Loading...

Fimela.com, Jakarta Ada yang tahu dengan sebuah program jalan-jalan yang bernama #JalurRempah? Bukan sekadar jalan-jalan biasa, tapi program tersebut juga mengangkat tema jalan-jalan jelajah budaya (cultural trip). Boleh dibilang kalau program #JalurRempah dibuat tidak hanya untuk memperlihatkan sejarah Indonesia yang kaya, tapi juga supaya masyarakat lebih peduli dengan sejarah bangsa ini.

Program #JalurRempah sendiri memang erat kaitannya dengan seorang perempuan bernama Kumoratih Kushardjanto yang sekarang menjabat sebagai ketua Yayasan Negeri Rempah. Ya, jauh sebelum Yayasan Negeri Rempah berdiri masyarakat lebih dulu mengenalnya dengan sebutan komunitas Negeri Rempah atau komunitas Jaringan Masyarakat Negeri Rempah.

“Program #JalurRempah ini pada mulanya adalah sebuah program traveling yang digagas sebagai salah satu tema jalan-jalan jelajah budaya (cultural trip) yang saya buat sejak 2007 bersama mitra saya,” jelas Kumoratih kepada Fimela.com. Mengapa jalur rempah? Semua berawal ketika ia tertarik membaca dan menonton serial dokumenter yang membahas tentang sejarah Indonesia.

“Dalam film dokumenter yang dirilis oleh BBC pada 2011 tersebut, Maluku sebagai daerah endemik penghasil pala dan cengkeh, memperoleh porsi yang signifikan dalam narasinya. Semuanya memperkuat niat dan ide untuk menelusuri #JalurRempah sebagai salah satu entry point untuk mengenal Indonesia,” ungkap Kumoratih. Dari situ Kumoratih semakin bersemangat untuk lebih memperlihatkan sejarah bangsa Indonesia dengan cara yang menyenangkan.

Kumoratih tentunya tidak sendirian karena kenyataannya banyak orang yang masih peduli dengan sejarah bangsa Indonesia, meskipun mereka tidak memiliki latar belakang pendidikan sejarah atau humaniora. “Saya pernah melakukan penelitian kecil untuk thesis saya. Saya perhatikan, dalam satu dasawarsa terakhir tumbuh gerakan-gerakan sporadis dari komunitas-komunitas kecil yang memiliki kesamaan minat, untuk mengajak publik mengenal kembali wajah Indonesia dengan cara dan gayanya masing-masing,” jelasnya.

Komunitas Jaringan Masyarakat Negeri Rempah memiliki sejumlah kegiatan rutin, mulai dari mengadakan sesi berbagi, kumpul bulanan, bincang santai dengan arkeolog, sejarawan, ahli hukum tata negara, mencicipi kuliner rempah, bedah resep, masak bareng, pameran keliling di daerah dengan komunitas lokal, hingga jalan-jalan.

Mengajak Masyarakat Indonesia untuk Mengenal Negerinya Sendiri

Sebelum membahas hal yang berkaitan dengan #JalurRempah, pasti banyak yang penasaran mengapa dari komunitas Jaringan Masyarakat Negeri Rempah lalu berkembang menjadi Yayasan Negeri Rempah. Kumoratih Kushardjanto pun memberikan penjelasannya.

“Setelah kegiatan komunitas ini sudah jalan dengan aktivitas yang begitu beragam, timbul pertanyaan dari beberapa sahabat relawan yang kerap berbagi dengan kami di sharing session. Apa yang kemudian diharapkan dari gerakan komunitas ini? Apakah bisa berkesinambungan kalau komunitas ini sifatnya sangat cair, tidak ada organisasinya? Ini kan jadi OTB, dan resikonya, kalau pengurusnya bosan?” cerita Kumoratih.

Singkat cerita akhirnya Kumoratih dan teman-temannya memutuskan untuk membentuk sebuah yayasan yang didukung oleh para relawan sebagai pengurusnya. Semuanya berbasis volunteer. Selain dewan pembina, dewan pengawas dan dewan pengurus, Yayasan Negeri Rempah juga membentuk dewan pakar yang berisi para akademisi.

Lewat berbagai programnya Yayasan Negeri Rempah selalu berusaha untuk menawarkan sebuah perspektif baru dalam memahami Indonesia. Bahwa, #JalurRempah bukan hanya bicara tentang perdagangan rempah-rempah, tetapi yang lebih penting adalah memahami #JalurRempah sebagai gerbang pertukaran antarbudaya. Ada pertukaran ilmu, budaya, sosial, bahasa, keahlian-ketrampilan dan bahkan agama di antara manusia yang berasal dari berbagai tempat yang jauh.

“Harapan kami sederhana. Mengajak publik untuk mau belajar dan mengenal kembali keragaman Indonesia. Salah satunya dengan cara mengenal #JalurRempah. Karena kebhinnekaan kita salah satunya dibentuk melalui interaksi kita dengan berbagai bangsa dari masa ke masa. Melalui apa? Melalui jalur perdagangan,” pungkas Kumoratih.

“Mari kita belajar, agar kita bisa mengoptimalkan sumber daya alam yang dianugerahkan kepada kita. Nggak dimanfaatkan oleh bangsa lain, lalu ujung-ujungnya kita mengonsumsi produksi asing yang mengolah sumber daya alam kita sendiri.” - Kumoratih Kushardjanto Ketua Yayasan Negeri Rempah

Sumber: Komunitas Jaringan Masyarakat Negeri Rempah: Kenalkan Sejarah Indonesia Lewat #JalurRempah - FimelaHood Fimela.com

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil rempah-rempah terbaik di dunia. Berdasarkan data Foor and Agriculture Organization (FAO) pada 2016, Indonesia menempati peringkat keempat sebagai penghasil rempah di dunia dengan total produksi 113.649 ton serta total nilai ekspornya mencapai 652,3 juta Dollar Amerika.

Di dunia, berdasarkan data Negeri Rempah Foundation, tercatat ada 400-500 spesies rempah. Dari jumlah itu, 275 di antaranya berada di Asia Tenggara yang didominasi oleh Indonesia. Sehingga Indonesia memiliki julukan Mother of Spices.

Di Indonesia, rempah-rempah terbaik dihasilkan di sejumlah kawasan seperti Jambi, Pulau Jawa, Kalimantan Tengah dan Timur, Maluku, NTT, hingga Papua. Dari berbagai rempah-rempah yang ada, ternyata ada tujuh yang menjadi unggulan untuk diekspor. Apa saja?

1. Lada
Tanama dengan nama latin Piper Nigrum Linn ini diperkirakan berasal dari India. Tapi, tanaman ini banyak tersebar di berbagai wilayah Indonesia, mulai dari Aceh, Jambi, Kalimantan, Lampung, Sumatera, hingga DI Yogyakarta. Pada 2016, lada jadi komoditas rempah utama Indonesia untuk ekspor dengan nilai mencapai Rp1,9 triliun.

2. Cengkeh
Cengkeh merupakan tanaman asli Indonesia, yaitu dari Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku. Tapi, cengkeh kemudian tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, saat zaman kolonial Hindia-Belanda, cengkeh sudah jadi hasil bumi yang diekploitasi mereka. Pada 2016, nilai ekspor cengkeh mencapai nilai 11,3 juta Dollar Amerika.

3. Kayu Manis
Rempah ini memiliki aroma yang harum. Biasanya, kayu manis digunakan untuk pelengkap bahan pembuat kue atau minuman. Nilai ekspornya pada 2016 mencapai 44,8 juta Dollar Amerika.

4. Pala
Tanaman khas Banda dan Maluku ini banyak tersebar di daerah timur Indonesia. Selain sebagai rempah-rempah, pala sering digunakan untuk menghasilkan minyak atsiri. Pada 2016, nilai ekspornya mencapai 44,1 juta Dollar Amerika.

5. Vanili
Tanaman ini sebenarnya berasal dari Meksiko. Tapi, di Indonesia sudah banyak dibudidayakan, terutama di wilayah barat dan tengah Indonesia. Pada 2016, nilai ekspor vanili mencapai 30,2 juta Dollar Amerika.

6. Jahe
Tanaman ini pada 2016 lalu mencapai 2,6 juta Dollar Amerika untuk nilai ekspornya. Jahe sendiri bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, mulai dari bahan makanan, obat, hingga permen.

7. Kunyit
Tanaman ini tumbuh cukup banyak di berbagai wilayah di Asia Tenggara. Tapi, Indonesia jadi salah satu negara penghasil kunyit terbaik. Nilai ekspornya pada 2016 mencapai 3,5 juta Dollar Amerika.

Sumber: Sudah Tahu 7 Rempah-rempah Andalan Ekspor Indonesia? - Berita Baik

Sepanjang abad ke-16 dan 17, orang-orang dari benua Eropa terutama Portugis, Spanyol, dan Belanda memperebutkan penguasaan tanah atas rempah-rempah di Nusantara.

Bermula, usai menaklukan bandar perdagangan Malaka pada 1511, bangsa Portugis yang dipimpin Francisco Serrao bertolak menuju pusat produksi rempah-rempah nusantara, Maluku.

Kedatangan bangsa Portugis rupanya menarik perhatian Sultan Ternate, Abu Lais, yang kemudian menawarkan pendirian benteng di Ternate dengan imbalan produksi cengkeh sepenuhnya akan dijual kepada Portugis. Portugis menyepakati kerja sama dagang tersebut.

Inilah awal mula periode kolonialisme di Indonesia, yang dimulai dari ambisi penguasaan dagang rempah-rempah yang melimpah di Nusantara oleh bangsa-bangsa Eropa.

Berabad-abad kemudian, rempah-rempah masih menjadi salah satu komoditas unggulan ekspor ke negara-negara Eropa dan Amerika. Berdasarkan data yang dirilis Food and Agriculture Organization (FAO), pada tahun 2016, Indonesia menempati posisi keempat terbesar di dunia sebagai negara penghasil rempah-rempah dengan total produksi 113.649 ton serta total eskpornya mencapai USD652,3 juta.

Besarnya nilai tersebut disokong oleh keragaman jenis rempah-rempah khas Nusantara yang menjadi satu bagian tak terpisahkan dari penggalan perjalanan sejarah Bangsa Indonesia. Dari data Negeri Rempah Foundation, ada sekitar 400-500 spesies rempah di dunia, 275 di antaranya ada di Asia Tenggara dan Indonesia menjadi yang paling dominan hingga kemudian Indonesia dijuluki sebagai Mother of Spices.

Beberapa daerah penghasil rempah-rempah di Indonesia adalah Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua, Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, dan Yogyakarta.

Dari keragaman jenis dan wilayah penghasil rempah-rempah, Indonesia memiliki peluang besar menjadi pemasok rempah dunia yang dapat memberikan kontribusi besar bagi perekonomian Indonesia. Apalagi, nilai impor (permintaan) dunia terhadap rempah-rempah setiap tahunnya mengalami kenaikan sebesar 7,2% dengan nilai mencapai USD10,1 miliar.

Setidaknya ada tujuh jenis rempah yang menjanjikan, yakni lada, kayu manis, pala, panili, cengkeh, kunyit, dan jahe.

Lada

Tanaman lada (Piper nigrum, Linn) ditengarai berasal dari daerah Ghat Barat, India. Menurut para ahli sejarah, diperkirakan pada 110-600 SM, koloni Hindu yang datang ke Jawa membawa bibit lada. Di Indonesia, lada banyak tersebar di Aceh, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Yogyakarta. Pada 2016, lada menjadi komoditas rempah utama Indonesia dengan nilai ekspor mencapai USD143,6 juta atau sekitar Rp1,9 triliun.

Cengkeh

Rempah-rempah ini merupakan tanaman asli Indonesia, yakni dari Kepulauan Maluku (Ternate dan Tidore). Cengkeh pernah menjadi rempah yang paling populer dan mahal di Eropa. Di masa awal ekspansi Portugis ke Maluku, harganya hampir sama dengan harga sebatang emas. Di Indonesia, cengkeh tersebar di daerah Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua, Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, dan Yogyakarta. Pada 2016, nilai ekspor cengkeh mencapai nilai USD11,3 juta.

Kayumanis

Rempah yang memiliki aroma harum dan rasanya yang khas membuat kayumanis biasa digunakan sebagai pelengkap pada kue atau pada minuman. Selain itu, kayu manis juga memiliki manfaat bagi kesehatan. Daerah persebarannya meliputi Jambi, Sumatera Barat, dan Yogyakarta. Pada 2016, nilai ekspornya berada di urutan kedua di bawah lada dengan nilai USD44,8 juta.

Pala

Tanaman ini banyak tersebar di Bengkulu, Maluku, Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara. Selain berfungsi sebagai rempah-rempah, pala juga menjadi komoditas penghasil minyak atsiri. Tanaman ini merupakan tanaman khas Banda dan Maluku. Di tahun 2016, nilai ekspornya ada di urutan ketiga dengan nilai mencapai USD44,1 juta.

Panili

Sebetulnya rempah ini bukan tanaman khas Indonesia, namun berasal dari Meksiko. Akan tetapi, di Indonesia sudah banyak dibudidayakan terutama di daerah Jawa Timur, Lampung, Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Harga per pound-nya bisa mencapai USD50-200 atau sekitar Rp700 ribu-3 juta. Di tahun 2016, nilai ekspor panili Indonesia mencapai USD30,2 juta.

Jahe

Jahe menjadi salah satu komoditas rempah unggulan Indonesia. Nilai ekspornya pada tahun 2016 mencapai USD2,6 juta. Jahe memiliki khasiat bagi kesehatan, terutama digunakan sebagai bahan obat herbal.

Kunyit

Tanaman ini memiliki sejarah sebagai tanaman untuk pemakaian obat. Di Asia Tenggara, kunyit tidak hanya digunakan untuk bumbu utama, tetapi juga sebagai komponen upacara religius. Nilai ekspornya di tahun 2016 mencapai USD3,5 juta. 

Sumber: Indonesia, 24 Oktober 2018

Gluten-free. Local & Spice! Tajuk sesi di hari ke-3 Jakarta Eat Festival 2018 ini membuat penonton yang penasaran dan tertarik belajar lebih jauh tentang pola makan gluten-free yang memang sedang tren. Dipandu oleh Kevindra Soemantri dari Top Tables, obrolan sekaligus diskusi hangatpun mengalir di Sabtu (1/9) sore lalu di Gandaria City Mall, Jakarta.

Sumber makanan gluten-free banyak dicari sebagai alternatif pola makan yang lebih sehat, karena dipercaya tidak hanya meredakan berbagai gangguan fisik bagi mereka yang alergi terhadap gluten, tapi juga berdampak menyehatkan bagi mereka yang tidak alergi gluten.

Tren ini mendorong banyak supermarket mulai memajang berbagai variasi bahan makanan gluten-free di rak-rak mereka. Tentu, dengan harga pasaran yang cukup mahal, karena rata-rata masih impor. Padahal, Indonesia adalah surganya sumber makanan gluten-free!

Berbicara tentang pemberdayaan potensi kuliner lokal, kita bisa berkaca pada Pemerintah Gorontalo. Pemerintah daerah mewajibkan sajian menu makanan asli Gorontalo di setiap acara pemerintahan melalui Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo No. 3 Tahun 2015 tentang Pembelajaran Ilmu Gizi Berbasis Makanan Khas Daerah Gorontalo.

“Melalui Perda No. 3 Tahun 2015 ini, pemerintah mewajibkan orang-orang muda Gorontalo untuk juga menguasai jenis-jenis masakan khas Gorontalo,” lanjut Imelda, disambut tepuk tangan apresiasi dari tak kurang 100-an peserta yang hadir.

Serunya, di tengah acara, para peserta bisa mencicipi penganan manis popolulu, yang terbuat dari ubi jalar.

Sebagai negeri kaya rempah, masakan lokal Indonesia memiliki cita rasa yang berani dan bervariasi. Salah satunya yang menjadi menu dan favorit dari para atlet Asian Games 2018 adalah menu khas Gorontalo, kuah bugis atau tabu moitomo yang diolah dari 30 jenis rempah.

“Indonesia memiliki keragaman hayati yang tertinggi di dunia. Setidaknya, ada 10.000 tanaman endemik di Indonesia. Dari 400 hingga 500 spesies rempah yang ada di dunia, 275 jenis di antaranya ditemukan di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia,” ungkap Kumoratih Kushardjanto, Negeri Rempah Foundation.

Begitu banyaknya variasi masakan lokal, sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk bingung menentukan menu.

“Bayangkan, dari satu buku saja, seperti buku Mustika Rasa, ada 1.123 resep masakan, yang kalau kita masak setiap hari baru tuntas dalam waktu 4 tahun!” ungkap Seto, Komunitas Masak Akhir Pekan.

Terdorong keinginan untuk mempopulerkan keragaman pangan Indonesia inilah, Seto membangun komunitas Masak Akhir Pekan. Bersama-sama mereka mengolah makanan, seperti bubur jagung dengan saus gula jawa dan campuran rempah cengkih, kapulaga, dan kayu manis, hingga setup jambu.

Bagaimanapun, tak bisa dipungkiri bahwa kualitas sebuah masakan sangat ditentukan oleh kualitas dari bahan bakunya. Inilah yang dikejar oleh Gregory Lentini, pemilik Gelato Secrets.

“Negara ini luar biasa, tidak banyak negara yang berlimpah dengan bumbu, rempah, dan banyak bahan untuk membuat makanan sehat dan natural,” ungkap Gregory.

Menurutnya, Indonesia sangat kaya dengan bahan makanan berkualitas tinggi. Mengkonsumsi makanan lokal jelas lebih sehat karena tidak perlu melalui rantai distribusi yang panjang. Semua kandungan nutrisi dalam bahan pangan masih dalam kondisi bagus dan segar.

“Anehnya, banyak orang Indonesia berpikir bahwa bahan makanan lokal kualitasnya lebih rendah dari produk impor. Sementara itu, untuk mendapat kulitas bagus, maka orang harus membayar lebih, karena semua produk unggulan dikirim ke luar untuk ekspor,” ungkap Gregory, prihatin.

Kenyataan ini menggerakkan Gregory untuk memburu bahan baku terbaiknya dengan langsung membelinya dari petani-petani di daerah dengan harga yang tinggi sehingga ikut membantu perekenomian petani lokal. Salah satunya, ia berburu cokelat dari petani di Sulawesi Barat, di sebuah desa kecil dekat Kabupaten Mamuju.

“Di sana, kami tidak hanya membeli, tapi juga mengajar bagaimana melakukan fermentasi biji kakao yang lebih baik, sehingga kualitasnya tinggi,” jelas Gregory, yang mengajak para petani kakao asal Sulawesi Barat bertandang ke Bali, ke tempat produksi gelato cokelat miliknya.

Untuk kali pertama, para petani ini mencicipi es krim cokelat khas Italia dari hasil panen mereka sendiri.

Di penghujung acara, para peserta diajak untuk bersama-sama menyaksikan demo masak dari Chef Soli dari Nusa Indonesian Gastronomy. Sore itu, Chef Soli mengolah penganan bongko kopyor, yang berbahan dasar bubur sumsum dengan tepung sorgum. Dengan menggunakan teknik molecular gastronomy, adonan bongko kopyor disemprot dengan nitrogen cair, sehingga teksturnya lembut menyerupai es krim.

Sumber: Primarasa, 1 September 2018

Tak ada habisnya jika berbicara tentang jenis rempah. Indonesia menjadi salah satu pusat rempah dunia. Banyak jenis rempah yang bisa dijumpai di Indonesia. Beberapa daerah di Indonesia bahkan terkenal sebagai penghasil rempah spesifik dan endemik.

Kumoratih Kushardjanto dari Negeri Rempah Foundation menyebutkan ada beberapa rempah yang dihasilkan di daerah-daerah di Indonesia.

"Ya, ada beberapa rempah endemik yang cukup terkenal. Misalnya, cengkeh banyak dihasilkan di Maluku, biji pala juga dari Maluku, lalu ada kapur dari Sumatera. Kita kenalnya kapur barus karena dari daerah Barus. Ada juga kemenyan dari Sumatera. Itu semuanya rempah," kata wanita yang biasa disapa Ratih ini.

Beberapa rempah populer bisa ditemui di Indonesia dengan mudah, seperti lada dan kayu manis. Namun, rempah ini bukan rempah asli Indonesia karena juga bisa ditemui di belahan bumi lain. Selain rempah populer, ada juga rempah spesifik yang hanya tumbuh di daerah tertentu di Indonesia. Karena hanya tumbuh di satu tempat, menjadikan rempah ini jarang diketahui. Ratih menyebutkan contoh rempah endemik seperti andaliman atau merica batak dan kemukus atau lada berekor.

Andaliman hanya bisa tumbuh di daerah tertentu di Sumatera Utara. Pertumbuhannya terpengaruh faktor tanah dan ketinggian permukaan. Jika andaliman dibawa ke Jawa, akan sulit untuk tumbuh, bahkan tidak akan pernah tumbuh. Andaliman disebut sebagai ‘merica batak’ karena memang begitu terkenal di Sumatera Utara.

Beberapa masakan khas Batak Toba menggunakan andaliman sebagai bumbu penyedap. Rempah yang berbentuk butiran mirip lada ini memiliki kandungan hydroxy-alpha-sanshool sehingga menimbulkan rasa getir pada lidah. Karena sensasi rasanya, andaliman juga dimanfaatkan menjadi campuran sajian sambal.

Tak hanya dimanfaatkan di Sumatera Utara, andaliman juga digunakan sebagai campuran masakan khas Padang. Rempah yang kaya dengan vitamin C dan E juga bisa dicampurkan pada bumbu masakan gulai, rendang, maupun balado. Penggunaan andaliman juga bisa ditemukan pada masakan Asia Timur dan Asia Selatan.

Misalnya di Jepang, andaliman dikenal dengan nama sansho sedangkan, di Korea disebut sebagai sanchonamu atau chopinamu. Sementara, dalam Bahasa Inggris rempah dengan nama latin Zanthoxylum acanthopodium itu lebih terkenal dengan sebutan sichuan pepper.

Sumber: GNFI, 20 Agustus 2018

Jakarta - Cengkih dari Maluku tersohor di dunia. Tetapia da juga kemukus dan andaliman yang unik rasanya di Indonesia. Tak heran jika Indonesia dijuluki negeri rempah.

Kekayaan alam dan kesuburan tanah Indonesia menghasilkan keragaman hayati yang luar biasa, termasuk beragam tanaman rempah. Di beberapa daerah di Indonesia bahkan terkenal sebagai penghasil rempah endemik dan spesifik. Rempah apa saja dan dimana daerah penghasilnya?

Kumoratih Kushardjanto dari Negeri Rempah Foundation menyebutkan ada beberapa rempah yang dihasilkan di daerah-daerah eksotis di Indonesia. "Ya, ada beberapa rempah endemik yang cukup terkenal. Misalnya cengkeh banyak dihasilkan di Maluku, biji pala juga dari Maluku, lalu ada kapur dari Sumatera kita kenalnya Kapur Barus karena dari daerah Barus, ada juga kemenyan dari Sumatera. Itu semuanya rempah," kata wanita yang biasa disapa Ratih ini.

Membahas soal rempah memang tidak akan ada habisnya, pasalnya rempah memiliki ratusan spesies yang tersebar di seluruh dunia. Namun uniknya sebagian besar tanaman rempah tumbuh di Asia Tenggara dan Indonesia jadi salah satu negara dengan jenis rempah yang banyak.

Selain rempah endemik, di Indonesia juga banyak tumbuh rempah populer seperti lada dan kayu manis. Kedua rempah ini bukanlah rempah asli Indonesia karena bisa ditemukan juga di beberapa daerah.

"Ada lada yang share heritage, artinya tidak hanya ada di Indonesia tapi di Asia juga ada. Lalu kayu manis juga cukup banyak di Indonesia tapi dia termasuk share heritage juga," lanjut Ratih.

Disamping rempah endemik, beberapa daerah di Indonesia juga ditumbuhi rempah spesifik. Artinya, tanaman rempah tersebut hanya bisa tumbuh di satu daerah saja. Terkadang hal inilah yang membuat rempah jadi agak sulit ditemui.

Ratih menyebutkan beberapa contoh rempah spesifik antara lain andaliman atau merica batak dan kemukus atau lada berekor.

"Jadi memang ada rempah yang spesifik. Misalnya andaliman, merica batak, dia hanya tumbuh di daerah tertentu di Sumatera Utara. Terpengaruh faktor tanah dan ketinggian tertentu. Kenapa hanya di Batak, jadi gini, tanaman andaliman dibawa ke Jawa misalnya, ya nggak bisa tumbuh," beber wanita yang juga seorang dosen ini.

Tak hanya andaliman, ada juga kemukus atau lada berekor yang mulai sulit ditemui. Salah satu alasannya karena perubahan selera yang membuat kemukus semakin berkurang penggunaannya.

"Ada juga kemukus, lada berekor, nama latinnya piper cubeba. Dari literatur yang kami kumpulkan serta dari diskusi dengan para ahli, memang ada lada yang asli dari Indonesia, ladanya berekor, Kita sebutnya kemukus.

Ratih menjelaskan dahulu kemukus digunakan sebagai bahan makanan namun sekarang fungsi tersebut agak berubah. Karena beberapa faktor seperti faktor alam dan perubahan selera, kemukus kini kurang menjadi populer untuk bumbu masakan.

Bukan tidak digunakan sama sekali, kemukus masih tetap dipakai namun lebih banyak dijadikan sebagai bahan pengobatan.

Sumber: https://food.detik.com/info-kuliner/d-4171893/kemukus-andaliman-dan-cengkeh-rempah-unik-dari-bumi-indonesia

Di masa silam, Indonesia dikenal dunia sebagai sumber rempah yang berlimpah. Hingga kini pun, Indonesia tetap memiliki kekayaan rempah yang tersebar di seantero Nusantara.

Jika penasaran dengan sederet rempah yang Indonesia miliki, sila datang ke acara Pasar Rempah, acara besutan organisasi nirlaba Yayasan Negeri Rempah pada Sabtu dan Ahad (26-27/5) di The Bellezza Permata Hijau, Jakarta.

"Kami mengajak masyarakat untuk mengenal dan merayakan kekayaan rempah Nusantara dengan cara yang sederhana: saling berbagi," ungkap Kumoratih Kushardjanto, salah satu pendiri Yayasan Negeri Rempah.

Sederet acara yang dihadirkan, yaitu bazaar produk olahan rempah atau yang terinspirasi dari rempah, sesi berbagi (penyampaian materi edukatif), dan icip kuliner. Seluruh rangkaian kegiatan terbuka untuk umum dan gratis.

Ratih memerinci, sesi berbagi Pasar Rempah memiliki lima tema spesial. Semuanya terkait rempah, yang tidak hanya bermanfaat untuk produksi makanan, tetapi juga bisa dimanfaatkan untuk banyak hal, termasuk mewarnai kain.

Tema tersebut yaitu "Sasirangan Warna Alam dari Rempah", "Mengenal Tradisi Kuliner dari Tanah Rempah Tidore", "Rempah-Rempah untuk Perawatan Tubuh", "Pembuatan Kopi Cold Brew ala Rumahan", dan "Jelajah Negeri Rempah". Seluruh materi disampaikan oleh praktisi dan pemerhati yang sesuai dengan bidang masing-masing.

"Jalur Rempah bukan hanya soal perdagangan rempah, tetapi juga menghasilkan pertukaran ilmu, budaya, sosial, bahasa, keahlian-keterampilan, dan lainnya," tutur Ratih.

Sumber: Republika, 26 Mei 2018

Gorontalo sejak berabad silam dikenal sebagai penghasil rempah berkualitas. Karenanya, kuliner di wilayah ini juga sangat unik sekaligus lezat. Provinsi Gorontalo disahkan pada 5 Desember 2000. Daya pikat propinsi ini tak hanya karena rempah berlimpah, tetapi juga kekayaan budaya dan kulinernya yang sedap.

Menjelajahi propinsi yang dijuluki 'Serambi Madinah' selama 3 hari, detikfood membuktikan cerita kelezatan kuliner daerah ini dalam 'Jelajah Citarasa Gorontalo'. Acara ini diselenggarakan atas kerja sama Yayasan Negeri Rempah dan Omar Niode Foundation, sebuah badan yang menaruh perhatian pada pertanian, makanan dan seni kuliner.

Dalam program ini, 10 peserta dari berbagai kalangan diajak untuk menikmati deburan air laut pulau di utara Gorontalo, Saronde, dan Bugisa yang elok, juga mengunjungi Desa Dulamayo untuk melihat kebun kemiri dan proses pembuatan pahangga atau gula aren.

Selain kemiri, Gorontalo menjadi penghasil lada, pala, cengkeh, panili, adas, kayu manis dan beragam tumbuhan herba lain. Perkebunan kopi dan cokelat ikut melengkapi hasil bumi Gorontalo.

Mencicipi makanan khas Gorontalo tentu tak dilewatkan. Selain binthe buluhuta, ada ilabulo yang legendaris, nasi kuning yang wangi, hingga pisang goroho yang ikonik.

"Letak Gorontalo yang strategis, di antara Laut Cina Selatan dan Teluk Tomini menjadikan Gorontalo sebagai jalur pelayaran pada masa lalu, kini telah membentuk budaya yang unik dan khas, termasuk produk kulinernya," ujar Amanda Katili Niode, ketua Yayasan Omar Niode Foundation.

Wanita Gorontalo ini menjadi orang Indonesia pertama yang mendapat Sertifikat Profesi Wisata Kuliner (Certified Culinary Travel Professional) dari World Food Travel Association.

Sumber: DetikFood, 16 Maret 2018

LINTAS WISATA (LIGO) – Rempah-rempah, kuliner dan wisata Gorontalo kini menjadi idola dan tujuan wisatawan berkunjung ke Gorontalo. Hal ini ungkapkan langsung oleh Amanda Katili saat melakukan pertemuan dengan Sekdaprov Winarni Monorfa di Rumah Dinas Gubernur Gorontalo, Sabtu (09/03/2018).

Amanda yang diwawancarai Lintasgorontalo.com usai pertemuan tersebut mengatakan bahwa tujuannya bersama rombongannya adalah untuk menjelajahi kuliner dan budaya Gorontalo.

“Kami bersama rombongan, niatnya ingin menjelajah budaya Gorontalo dan kulinernya melalui kegiatan jalur rempah. Kita tau bersama bahwa, Gorontalo memiliki rempah-rempah yang baragam melalui kulinernya. Dan kami ingin mengenal itu. Selain itu Wisata Gorontalo juga menjadi tujuan kami berkunjung ke Gorontalo. Pulau Cinta, Saronde dan wisata alam Dulamayo juga akan menjadi tujuan kami,” Tuturnya.

Dijelaskan Oleh pimpinan Omar Taraki Niode Foundation ini, selain Maluku, Ternate dan Tidore. Gorontalo juga merupakan salah satu jalur rempah terbaik di Indonesia. Sehingga melalui program Jelajah Cita Rasa Gorontalo, Omar Niode Foundation yang bekerjasama dengan Yayasan Negeri Rempah akan melakukan perjalanan 3 hari 2 malam di Gorontalo.

“Dan memang yang mengikuti perjalanan ini ada dari berbagai kelompok. Ada dari Media Nasional seperti Kompas, Detik.com, MNC Media, Pakar Logistik Nasional, Event Organizer internasional dan Tim komunikasi Presiden. Jadi memang ini kelompok beragam,”Ungkap Amanda.

“Mereka disini sangat menikmati perjalanan di Gorontalo. Kami juga berterimakasih kepada Ibu sekda dan Ibu Gubernur yang sudah memberikan dukungan kepada kami,”Lanjut Amanda.

Terkait dengan kegiatan dari rombongan Ibu Amanda Katili. Sekdaprov Prof. Winarni Monoarfa berharap melalui kunjungan kuliner jalur rempah ini Gorontalo akan makin dikenal.

“Salah satu program daerah yakni program pariwisata. Jadi saya pikir dengan kehadiran rombongan ini yang khusus menjelajah rempah-rempah bisa menjadi peluang bagi kita untuk memperkenalkan daerah wisata kita yang ada di Gorontalo. Dan semoga juga wisatawan mancanegara dapat berkunjung ke Gorontalo, yang nantinya ini akan berdampak pada pertumbuhan percepetan kesejahteraan masyarakat Gorontalo,”ungkap Winarni.

Sumber : Woww...!! 3 Hari 2 Malam Rombongan Ini Akan Jelajahi Kuliner Gorontalo - LIGO.ID

Yayasan Negeri Rempah bekerja sama dengan Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), memperkenalkan jejak sejarah perdagangan rempah di Nusantara dengan menyelenggarakan pameran dan diskusi berjudul 'Rempah & Kita'.

Sebenarnya (yang ada di pameran) ini hanya bagian kecil saja. Mungkin sekarang orang-orang taunya rempah itu hanya di dapur, padahal ceritanya jauh lebih seru. Bahkan asal mula kolonialisme di Indonesia itu juga berasal dari rempah," ujar Dian Sulityowati, kurator acara 'Rempah & Kita'.

Ketua Yayasan Negeri Rempah, Bram Kushardjanto mengatakan ada beragam potensi untuk dikembangkan dari jejak rempah di Indonesia, salah satunya dari sisi pariwisata. Kepada CNNIndonesia.com ia mengatakan, saat ini Kementerian Pariwisata (Kemenpar) mulai menyusun jalur wisata rempah lewat aspek kuliner, yang rencananya bakal diresmikan pada tahun 2020.

"Kalau Kemenpar itu lokomotifnya kuliner. Ada beberapa daerah di Indonesia yang akan difokuskan untuk wisata rempah seperti Ternate, Gorontalo, Maluku, Aceh, Banajarmasin, Bali, Banten, dan Jakarta," ujar Bram.

Sementara itu, Ketua Departemen Arkeologi FIB UI Ninie Susanti, memandang bahwa daerah-daerah yang terkenal akan rempahnya bisa dibuatkan paket wisata sejarah, budaya, hingga religi. Tentunya hal itu harus dibuat sekreatif mungkin, agar bisa anak muda bisa tertarik. Masyarakat di daerah yang kaya rempah juga akan mendapat keuntungan ekonomi dari banyaknya turis yang datang untuk berwisata jalur rempah.

Dikutip dari: CNN Indonesia, 2 Maret 2018

WARTA KOTA, KEBAYORAN LAMA-Sebuah pameran bertema langka digelar di pusat perbelanjaan Bellezza Shopping Arcade di bilangan Permata Hijau, Jakarta Selatan.

Para pegiat budaya dan sejarawan, mengelar pameran yang berisi napak tilas kejayaan rempah di Indonesia. Pameran ini mulai 1 Maret hingga 16 Maret 2018.

Dalam pameran ini, disajikan informasi mengenai periode sejarah masuknya bangsa asing ke Nusantara untuk menemukan rempah-rempah.

Disajikan pula beragam tanaman rempah seperti lada, kunyit, pala, cengkeh sebagai media edukasi untuk pengunjung.

Ahmad Taufik Zainal, Sekertaris Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS) Belleza, mengatakan, ada beberapa tujuan dalam kegiatan pameran yang mengangkat rempah Nusantara ini.

"Kami ingin membangkitkan kembali ingatakan bahwa Indonesia pernah menjadi primadona di dunia dan negara Eropa. Ibarat gadis cantik, kita jadi rebutan bangsa-bangsa besar saat itu," kata Zainal.

Zainal mengatakan, pameran ini juga sebagai bentuk komitmen manajemen Bellezza untuk berkontribusi melestarikan budaya bangsa kepada generasi muda.

"Ini bentuk kehadiran Bellezza di masyarakat yang ingin berkontribusi untuk bangsa ini dengan mengabadikan lagi sejarah besar bangsa yang pernah ada," kata Zainal.

Zainal mengatakan, selain pameran, sejumlah acara menarik lain akan disajikan seperti diskusi interaktif dan talkshow.

Sejumlah pegiat sejarah dan budaya serta tim dari Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia juga siap memberikan informasi kepada pengunjung yang hadir.

Untuk itu, ia mengundang masyarakat untuk datang ke Bellezza Shopping Arcade agar bisa mendapatkan informasi lebih rinci mengenai sejarah rempah-rempah Indonesia.

"Sasaran pameran ini sebenarnya untuk semua kalangan, dari anak-anak hingga orang tua. Karena ini merupakan sejarah penting bangsa kita, yang bisa membuat kita makin bangga terhadap negeri ini," katanya.

Salah satu pengunjung, Fari (38), mengapresiasi digelarnya pameran rempah-rempah ini.

Ia mengatakan, di tengah hiruk-pikuk gejolak yang akhir-akhir ini terjadi di masyarakat, penting untuk tetap mengingati sejarah bangsa.

"Saat ini masyarakat disajikan dengan berita-berita politik, perdebatan soal ekonomi atau isu SARA. Pameran ini jadi hiburan segar yang tentunya bisa menambah pengetahuan kita," katanya.


Artikel ini telah tayang di WartaKotalive.com 

https://wartakota.tribunnews.com/2018/03/01/informasi-mengenai-masuknya-bangsa-asing-ke-nusantara-melalui-pameran-ini?page=2.
Penulis: Feryanto Hadi 

Sebuah pameran bertema langka digelar di pusat perbelanjaan Bellezza Shopping Arcade di bilangan Permata Hijau, Jakarta Selatan. Para pegiat budaya dan sejarawan mengelar pameran yang berisi napak tilas kejayaan rempah di Indonesia. Pameran ini dimulai dari 1 Maret hingga 16 Maret 2018.

Bram Kushardjanto, Ketua Yayasan Negeri Rempah mengatakan bahwa kehadiran pameran ini tidak luput dari kepedulian terhadap rempah yang telah mencatatkan sejarah penting bagi perjalanan bangsa ini. Bram mengatakan, rempah dari Indonesia pada masa lampau menjadi semacam harta karun yang terus diburu oleh bangsa-bangsa besar saat itu. Sejumlah peperangan besar yang termaktub dalam catatan sejarah dunia juga terjadi akibat perebutan rempah di Nusantara, khususnya di pulau-pulau di wilayah perairan Maluku.

"Kami hanya ingin mengingatkan kembali kepada masyarakat, khususnya generasi muda, bahwa bangsa kita dahulu pernah jadi perhatian seluruh pelosok dunia karena keberadaan rempah," kata Bram.

Bram mengatakan, dulu segenggam pala sudah bisa membiayai ekspedisi Eropa Indonesia karena saking mahalnya.

"Penjajah pada masa itu melihat rempah-rempah seperti emas. Bayangkan nilainya rempah-rempah seperti emas yang sangat bernilai. Mereka mengeruk dan dijual dengan harga mahal di pasar dunia," kata Bram.

Bram mengatakan, dalam pameran bertajuk 'Rempah Dalam Geliat Kebudayaan Indonesia' ini, generasi penerus bangsa diharapkan bisa mengenal rempah-rempah sebagai hasil kekayaan bangsa Indonesia.

"Sebab, karena rempah-rempah, negara kita dijajah. Karena rempah pula, tercipta sejarah-sejarah tak terlupakan yang menjadi bagian penting perjalanan negara ini," kata dia.

Bram mengatakan, pameran serupa sudah dilakukan pihaknya sejak tahun 2015 lalu sebagai bentuk informasi dan edukasi kepada masyarakat.

"Kami ingin mengingatkan kembali melalui cara yang berbeda. Sebab faktanya, kebanyakan sejarah masa dulu dijelaskan oleh guru-guru secara monoton. Jadi mungkin anak-anak tidak begitu tertarik untuk mendalaminya," katanya.

 

Sumber: Warta Kota, 1 Maret 2018

JAKARTA - Indonesia sebagai negara adibudaya menurut UNESCO, memiliki keragaman budaya yang juga saling terhubung dengan budaya lain di dunia melalui perlintasan jalur rempah, terutama pada era pra-kolonial. Untuk membangun memori kolektif dan pemahaman antar-budaya lintas batas negara ini, Yayasan Negeri Rempah bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan menyelenggarakan kegiatan International Forum on Spice Route 2020 pada 21-24 September 2020. Nantinya akan ada bincang secara online atau daring yang menghadirkan narasumber pakar ilmu pengetahuan dari berbagai negara serta perwakilan negara sahabat di Jakarta. Juga pidato pembuka Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hilmar Farid serta pembicara utama mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda yang kini menjadi Penasihat Yayasan Negeri Rempah. “Dalam diskusi itu nantinya kita berusaha menggali dan mengumpulkan lebih banyak lagi bukti dan temuan-temuan yang menegaskan bahwa Indonesia ini dulunya memang pernah menjadi penghasil dan pemasok komoditas rempah-rempah dunia,” tutur Ketua Yayasan Negeri Rempah Bram Kushardjanto dalam media briefing daring menjelang kegiatan IFSR 2020, Sabtu (19/9/20). Sementara panitia pelaksana, Kumoratih Kushardjanto menyebutkan di hari pertama kegiatan atau Senin 21 September 2020, pembicara yang akan tampil, yakni Ketua Pusat Penelitian Perubahan Iklim Universitas Indonesia (UI), Prof Jatna Supriatn dan Prof Dr Iwan Pranoto (Institut Teknologi Bandung), Prof Dr Hilman Latief (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), Dr Dedi S Adhuri (LIPI), Yasoja Gunasakera (Duta Besar Sri Lanka), dan HE Radeep Kumar Rawat (Duta Besar India).(Baca juga: Nasir Djamil: Kalau Ingin Selamatkan Rakyat, Tolong Pilkada Ditunda ) Kemudian, di hari kedua akan hadir Direktur Direktorat Pembinaan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbud Dr Restu Gunawan, Wawan Sujarwo (LIPI/Masyarakat Etnobiologi Indonesia/PMEI).

Dalam diskusi panel dengan topik bahasan Rute Rempah: Perspektif Asia Tenggara, akan tampil Ariel C Lopez (Asian Center, Universitas Filipina), Prima Nurahmi Mulyasari MA (LIPI), Marina Kaneti (Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew, Singapura), dan Dewi Kumoratih (Yayasan Negeri Rempah/Universitas Bina Nusantara) Lalu, diskusi panel dengan tema Mengunjungi kembali 'Rute Rempah-rempah' melalui Ruang dan Waktu, di sesi pertama akan tampil Prof Dr Vishva Nath Attri (Studi Samudera Hindia, Asosiasi Lingkar Samudera Hindia), Azad Hind Nanda PhD (Universitas Nalanda, India), dan Maulana Ibrahim PhD (Universitas Khairun, Ternate, Indonesia). Di sesi kedua diskusi tampil Andrea Acri PhD(Ecole Pratique des Hautes Etudes, Universitas PSL, Prancis), Dr Annabel Teh Gallop FBA (Perpustakaan Inggris, Inggris), Tom Hoogervorst PhD (Universitas Leiden, Belanda), dan Dave Lumenta PhD (Jurusan Antropologi Universitas Indonesia). Selanjutnya di hari ketiga, tampil sebagai pembicara Letjen TNI Purn Dr Nono Sampono (Wakil Ketua DPD RI), Kaisar Akhir (Ketua Maritim Muda Nusantara), Dr Junus Satrio Atmodjo (Yayasan Negeri Rempah), Ratna Dewi (Seloko Institut/WWF Jambi), M Ridwan Alimuddin (Ekspedisi Bumi Mandar-Perahu Pustaka), Widjanarka Arka (Universitas Palangkaraya), Tjahyo Suprayogo (Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca), I Gusti Putu Ngurah Sedana (Museum Samudera Raksa), dan Siswanto MA (Museum Nasional). Kemudian, Dicky Soeria Atmadja (ICOMOS Indonesia), Edy Setijono (TWC Borobudur), Irfan Nugraha MHan (Yayasan Negeri Rempah, Universitas Indonesia), Kocu Andre Hutagalung (CEO IndonesiaRe), Ibrahim Kholilul Rochman (Samudera Indonesia Research Initiative), Prof Rokhmin Dahuri (Institut Pertanian Bogor), Dr Safri Burhanuddin (Kemenko Kemaritiman dan Investasi), Jajang Gunawijaya (Lembaga Pengembangan dan Penelitian Sosial Politik, Universitas Indonesia), Prof Dietrich G Bengen (Institut Pertanian Bogor), dan Isyak Meirobi (Wakil Bupati Belitung). Sementara di hari keempat, tampil sebagai pembicara Dr Thukul Rameyo Adi (Kemenko Kemaritiman dan Investasi), Agus Saptono (Konsul Jenderal RI, Mumbai, India), Effiati Aryoko (Asosiasi UMKM Kosmetik Herbal), Peter Wijayanto (Palem Mustika), Yanuardi Syukur (Yayasan Negeri Rempah, Pendiri Rumah Produktif Indonesia), Prof Dr Sujiwo Pramono (Dewan Rempah Indonesia), Dr Hardadi Airlangga (Ketua Perhimpunan Dokter Nahdlatul Ulama), Prof Asep Suganda (Dewan Rempah Indonesia), dan Fitriana Hayyu Arifah (Perhimpunan Masyarakat Etnobotani Indonesia) Lalu, Rahman Sarwono (Jamu Borobudur), Sigit Ismayanto (Asosiasi UMKM Jamu), Nuning S Barwa (Dewan Rempah Indonesia), Nova Dewi Setiabudi (Suwe Ora Jamu), Joni Yuwono (Acaraki), Sari Wulandari (Yayasan Negeri Rempah, Universitas Bina Nusantara), Puji Harsono (pakar numismatik), JJ Rizal (sejarawan), Winarni Soewarno (Museum Bank Indonesia), Irfan Nugraha dan (Yayasan Negeri Rempah, Universitas Indonesia).

Sumber: https://nasional.sindonews.com/read/170206/15/pakar-dan-tokoh-bahas-jalur-rempah-nusantara-di-ifsr-2020-1600531740?showpage=all