Indonesia dalam produksi dan perniagaan komoditas rempah.
Tukul menambahkan seharusnya Indonesia mampu mencontoh negara-negara di Asia Timur seperti Tiongkok terkait kebijakan dalam melindungi tanaman-tanaman khas di negaranya. “China memiliki kebijakan afirmatif melindungi teh,” tambah Tukul.
“Dalam konteks yang lebih strategis, forum ini meletakkan Indonesia ke dalam percaturan perbincangan dunia dengan perspektifnya yang unik dalam memaknai sejarah perdagangan maritim dari masa ke masa,” ujar Tukul yang merupakan Staf Ahli Menteri Koordinator Kemaritiman Bidang Sosio-Antropologi.
Indonesia Poros Penting Negeri-Negeri Di Atas Angin
Sementara itu ketua dewan pembina Yayasan Negeri Rempah, Hassan Wirajuda menegaskan bahwa Nusantara memiliki posisi strategis sebagai poros yang menghubungkan negeri-negeri di atas angin, yaitu Tiongkok, India, Timur Tengah hingga Eropa. Jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara, Nusantara telah menjadi pemain penting dalam perdagangan dunia dan telah lama dikenal sebagai negara pemasok utama komoditas penting di dunia yakni rempah-rempah.
“Dewasa ini banyak bergulir pertarungan konsep seperti Jalur Sutera Maritim yang diusung Tiongkok, maupun ragam konsep tentang wawasan Indo-Pasifik yang kesemuanya menuntut Indonesia untuk mengambil peranan yang penting,” jelas Hassan.
Pada masa itu rempah-rempah menjadi komoditas utama yang mampu mempengaruhi kondisi politik, ekonomi maupun sosial budaya dalam skala global. Poros perdagangan rempah-rempah global Asia, India, Nusantara, Tiongkok, melalui perairan Hindia hingga Pasifik meninggalkan jejak peradaban yang signifikan. Terletak di sepanjang jalur maritim tersibuk di dunia, Nusantara dari masa ke masa telah menjadi daerah strategis yang amat penting dan tujuan perdagangan selama ribuan tahun.
Forum ini mengundang para narasumber dari negara-negara sahabat yang juga memiliki warisan budaya maritim. Bahkan, masyarakat juga diajak untuk turut merayakan keragaman dunia rempah nusantara melalui berbagai program menarik. Mulai dari diskusi, bedah buku, talk show, cooking show. IFSR tidak hanya mengangkat romantika jalur rempah dan perdagangan maritim masa lalu, melainkan bervisi mengembangkan budaya maritim yang relevan dengan konteks kekinian.
Sumber: Staf Ahli Menkomaritim: Indonesia Harus Punya Kebijakan Afirmasi Rempah | MARITIME OBSERVER
Jakarta: Rempah merupakan salah satu kekayaan Indonesia yang kadang terlupakan. Padahal penting bagi bangsa Indonesia untuk memberi perhatian khusus terhadap sumber daya ini. Termasuk sebuah forum yang diadakan untuk mengedukasi masyarakat, sekaligus mengingatkan kembali kekayaan yang kita miliki. International Forum on Spice Route (IFSR) atau Forum Internasional Rute Rempah-rempah diselenggarakan selama enam hari untuk mengedukasi masyarakat agar mengetahui perkembangan dari rempah-rempah Indonesia. Kegiatan dalam acara ini bermacam-macam, mulai dari kuliah umum, diskusi, talk show, hingga makan bersama.
Kegiatan ini memfokuskan kekuatan warisan budaya dan semangat multikulturalisme melalui narasi sosio-kultural-historis jalur rempah dan perdagangan maritim yang bersesuaian dengan hal-hal kekinian. Dengan pendekatan tersebut, IFSR diharapkan dapat memperkuat kekuatan Indonesia khususnya di bidang maritim ke depannya. “Dalam konteks yang lebih strategis, forum ini meletakkan Indonesia ke dalam percaturan perbincangan dunia (dimulai dari wilayah regional Asia Tenggara) dengan perspektifnya yang unik dalam memaknai sejarah perdagangan maritim dari masa ke masa,” ujar Staf Ahli Menteri Sosio-Antropologi dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Tukul Rameyo Adi dalam International Forum on Spice Route di Jakarta.
Bila kembali ke konteks sejarah, nusantara begitu penting mengingat posisinya begitu strategis menghubungkan negara-negara besar seperti Tiongkok, India, Timur Tengah dan Eropa. Indonesia menjadi pemasok barang yang begitu esensial yaitu rempah-rempah. Menurut data, diperkirakan bahwa dalam perjalanan waktu dan pada skala dunia, 400-500 spesies tanaman telah dipergunakan dan dikenal sebagai rempah. Di Asia Tenggara sendiri, jumlahnya mendekati 275 spesies. “Jadi, bayangkan saja. Ketika Eropa belum memiliki banyak pengetahuan tentang berbagai komoditas, rempah-rempah dari dunia Timur telah menyediakan khasiat, cita rasa dan aroma yang dipergunakan sebagai bumbu masak, penawar racun, dan obat. Bahkan sampai bahan pengawet,” tutur panitia penyelenggara IFSR dari Yayasan Negeri Rempah, Bram Kushardjanto. Melihat fakta tersebut artinya peran dari rempah-rempah begitu kuat bahkan dapat memengaruhi kondisi politik, ekonomi, dan juga sosial budaya dalam skala global. Hal ini memperkuat alasan negara kita harus terus mengangkat warisan budaya ini. “Apalagi ketika dewasa ini banyak bergulir pertarungan konsep seperti Jalur Sutera Maritim yang diusung Tiongkok, maupun ragam konsep tentang wawasan Indo-Pasifik yang kesemuanya menuntut Indonesia untuk mengambil peranan yang penting,” jelas Hassan Wirajuda, Menteri Luar Negeri RI Periode 2001 -2009 yang saat ini juga duduk sebagai ketua dewan pembina Yayasan Negeri Rempah.
Sumber: Melestarikan Rempah sebagai Warisan Bangsa Indonesia - Medcom.id
JAKARTA-Yayasan Negeri Rempah didukung oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menyelenggarakan International Forum on Spice Route (IFSR) pada tanggal 19 hingga 24 Maret 2019 di Museum Nasional,Jakarta. Bertema Reviving the World’s Maritime Culture through the Common Heritage of Spice Route,IFSR menjadi sarana untuk meningkatkan kembali peranan penting Indonesia dalam produksi dan perniagaan komoditas rempah.
“Dalam konteks yang lebih strategis,forum ini meletakkan Indonesia ke dalam percaturan perbincangan dunia (dimulai dari wilayah regional Asia Tenggara) dengan perspektifnya yang unik dalam memaknai sejarah perdagangan maritim dari masa ke masa,”ujar Tukul Rameyo Adi,Staf Ahli Menteri Koordinator Kemaritiman Bidang Sosio-Antropologi yang membuka acara mewakili Menteri Koordinator Kemaritiman,Luhut Pandjaitan.
Sementara Menteri Luar Negeri RI periode 2001-2009 yang saat ini juga duduk sebagai ketua dewan pembina Yayasan Negeri Rempah Hassan Wirajuda menegaskan,dewasa ini banyak bergulir pertarungan konsep seperti Jalur Sutera Maritim yang diusung Tiongkok,maupun ragam konsep tentang wawasan Indo-Pasifik yang kesemuanya menuntut Indonesia untuk mengambil peranan yang penting.
Menilik sejarah,Nusantara memiliki posisi strategis sebagai poros yang menghubungkan ‘negeri-negeri di atas angin’, yaitu Tiongkok,India,Timur Tengah hingga Eropa. Jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara,Nusantara telah menjadi pemain penting dalam perdagangan dunia dan telah lama dikenal sebagai negara pemasok utama komoditas penting di dunia : rempah-rempah.
“Jadi, bayangkan saja. Ketika Eropa belum memiliki banyak pengetahuan tentang berbagai komoditas,rempah-rempah dari dunia Timur telah menyediakan khasiat, cita rasa dan aroma yang dipergunakan sebagai bumbu masak,penawar racun dan obat,bahkan sampai bahan pengawet,”jelas Bram Kushardjanto,panitia penyelenggara IFSR dari Yayasan Negeri Rempah.
Pada masa itu rempah-rempah menjadi komoditas utama yang mampu mempengaruhi kondisi politik,ekonomi maupun sosial budaya dalam skala global. Poros perdagangan rempah-rempah global Asia,India–Nusantara–Tiongkok, melalui perairan Hindia hingga Pasifik meninggalkan jejak peradaban yang signifikan. Terletak di sepanjang jalur maritim tersibuk di dunia,Nusantara dari masa ke masa telah menjadi daerah strategis yang amat penting dan tujuan perdagangan selama ribuan tahun.
Staf Ahli Menko Kemaritiman,Tukul Rameyo berharap,pemerintah akan melindungi rempah sebagai produk indigenous Indonesia. “Harapan saya salah satunya adalah Indonesia memiliki kebijakan afirmasi untuk rempah.”Rameyo mencontohkan negara Tiongkok yang memiliki kebijakan afirmasi untuk melindungi teh asli China. “China memiliki kebijakan afirmatif melindungi the,” tuturnya.
Rameyo menambahkan bahwa saat ini,Indonesia telah melakukan perlindungan melindungi produk indigenous Indonesia melalui pemberian sertifikat Indikasi Geografis (IG),“Saat ini yang sudah bersertifikat IG adalah lada muntok,kopi kintamani,produk-produk asli lainnya perlu mendapat sertifikat ini. Kenapa? Karena ini produk komoditas unggulan dengan nilai ekonomis yang sangat baik”.
Kegiatan IFSR akan berlangsung selama 6 hari di Museum Nasional,Jakarta akan menjadi forum pertukaran pengetahuan dan pemahaman antar budaya. Forum ini mengundang para narasumber dari negara-negara sahabat yang juga memiliki warisan budaya maritim. Bahkan,masyarakat juga diajak untuk turut merayakan keragaman dunia rempah nusantara melalui berbagai program menarik. Mulai dari diskusi,bedah buku,talk show,cooking show,hingga permainan “Spice Challenge & Boardgame Competition”. IFSR tidak hanya mengangkat romantika jalur rempah dan perdagangan maritim masa lalu,melainkan bervisi mengembangkan budaya maritime yang relevan dengan konteks kekinian. (Megy)
Sumber: IFSR,Meninjau Kembali Jejak Kemaritiman Berbasis Jalur Rempah - Tiraipesisir.com
Jakarta – Yayasan Negeri Rempah didukung oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menyelenggarakan International Forum on Spice Route (IFSR) pada tanggal 19hingga 24 Maret 2019 di Museum Nasional, Jakarta. Bertema Reviving the World’s Maritime Culture through the Common Heritage of Spice Route, IFSR menjadi sarana untuk meningkatkan kembaliperanan penting Indonesia dalam produksi dan perniagaan komoditas rempah.
“Dalam konteks yang lebih strategis, forum ini meletakkan Indonesia ke dalam percaturan perbincangan dunia (dimulai dari wilayah regional Asia Tenggara) dengan perspektifnya yang unik dalam memaknai sejarah perdagangan maritim dari masa ke masa,” ujar Tukul Rameyo Adi, Staf Ahli Menteri Koordinator Kemaritiman Bidang Sosio-Antropologi yang membuka acara mewakili Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan.
Sementara Menteri Luar Negeri RI periode 2001-2009 yang saat ini juga duduk sebagai ketua dewan pembina Yayasan Negeri Rempah Hassan Wirajuda menegaskan “dewasa ini banyak bergulir pertarungan konsep seperti Jalur Sutera Maritim yang diusung Tiongkok, maupun ragam konsep tentang wawasan Indo-Pasifik yang kesemuanya menuntut Indonesia untuk mengambil peranan yang penting,”
Menilik sejarah, Nusantara memiliki posisi strategis sebagai poros yang menghubungkan ‘negeri-negeri di atas angin’, yaitu Tiongkok, India, Timur Tengah hingga Eropa. Jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara, Nusantara telah menjadi pemain penting dalam perdagangan dunia dan telah lama dikenal sebagai negara pemasok utama komoditas penting di dunia: rempah-rempah.
“Jadi, bayangkan saja. Ketika Eropa belum memiliki banyak pengetahuan tentang berbagai komoditas, rempah-rempah dari dunia Timur telah menyediakan khasiat, cita rasa dan aroma yang dipergunakan sebagai bumbu masak, penawar racun dan obat, bahkan sampai bahan pengawet,” jelas Bram Kushardjanto, panitia penyelenggara IFSR dari Yayasan Negeri Rempah
Pada masa itu rempah-rempah menjadi komoditas utama yang mampu mempengaruhi kondisi politik, ekonomi maupun sosial budaya dalam skala global. Poros perdagangan rempah-rempah global Asia, India–Nusantara–Tiongkok, melalui perairan Hindia hingga Pasifik meninggalkan jejak peradaban yang signifikan. Terletak di sepanjang jalur maritim tersibuk di dunia, Nusantara dari masa ke masa telah menjadi daerah strategis yang amat penting dan tujuan perdagangan selama ribuan tahun.
Kebijakan Afirmasi dan Indikasi Geografis
Staf Ahli Menko Kemaritiman Tukul Rameyo berharap pemerintah akan melindungi rempah sebagai produk indigenous Indonesia. “Harapan saya salah satunya adalah Indonesia memiliki kebijakan afirmasi untuk rempah.” Rameyo mencontohkan negara Tiongkok yang memiliki kebijakan afirmasi untuk melindungi teh asli China. “China memiliki kebijakan afirmatif melindungi teh.” Tuturnya. Rameyo menambahkan bahwa saat ini, Indonesia telah melakukan perlindungan melindungi produk indigenous Indonesia melalui pemberian sertifikat Indikasi Geografis (IG), “Saat ini yang sudah bersertifikat IG adalah lada muntok, kopi kintamani, produk-produk asli lainnya perlu mendapat sertifikat ini. Kenapa? Karena ini produk komoditas unggulan dengan nilai ekonomis yang sangat baik”.
Kegiatan IFSR akan berlangsung selama 6 hari di Museum Nasional, Jakarta akan menjadi forum pertukaran pengetahuan dan pemahaman antar budaya. Forum ini mengundang para narasumber dari negara-negara sahabat yang juga memiliki warisan budaya maritim. Bahkan, masyarakat juga diajak untukturut merayakan keragaman dunia rempah nusantaramelalui berbagai program menarik.Mulai dari diskusi, bedah buku, talk show, cooking show, hingga permainan “Spice Challenge & Boardgame Competition”. IFSR tidak hanya mengangkat romantika jalur rempah dan perdagangan maritim masa lalu, melainkan bervisi mengembangkan budaya maritim yang relevan dengan konteks kekinian.
Sumber: International Forum on Spice Route (IFSR), Meninjau Kembali Jejak Kemaritiman Berbasis Jalur Rempah
“Menghidupkan Kembali Budaya Maritim Dunia melalui Rute Rempah-Rempah sebagai Warisan Dunia ”
Posisi Program
Forum yang memperluas peluang dialog lintas batas dan lintas budaya dalam meninjau kembali budaya maritim berdasarkan Rute Rempah-rempah sebagai warisan bersama (baik alam maupun budaya), khususnya di Asia.
Perdagangan rempah-rempah global di Asia melalui Samudra Hindia ke Samudra Pasifik yang menghubungkan tiga benua utama (Asia, Afrika, Eropa), telah meninggalkan jejak peradaban yang signifikan. Dalam perjalanan sejarah, Indonesia telah memainkan peran penting dalam ekonomi dunia karena posisi strategisnya di salah satu rute maritim tersibuk di dunia. Lokasinya yang strategis menghubungkan Asia Timur, Asia Selatan, Timur Tengah ke Eropa. Asia Tenggara juga merupakan sumber komoditas yang paling dicari dan paling berharga: rempah-rempah. Diperkirakan bahwa dalam perjalanan waktu dan dalam skala dunia, 400-500 spesies tanaman telah digunakan sebagai rempah-rempah. Untuk Asia Tenggara, jumlahnya mendekati 275 spesies (Prosea, 1999). Tidak ada komoditas yang memainkan peran lebih penting dalam pengembangan peradaban modern selain rempah-rempah (Parry, 1969; Rosengarten, 1973). Bumbu-bumbu yang sangat diperlukan, telah memengaruhi politik, ekonomi, dan budaya dunia. Mau tidak mau, lalu lintas padat dari Asia Timur, Asia Selatan, Timur Tengah, Eropa, dan sebaliknya, telah berubah menjadi sarana pertukaran budaya dan pemahaman antar budaya yang menyatukan berbagai ide, konsep, pengetahuan, dan pengalaman, antara orang-orang di seluruh negara. Warisan budaya maritim ini dalam jejak perdagangan global telah menjadi semakin penting untuk dibenahi.
Untuk memperkuat persahabatan dan kerja sama yang erat antara Indonesia dan negara-negara Asia (dan di luar) dengan warisan bersama;
Untuk menyediakan platform untuk pertukaran pengetahuan dan pemahaman antar budaya melalui program kolaborasi skala internasional.
Tema Diskusi
Akar Budaya Maritim
Signifikansi dan Fitogeografi Rempah-rempah
Budaya Maritim – Aspek Sosial / Budaya / Ekonomi Perdagangan Rempah
Jejaring Maritim, Negara dan Formasi Sosial
Adaptasi Manusia
Perubahan Iklim dan Bencana Alam
Teknologi Maritim
Pemberdayaan Sumber Daya – Tantangan dalam Melindungi Warisan Alam dan Budaya
Pembicara utama: Dr. Hassan Wirajuda
Kuliah Umum: Prof. Anthony Reid
Public Talks 1: “Tinjauan tentang Sejarah Maritim dan Perdagangan Rempah-rempah di Asia Tenggara”
Public Talks 2: “Akar Budaya Maritim”
Public Talks 3 & 4: “Formasi Sosial”
Sesi Berbagi: “Cerita Gelap di Balik Jalur Rempah: Para Bajak Laut, Budak Belian, Gundik dan Pelacur”
HARI 2: Rabu, 20 Maret
Kuliah Umum: Prof. Dr. Susanto Zuhdi
Public Talks 5 – 10: “Jaringan Maritim dan Formasi Negara”
Diskusi Buku: “Mataram” oleh Tony Reid
Sesi Berbagi: “Rempah-Rempah dan Kisah Erotis”
HARI 3: Kamis, 21 Maret
Kuliah Umum: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistyono
Public Talks 11: “Teknologi Maritim: Dari Masa Lalu ke Masa Depan”
Public Talks 12: “Adaptasi Manusia tentang Perubahan Iklim dan Bencana Alam”
Public Talks 13: “Menelusuri Sejarah dan Perkembangan Hukum Laut”
Pembicaraan Publik 14: “Pembicaraan Pemerintah: Mewujudkan Visi Indonesia sebagai Koridor Maritim Dunia”
Sesi Berbagi: “Bumiku Berubah: Bersahabat dengan Bencana”
HARI 4: Jumat, 22 Maret
Kuliah Umum: Prof. Drs. Imam Buchori Zainuddin – “Apakah Kita Orang Indonesia Kreatif?”
Berbagi Sesi: “Menguak Jejak Rempah Nusantara”
HARI 5: Sabtu, 23 Maret
Berbagi Sesi 6: “Jelajah Negeri Rempah: Jalan-jalan dan Makan-makan!”
Peluncuran Buku: “Kisah Negeri-Negeri di Bawah Angin” oleh Yayasan Negeri Rempah
Cooks and Talks: “Obrolan Dapur Rempah”
HARI 6: Minggu, 24 Maret
Ekskursi Museum: Museum Kemaritiman IPC, Jakarta Utara
Sesi Penutupan: “Nenek Moyangku Orang Pelaut!”
Sumber: International Forum on Spice Route | Museum Nasional Indonesia
YAYASAN Negeri Rempah didukung oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menyelenggarakan International Forum on Spice Route (IFSR) pada tanggal 19 hingga 24 Maret 2019 di Museum Nasional, Jakarta. Forum ini membahas tentang rempah-rempah.
Bertema Reviving the World's Maritime Culture through the Common Heritage of Spice Route, IFSR menjadi sarana untuk meningkatkan kembali peranan penting Indonesia dalam produksi dan perniagaan komoditas rempah.
"Dalam konteks yang lebih strategis, forum ini meletakkan Indonesia ke dalam percaturan perbincangan dunia (dimulai dari wilayah regional Asia Tenggara) dengan perspektifnya yang unik dalam memaknai sejarah perdagangan maritim dari masa ke masa," ujar Tukul Rameyo Adi, Staf Ahli Menteri Koordinator Kemaritiman Bidang Sosio-Antropologi yang membuka acara mewakili Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan.
Sementara Menteri Luar Negeri RI periode 2001-2009 yang saat ini juga duduk sebagai ketua dewan pembina Yayasan Negeri Rempah Hassan Wirajuda menegaskan dewasa ini banyak bergulir pertarungan konsep seperti Jalur Sutera Maritim yang diusung Tiongkok, maupun ragam konsep tentang wawasan Indo-Pasifik yang kesemuanya menuntut Indonesia untuk mengambil peranan yang penting.
Menilik sejarah, Nusantara memiliki posisi strategis sebagai poros yang menghubungkan 'negeri-negeri di atas angin', yaitu Tiongkok, India, Timur Tengah hingga Eropa. Jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara, Nusantara telah menjadi pemain penting dalam perdagangan dunia dan telah lama dikenal sebagai negara pemasok utama komoditas penting di dunia: rempah-rempah.
"Jadi, bayangkan saja. Ketika Eropa belum memiliki banyak pengetahuan tentang berbagai komoditas, rempah-rempah dari dunia Timur telah menyediakan khasiat, cita rasa dan aroma yang dipergunakan sebagai bumbu masak, penawar racun dan obat, bahkan sampai bahan pengawet," kata Bram Kushardjanto, panitia penyelenggara IFSR dari Yayasan Negeri Rempah.
Pada masa itu rempah-rempah menjadi komoditas utama yang mampu mempengaruhi kondisi politik, ekonomi maupun sosial budaya dalam skala global. Poros perdagangan rempah-rempah global Asia, India–Nusantara–Tiongkok, melalui perairan Hindia hingga Pasifik meninggalkan jejak peradaban yang signifikan.
Terletak di sepanjang jalur maritim tersibuk di dunia, Nusantara dari masa ke masa telah menjadi daerah strategis yang amat penting dan tujuan perdagangan selama ribuan tahun.
Sumber: STORY : Meninjau Kembali Jejak Jalur Rempah Nusantara (bizlaw.id)
JAKARTA – Pernah berjaya sebagai komoditas utama nusantara, rempah kini masih menjadi peluang Indonesia untuk menyasar pasar ekspor baru guna mendukung perekonomian. Untuk itu, jalur rempah yang pernah ramai dilintasi pedagang masa lalu bakal dihidupkan kembali.
"Jalur rempah ini selaras dengan keinginan Bapak Presiden yaitu ingin mencari pasar non-mainstream, salah satu yang diharapkan adalah Afrika," kata Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Bidang Sosio-Antropologi, Tukul Rameyo Adi di acara International Forum on Spice Route (IFSR) Jakarta, Selasa (19/3), dilansir dari Antara.
Menurut Tukul, Afrika ke depan akan dijadikan aliansi perdagangan rempah seperti halnya yang terjadi di masa lampau.
"Jadi jalur rempah bisa menjadi besar lagi dan dijadikan sebagai platform aliansi ekonomi seperti yang dilakukan Tiongkok melalui jalur sutera," tuturnya.
Sayangnya, gelar Spices of Island yang sempat disematkan pada kepulauan nusantara perlahan memudar lantaran produksi dan ekspor sulit berkembang.
Secara umum, ekspor rempah-rempah Indonesia memang tampak tidak bergairah. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), pertumbuhan rata-rata tahunan untuk nilai ekspor rempah hanya 3,10% dari 2013—2017. Pertumbuhan yang tidak seberapa ini bahkan kian mengkhawatirkan karena beberapa komoditas rempah utama Indonesia justru mengalami penurunan.
Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kemendag, Tuti Prahastuti dalam sebuah wawancara dengan Validnews beberapa waktu lalu menyebutkan Indonesia hanya menempati peringkat kelima sebagai produsen rempah dunia. Sumbangsih rempah nusantara untuk produksi global pun hanya 5%. Untuk diketahui, produksi rempah dunia saat ini telah berada di angka 2,5 juta ton. Artinya, Indonesia hanya mampu menyediakan sekitar 125 ribu ton rempah-rempah dari berbagai jenis.
“Pesaing ekspor rempah Indonesia, antara lain adalah India, China, Vietnam, dan Madagaskar,” ucap Sang Direktur.
Pembina Yayasan Negeri Rempah Bram Kushardjanto menegaskan Indonesia punya potensi besar untuk kembali berjaya dengan rempah.
"Kita masih yang terbesar sampai saat ini. Masalah penjualan saja yang harus lewat Vietnam atau India, tapi kita tetap produsen terbesar (di dunia)," katanya.
Komoditas unggulan Indonesia di antaranya cengkeh, pala, kayu manis hingga kayu aromatik seperti gaharu, gambir, cendana dan kemenyan.
Pandangan Bram setidaknya tercermin pada ekspor impor lada Vietnam. Negara yang terletak di delta Sungai Mekong tersebut diketahui merupakan penyuplai lada dunia terbesar di dunia dengan angka ekspor mencapai 182,50 ribu ton pada 2017 menurut UN Comtrade.
Di sisi lain, menurut lembaga pemeringkat Statista, produksi lada Vietnam di tahun yang sama bertengger di angka 210 ribu ton. Sementara itu, konsumsi lada di negeri tersebut telah mencapai 55 ribu ton. Itu baru konsumsi di tahun 2015 dan belum menghitung pertumbuhan konsumsi hingga saat ini.
Masih mengutip data UN Comtrade, volume ekspor lada ke negeri tersebut pada tahun 2017 saja mencapai 13,26 ribu ton. Angka ini setara dengan 34% ekspor lada Indonesia di tahun yang sama sebesar 39 ribu ton.
Forum Pertukaran PengetahuanYayasan Negeri Rempah didukung oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menyelenggarakan International Forum on Spice Route (IFSR) pada tanggal 19 hingga 24 Maret 2019 di Museum Nasional, Jakarta.
Mengangkat tema "Reviving the World’s Maritime Culture through the Common Heritage of Spice Route", forum itu diharapkan dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kembali peranan penting Indonesia dalam produksi dan perniagaan komoditas rempah.
Menilik sejarah, Nusantara memiliki posisi strategis sebagai poros yang menghubungkan Tiongkok, India, Timur Tengah hingga Eropa. Jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara, Nusantara telah menjadi pemain penting dalam perdagangan dunia dan telah lama dikenal sebagai negara pemasok utama komoditas penting di dunia yakni rempah-rempah.
Forum ini mengundang para narasumber dari negara-negara sahabat yang juga memiliki warisan budaya maritim. Bahkan, masyarakat juga diajak untuk turut merayakan keragaman dunia rempah nusantara melalui berbagai program menarik mulai dari diskusi, bedah buku, talk show, pertunjukan masak, hingga permainan "Spice Challenge & Boardgame Competition".
Tukul Rameyo Adi saat membuka acara di Jakarta, Selasa (19/3), mengatakan IFSR diharapkan menjadi forum pertukaran pengetahuan pemahaman antarbudaya, dengan mengedepankan kekuatan warisan budaya serta semangat multikulturalisme melalui narasi sosio-kultural-historis jalur rempah dan perdagangan maritim yang relevan dengan konteks kekinian.
"Forum ini bertujuan untuk memperluas kesempatan dan meninjau kembali budaya maritim, khususnya jalur rempah sebagai alat diplomasi maritim dan diplomasi budaya Indonesia," katanya.
Menurutnya, saat ini adalah saat yang tepat bagi Indonesia untuk mengembalikan kejayaan bangsa ini sebagai bangsa samudera dan tidak hanya dikenal sebagai bangsa pelaut. Apalagi mengingat posisi Indonesia sebagai poros penghubung antara timur, barat, utara dan selatan. Dari Tiongkok, Timur Tengah hingga Eropa.
Ia mengatakan nusantara sejak lama dikenal sebagai bangsa pedagang dan pelaut yang tangguh mengarungi samudera.
"Rempah adalah salah satu komoditas nusantara dari masa ke masa," ujar dia.
Menteri Luar Negeri RI periode 2001-2009 Hassan Wirajuda mengatakan Indonesia harus mengambil peranan penting di tengah bergulirnya pertarungan konsep negara dengan memanfaatkan warisan budaya maritim yang dimiliki.
"Apalagi ketika dewasa ini banyak bergulir pertarungan konsep seperti Jalur Sutera Maritim yang diusung Tiongkok, maupun ragam konsep tentang wawasan Indo-Pasifik yang kesemuanya menuntut Indonesia untuk mengambil peranan yang penting," katanya yang juga duduk sebagai ketua dewan pembina Yayasan Negeri Rempah. (Fin Harini, Teodora Nirmala Fau)
Sumber: https://www.validnews.id/ekonomi/Komoditas-Rempah-Sasar-Peluang-Pasar-Ekspor-Baru-GOB
Yayasan Negeri Rempah didukung oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menyelenggarakan International Forum on Spice Route (IFSR) pada tanggal 19 hingga 24 Maret 2019 di Museum Nasional, Jakarta. Bertema Reviving the World’s Maritime Culture through the Common Heritage of Spice Route, IFSR menjadi sarana untuk meningkatkan kembali peranan penting Indonesia dalam produksi dan perniagaan komoditas rempah.
“Dalam konteks yang lebih strategis, forum ini meletakkan Indonesia ke dalam percaturan perbincangan dunia (dimulai dari wilayah regional Asia Tenggara) dengan perspektifnya yang unik dalam memaknai sejarah perdagangan maritim dari masa ke masa,” ujar Tukul Rameyo Adi, Staf Ahli Menteri Koordinator Kemaritiman Bidang Sosio-Antropologi yang membuka acara mewakili Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan.Sementara Menteri Luar Negeri RI periode 2001-2009 yang saat ini juga duduk sebagai ketua dewan pembina Yayasan Negeri Rempah Hassan Wirajuda menegaskan “dewasa ini banyak bergulir pertarungan konsep seperti Jalur Sutera Maritim yang diusung Tiongkok, maupun ragam konsep tentang wawasan Indo-Pasifik yang kesemuanya menuntut Indonesia untuk mengambil peranan yang penting,”
Menilik sejarah, Nusantara memiliki posisi strategis sebagai poros yang menghubungkan 'negeri-negeri di atas angin', yaitu Tiongkok, India, Timur Tengah hingga Eropa. Jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara, Nusantara telah menjadi pemain penting dalam perdagangan dunia dan telah lama dikenal sebagai negara pemasok utama komoditas penting di dunia: rempah-rempah. “Jadi, bayangkan saja. Ketika Eropa belum memiliki banyak pengetahuan tentang berbagai komoditas, rempah-rempah dari dunia Timur telah menyediakan khasiat, cita rasa dan aroma yang dipergunakan sebagai bumbu masak, penawar racun dan obat, bahkan sampai bahan pengawet,” jelas Bram Kushardjanto, panitia penyelenggara IFSR dari Yayasan Negeri Rempah.Pada masa itu rempah-rempah menjadi komoditas utama yang mampu mempengaruhi kondisi politik, ekonomi maupun sosial budaya dalam skala global. Poros perdagangan rempah-rempah global Asia, India–Nusantara–Tiongkok, melalui perairan Hindia hingga Pasifik meninggalkan jejak peradaban yang signifikan. Terletak di sepanjang jalur maritim tersibuk di dunia, Nusantara dari masa ke masa telah menjadi daerah strategis yang amat penting dan tujuan perdagangan selama ribuan tahun.
Kegiatan IFSR akan berlangsung selama 6 hari di Museum Nasional, Jakarta akan menjadi forum pertukaran pengetahuan dan pemahaman antar budaya. Forum ini mengundang para narasumber dari negara-negara sahabat yang juga memiliki warisan budaya maritim. Bahkan, masyarakat juga diajak untuk turut merayakan keragaman dunia rempah nusantara melalui berbagai program menarik. Mulai dari diskusi, bedah buku, talk show, cooking show, hingga permainan "Spice Challenge & Boardgame Competition". IFSR tidak hanya mengangkat romantika jalur rempah dan perdagangan maritim masa lalu, melainkan bervisi mengembangkan budaya maritime yang relevan dengan konteks kekinian. (Megy)
Sumber: International Forum on Spice Route (IFSR), Meninjau Kembali Jejak Kemaritiman Berbasis Jalur Rempah (tabloidskandal.com)
GenPI.co - Sejarah dunia mencatat bahwa rempah-rempah termasyur datang dari Nusantara Produk tersebut diperdagangkan jauh dari tempat asalnya di timur kepulauan Asia Tenggara sampai ke kepulauan Inggris di ujung paling barat Eropa.
Sedemikian pentingnya rempah dan jalur perdagangannya maka Yayasan Negeri Rempah menyelenggarakan International Forum on Spice Route (IFSR). Didukung Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, forum ini berlangsung pada 19-24 Maret 2019 di Museum Nasional, Jakarta.
Forum Internasional Jalur Rempah mengusung tema ‘Reviving the World’s Maritime Culture through the Common Heritage of Spice Route’. Diharapkan, penyelenggaraan IFSR menjadi sarana untuk memperkenalkan kembali peranan penting Indonesia dalam skala global.
“Dalam konteks yang lebih strategis, forum ini meletakkan Indonesia ke dalam percaturan perbincangan dunia (dimulai dari wilayah regional Asia Tenggara) dengan perspektifnya yang unik dalam memaknai sejarah perdagangan maritim dari masa ke masa,” ujar Tukul Rameyo Adi, Staf Ahli Menteri Sosio-Antropologi dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dalam keterangannya.
IFSR dijadwalkan dibuka oleh Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut B Panjaitan. Acara dilanjutkan dengan sambutan utama dari Dr. Hassan Wirajuda dan kuliah umum oleh pakar sejarah Indonesia Prof. Anthony Reid.
Selama enam hari berturut-turut, IFSR akan menjadi forum pertukaran pengetahuan dan pemahaman antar budaya. Narasi sosio-kultural-historis jalur rempah dan perdagangan maritim yang disajikan relevan dengan konteks kekinian.
IFSR hendak mengembalikan pentingnya jalur rempah dalam pembentukan sejarah dunia yang kita huni saat ini.
“Kami berharap IFRS bisa mengingatkan kembali akan kayanya warisan yang kita punya, seperti Jalur Rempah ini,” jelas Laksda TNI (purn) Agus Purwoto, Sekretaris Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman.
Sumber: Indonesia Gelar Forum Internasional Jalur Rempah (genpi.co)
Halaman 9 dari 10