Tidak bisa dipungkiri jika salah satu alasan lezatnya aneka makanan tradisional Indonesia adalah karena menggunakan ramuan berbagai jenis bumbu rempah. Untuk satu jenis masakan tradisional saja, paling sedikit menggunakan 4-5 jenis rempah.
Menurut Kumoratih Kushardjanto, Executive Director Negeri Rempah Foundation, tanaman rempah memang tumbuh sangat subur di Indonesia.
“Menurut data dari Plant Resources of South-East Asia, sekitar 400-500 spesies rempah yang sudah teridentifikasi dalam skala global, setidaknya ada 275 spesies tanaman rempah yang tumbuh di Asia, termasuk Indonesia,” kata Ratih saat ngobrol bersama Goodlife.
Makanya, gak heran jika makanan tradisional di berbagai daerah di Indonesia juga dimasak menggunakan rempah-rempah beraneka macam. Bahkan sampai ada yang menggunakan hampir 40 jenis rempah untuk satu jenis makanan tradisional.
“Kalau buat saya, makanan berempah yang luar biasa menarik dan saya suka banget, comfort food buat saya, itu tabu moitomo (makanan khas Gorontalo, Sulawesi Utara yang memiliki nama lain Kuah Bugis). Ada 38 rempah yang dimasukkan untuk membuat tabu moitomo, mulai dari kayu manis, cengkeh, kunyit, jahe, ketumbar, jinten. Kuahnya berwarna hitam bukan dari kluwek tapi dari kelapa yang disangrai. Rasanya sangat rich, gurih, dan sangat enak,” cerita Ratih.
Menurut Ratih, semua makanan tradisional Indonesia memang menggunakan rempah. “Tapi menurut saya, ada lebih dari 30 rempah dalam satu masakan, itu luar biasa menarik. Meski terbuat dari berbagai macam rempah, rasanya menyatu dan sangat lezat.”
Tabu moitomo hanya salah satu dari sekian banyak makanan khas daerah yang menggunakan banyak rempah. Makanan tradisional lainnya yang juga menggunakan banyak jenis rempah sebagai bumbunya antara lain rendang, coto Makassar, mi Aceh, rawon, soto Banjar, atau sambal goreng.
“Artinya, bahwa seni kuliner nusantara itu bumbunya memang sudah kaya. Bahkan makanan sesederhana sayur bening aja pakai rempah, sayur sop ada rempahnya juga. Semua masakan Indonesia tidak terlepas dari rempah,” ujar Ratih yang juga seorang dosen ini.
Melihat banyaknya rempah yang dipakai pada makanan tradisional Indonesia membuat makanan tersebut memiliki khasiat kesehatan bagi tubuh. Setiap satu jenis rempah saja sudah memiliki khasiat bagi kesehatan.
Misalnya kunyit bermanfaat untuk melawan peradangan yang menyebabkan berbagai penyakit kronis, kayu manis si pengendali gula darah, biji pala melawan radikal bebas, jahe si penghangat tubuh dan pereda mual, ketumbar berpotensi menjaga kesehatan jantung, cengkeh melawan bakteri dan bisa menjaga kesehatan mulut, hingga serai yang bisa menurunkan kolesterol dan asam jawa yang bisa memperlancar sistem pencernaan.
Sahabat Goodlife pasti sudah terbayang dong bahwa dengan aneka rempah yang dipakai tadi tentu makanan khas Indonesia menyehatkan.
Sayangnya, tak sedikit juga yang beranggapan makanan tradisional Indonesia kurang sehat karena menggunakan minyak atau santan. Hal ini juga gak luput dari perhatian Ratih, sebagai founder Negeri Rempah Foundation yang mendirikan yayasan tersebut dengan tujuan agar masyarakat semakin mengenal dan mencintai rempah Indonesia, yang dahulu kala pernah menjadi komoditas utama negara ini.
“Saya juga pernah bertanya pada salah satu teman yang melakukan penelitian. Misalnya di Minang, Sumatra Barat. Kuliner di sana bumbunya kaya rempah, seperti rendang. Ada yang bilang ‘kok kalau mereka pola makannya seperti itu (suka makan rendang) sejak dulu dari masa ke masa tapi mereka gak pernah punya masalah dengan kolesterol dan penyakit-penyakit lainnya.’ Teman saya yang melakukan pengamatan tadi pernah dengar bahwa justru penangkalnya ada di dalam bahan rempah-bahan yang sudah diramu dalam bumbu masakan itu.”
Ratih kemudian sempat bertanya pada dokter tentang hal ini. “Kolesterol segala macam, sebetulnya itu mulai terjadi ketika gaya hidup kita mulai berubah. Kalau orang dulu kan habis makan yang seperti itu, sudah tertangkal oleh rempah yang juga sudah menjadi bagian dari masakan itu, jadi lebih sehat. Kemudian gaya hidupnya juga masih mencangkul ke sawah, masih jalan kaki, jadi balance,” pungkasnya.
Gaya hidup itu tentu sudah sangat berbeda dengan kehidupan di zaman sekarang, yang sangat kurang bergerak karena bekerja di belakang meja dan duduk sepanjang waktu. “Kita jadi gak banyak bergerak. Perubahan itu akhirnya juga terkait bagaimana kita bergerak, beraktivitas, kita jarang berolah raga. Padahal yang kita makan sama, tapi efeknya berbeda karena perubahan pola hidup tadi,” jelas Ratih.
Ratih berharap semakin banyak orang yang mencintai makanan tradisional yang kaya rempah, akan menimbulkan ketertarikan untuk mereka semakin mengenal dan mempelajari tentang sejarah jalur rempah, di mana Indonesia pernah menjadi poros perdagangan rempah di masa lampau. Apalagi jalur rempah ini akan dinominasikan sebagai warisan dunia. “Itu menjadi challenge semua orang di Indonesia untuk belajar lagi agar rempah jadi tuan rumah di negerinya sendiri,” ujar Ratih. (Sri Isnaeni)
Sumber: Gunakan Banyak Rempah, Makanan Tradisional Indonesia Ternyata Sehat | GOODLIFE
Selengkapnya
Pembelajaran sejarah jalur rempah sendiri nantinya akan diusulkan ke dalam nominasi Warisan Budaya Dunia UNESCO jika memenuhi syarat, di mana sejarah rempah harus punya nilai universal. Sebagai perpanjangan tangan usaha tersebut, organisasi non-profit Yayasan Negeri Rempah turut menghadirkan pameran virtual 3D bertajuk "Semesta Rempah."
"Semesta Rempah adalah ruang publik untuk memahami sejarah rempah. Kami membangun ruang ini secara swadaya dengan dukungan berbagai elemen komunitas," ungkap Ketua Yayasan Negeri Rempah, Kumoratih Kushardjanto dalam jumpa pers daring, Selasa, 27 Oktober 2020.
Pameran virtual ini rencananya rilis pada 16 November 2020 mendatang, dan akan berjalan hingga satu tahun, tepatnya berakhir pada 31 Desember 2021.
"Kita akan membuat virtual exhibition yang kita harapkan dapat menggandeng komunitas dan stakeholders yang juga mendukung program Jalur Rempah," ungkap Bram Kushardjanto, Dewan Peneliti Yayasan Negeri Rempah.
"Progam ini sifatnya sustainable. Jadi, mungkin setiap bulan akan bertambah atau berubah (fiturnya). Selama satu tahun nonsetop kita akan lakukan pengembangan di fitur tersebut," tambahnya.
Jejak rempah Nusantara melalui esensi buku Negeri-negeri di Bawah Angin nantinya dapat diakses di ruang virtual 3D melalui laman negerirempah.org. Bakal ada ragam hasil kolaborasi dengan jaringan museum di Indonesia, yang kelak juga akan diperkaya dengan museum di kawasan Asia dan Afrika.
Fitur ruang virtual 3D ini berisi Jaringan Masyarakat Negeri Rempah dan komunitas fotografer. Dilengkapi pula fitur Teater Terbuka Rempah berisi video yang akan menayangkan koleksi video seluruh pemangku kepentingan secara bergantian.
Sementara itu, area rempah masa depan bakal memuat riset komunitas dan laboratorium rempah seluruh Indonesia, beserta pemain industri besar yang memanfaatkan hasil riset laboratorium tersebut.
Bram juga menyampaikan bahwa semua fitur Semesta Rempah dapat diakses menggunakan Virtual Reality (VR) box, menjadikan pengalaman lebih nyata saat 'berkunjung' ke pameran.
"Tapi, itu kelemahannya memang masih pada bandwidth. Untuk itu, kita berupaya agar bisa bekerja sama dengan beberapa venue yang bersedia menyediakan bandwidth untuk mendukung ini," ungkapnya.
Proyek ini terbuka untuk kolaborasi, dan semua fitur, termasuk sejumlah permainan menarik di dalamnya, dapat diakses masyarakat umum. Hal ini dilakukan demi mengembangkan dan mendistribusikan pengetahuan sejarah rempah Indonesia.
"Narasi Jalur Rempah sebenarnya milik kita bersama. Apa yang bisa kita lengkapi, apa yang bisa dikontribusikan untuk penyebaran pengetahuan sejarah jalur rempah, tentu bisa meningkatkan tradisi belajar kita bersama. Saya pikir ini bisa jadi momen belajar bersama," tutup Kumoratih. (Brigitta Valencia Bellion)
JAKARTA - Diplomasi ternyata tidak hanya mengenai kata-kata, dialog, atau pertukaran. Setidaknya itu yang tercermin dari International Forum on Spice Route (IFSR) 2020, yang digelar akhir September lalu. Forum yang diinisiasi Yayasan Negeri Rempah ini berhasil mempertemukan banyak pihak, baik dari dalam maupun luar negeri melalui kebudayaan. “Sesederhana kue kembang goyang, cucur gula merah, dan acar kuning, yang disebut oleh duta besar Sri Lanka di Indonesia sebagai pengaruh atas penganan kokis, kavum, dan achcharu. Hingga kerumitan tarif dan tata niaga rempah antarnegara. Rasa lapar dan dahaga yang sama berhasil membuat lebih dari 1.000 peserta meluangkan waktu, mereka bergabung di forum ini,” kata Ketua Dewan Pengurus Yayasan Negeri Rempah Kumoratih Kushardjanto, yang juga panitia pelaksana IFSR 2020 ini.
Dalam forum ini, lebih dari 60 topik disampaikan oleh para pakar yang berbeda sesuai dengan bidang keahliannya. Mulai topik-topik besar seperti perubahan iklim yang tentunya membutuhkan kerja sama antarbangsa untuk menyiasatinya demi kepentingan bersama. Hingga topik-topik khas seperti setan gundul atau tuyul yang berkaitan dengan persepsi lokal terhadap nilai keekonomian, yang pada akhirnya menjadi topik menarik jika diperbincangkan antarbangsa dalam konteks mencari kesamaan unsur-unsur budaya dari bangsa lain. “Beragam peluang tersodorkan dengan menghubungkan pihak-pihak terkait dalam rangkaian pemanfaatan rempah. Dari produsen rempah dan UMKM hingga konsul jenderal Indonesia di negara lain. Juga dari para peneliti dan pelaku industri produk rempah baik di dalam maupun di luar negeri,” kata Kumoratih. Bagi penyelenggara, forum ini memberikan kesadaran bersama bahwa diplomasi kebudayaan tidak hanya sebuah kesempatan untuk memproyeksikan nilai-nilai kita sendiri, namun juga membuka peluang untuk bisa mengerti dan pada akhirnya menerima masukan nilai-nilai dari komunitas atau bangsa-bangsa lain. “Sebuah dialog yang tanpa henti. Ulasan dari berbagai media di dalam maupun luar negeri membesarkan hati, bahwa topik mengenai rempah telah semakin menjadi arus utama,” ujar Kumoratih. Namun, kata Kumoratih, pihaknya juga sadar bahwa kegiatan ini bukan tanpa kekurangan. Tindak lanjut berupa penyusunan buku tentang apa dan bagaimana diplomasi budaya, menggunakan hasil dari acara ini sebagai masukan, tapi tetap membuka diri untuk perbaikan ke depannya.
“Rangkaian acara berikutnya segera dipersiapkan untuk menuju International Forum on Spice Route 2021, dengan harapan untuk dapat melibatkan topik maupun peserta yang lebih beragam. Tentunya untuk merangkai kerja sama dalam kesetaraan di dalam Jalur Rempah,” . Sekadar diketahui, International Forum on Spice Route (IFSR) merupakan program inisiatif Yayasan Negeri Rempah yang diselenggarakan setiap tahun. IFSR 2020 merupakan forum atau pertemuan kedua, di mana IFSR pertama dilaksanakan pada 2019. Sebelum pelaksanaan IFSR pertama dan kedua, Yayasan Negeri Rempah sudah banyak sekali melakukan berbagai program terkait narasi besar Jalur Rempah, mulai dari diskusi ringan, workshop, seminar, hingga Jelajah Negeri Rempah pada 2018. IFSR 2020 terselenggara berkat dukungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Bank Indonesia, IndonesiaRe, Samudera Indonesia, Jamu Borobudur, The British Council, Leiden University, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Maritim Muda Nusantara, dan para sukarelawan dari berbagai komunitas yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Negeri Rempah. (Neneng Zubaidah/Hendri Irawan)Sumber: https://nasional.sindonews.com/read/189480/15/merajut-kesetaraan-lewat-international-forum-on-spice-route-1602115842
KOMPAS.com – Sejak ribuan tahun lalu, nusantara terkenal sebagai wilayah yang kaya akan rempah-rempah. Inilah kenapa ada istilah jalur rempah.
Jalur rempah adalah jalur komoditas rempah yang melintasi banyak area dan pelabuhan di dunia, terutama dari wilayah nusantara barat melintasi Asia, Afrika, hingga Eropa.
Hingga kini, jalur rempah meninggalkan warisan untuk kehidupan masyarakat Indonesia dan dunia.
Diberitakan Kompas.com sebelumnya, Yayasan Negeri Rempah meyakini bahwa Indonesia berperan penting dalam perekonomian dunia. Tanah Air kita pun menjadi tempat strategis sebagai jalur maritim dunia.
Bram Kushardjanto dari Yayasan Negeri Rempah dalam Media Brief International Forum on Spice Route (ISFR) secara daring, pada Sabtu (19/9/2020) mengatakan bahwa Indonesia menjadi penghubung antara Asia Timur, Asia Selatan, Timur, Tengah, hingga Eropa.
Sejak ratusan tahun lalu, rempah-rempah di Asia Tenggara menjadi sumber komoditas paling penting dan dicari banyak negara.
Seperti kita tahu, awal mula penjajahan di Indonesia karena bangsa lain melirik Tanah Air kita yang kaya akan rempah.
“Meski para pedagang Eropa banyak yang mengeksplorasi laut untuk mencari rempah-rempah. Tetapi Penjelajahan Samudera Eropa mencari rempah-rempah terkait dengan penjajahan (kolonialisme),” kata Bram.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun tengah menargetkan jalur rempah Indonesai sebagai warisan dunia atau world heritage ke UNESCO.
Dikatakan Prima Nurahmi Mulyasari, peneliti Gastrodiplomasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ( LIPI) dalam acara ISRF hari Selasa (22/9/2020), hingga hari ini Indonesia masih menjadi penghasil komoditas rempah paling menonjol.
“Produk rempah unggulan Indonesia antara lain lada, pala, cengkeh, bunga pala atau bunga lawang, dan sebagainya,” kata Prima dalam sesi Webinar.
Hingga kini, produk rempah tersebut masih diekspor ke banyak negara, terutama Inggris, Jerman, Belanda, Singapura, dan Jerman.
Prima menyebut, di masa sekarang rempah berguna untuk mempromosikan makanan, seni, dan kebudayaan asli Indonesia.
” Makanan dapat menjadi instrumen yang membentuk pemahaman lintas budaya dengan meningkatkan interaksi dan kerjasama internasional,” imbuh dia.
Makanan Indonesia yang kaya akan rempah berperan sebagai “penghubung” antar negara, terutama diplomasi publik dan budaya.
Hal ini bisa terwujud salah satunya berkat diaspora Indonesia atau orang Indonesia perantauan yang menetap di negara dan budaya lain.
Banyak penduduk Indonesia yang terpaksa meninggalkan tanah air ketika masa penjajahan dan tinggal di Belanda. Mereka inilah yang disebut Diaspora Indonesia.
Ada banyak diaspora Indonesia yang membuka usaha kuliner khas nusantara di tanah rantau.
Makanan khas Indonesia pun sudah diperkenalkan sejak awal tahun 1900-an oleh orang-orang Indonesia di Belanda.
Dikatakan Prima, pada tahun 1919 resep memasak nasi goreng dengan bahan ketumbar, jinten, laos, sereh, dan udang dimuat dalam surat kabar Belanda.
Sejak saat itu, nasi goreng menjadi salah satu makanan khas Indonesia yang sangat dikenal di Belanda.
“Beberapa dekade setelah Perang Dunia II, Belanda mengalami perubahan luar biasa dan makanan Indonesia menjadi lebih terkenal. Bagaimanapun, ini bukan sesuatu yang mudah,” kata Prima.
Sejak saat itu, makanan Asia seperti kari, dendeng ati, sambal, nakmi, dan lumpia mulai populer di negeri kincir angin.
Prima menyampaikan, secara historis makanan menjadi penghubung lintas budaya dan geografis. Sebut saja perdagangan rempah di masa lalu yang melintasi benua.
Hubungan Indonesia dan Belanda lewat makanan, misalnya. Kita dapat memperkenalkan budaya dan apa yang kita miliki kepada bangsa lain.
Kisah jalur rempah bukan hanya dinamika sosial-politik di masa lalu.
Dalam konteks Indonesii saat ini, Prima menyebut rempah-rempah dan makanan Indonesia terkait dengan dinamika masa depan.
The Spice Route Foundation and the Ministry of Education and Culture of the Republic of Indonesia hosted the 2nd International Forum on Spice Route (IFSR) : Celebrating Diversity and Intercultural Understanding through “Spice Route” virtually from 21 – 22 September 2020 in Jakarta, Indonesia. This international forum aims to broaden the opportunities for cross-border and cross-cultural dialogue in revisiting the Spice Route as common heritage which explores various possibilities for international cooperation.
Ambassador of Sri Lanka to Indonesia Yasoja Gunasekera and ASEAN participated in a “Panel discussion with the diplomats” which included, former Foreign Minister of Indonesia and Chairman of the Spice Route Foundation Dr. Hassan Wirajuda and Ambassador of India to Indonesia Pradeep Kumar Rawat on 21 September 2020, at which it was highlighted that Sri Lanka, India and Indonesia were key players in ancient trade routes between the Indian and Pacific Oceans.
Ambassador Gunasekera noted that in ancient times, Sri Lanka enjoyed a central position in all the main sea routes of Asia, including the Spice Route, and served as the greatest emporium in those parts and that in the modern age, President Gotabaya Rajapaksa has stated that Sri Lanka should use its unique locational advantage to become one of the world’s leading maritime hubs. The President has directed that Ports in Colombo, Galle, Trincomalee, Kankesanthurai and Oluvil should be developed.
Historical relations between Sri Lanka and the countries of South East Asia span thousands of years and began as a result of maritime trade between China and the West. Sri Lanka spread Buddhism to the coastal lands of Southeast Asia and influenced Myanmar, Cambodia; Vietnam; Thailand and Laos to embrace the Theravada school of Buddhist thought which is practiced in Sri Lanka.
Ambassador Gunasekera further noted an important example of Sri Lanka’s socio-cultural relationship with South East Asia is the role played by Sri Lankan Malay community in the history and diversity of Sri Lanka. The Malay influence on culture in Sri Lanka includes Batik, Rattan weaving and Lace making as well as making influence in the rich tapestry of cuisine enjoyed in Sri Lanka. Food such as ‘kokis’, ‘kavum’ and ‘Achcharu’ originated from Indonesia.
Embassy of Sri Lanka
Sumber: Sri Lanka participates in 2nd International Forum on Spice Route – Ministry of Foreign Affairs – Sri Lanka (mfa.gov.lk)
KOMPAS.com - Sejak ribuan tahun lalu, nusantara terkenal sebagai wilayah yang kaya akan rempah-rempah. Inilah kenapa ada istilah jalur rempah.
"Meski para pedagang Eropa banyak yang mengeksplorasi laut untuk mencari rempah-rempah. Tetapi Penjelajahan Samudera Eropa mencari rempah-rempah terkait dengan penjajahan (kolonialisme)," kata Bram.
Dikatakan Prima Nurahmi Mulyasari, peneliti Gastrodiplomasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam acara ISRF hari Selasa (22/9/2020), hingga hari ini Indonesia masih menjadi penghasil komoditas rempah paling menonjol.
"Produk rempah unggulan Indonesia antara lain lada, pala, cengkeh, bunga pala atau bunga lawang, dan sebagainya," kata Prima dalam sesi Webinar.
"Makanan dapat menjadi instrumen yang membentuk pemahaman lintas budaya dengan meningkatkan interaksi dan kerjasama internasional," imbuh dia.
Makanan Indonesia yang kaya akan rempah berperan sebagai "penghubung" antar negara, terutama diplomasi publik dan budaya.
"Beberapa dekade setelah Perang Dunia II, Belanda mengalami perubahan luar biasa dan makanan Indonesia menjadi lebih terkenal. Bagaimanapun, ini bukan sesuatu yang mudah," kata Prima.
Penulis: Gloria Setyvani PutriEditor: Gloria Setyvani Putri
Sumber: Menilik Pentingnya Jalur Rempah Indonesia dan Interaksi Budaya Dunia | Kompas.com | LINE TODAY
TEMPO.CO, Yogyakarta - Jalur rempah nusantara yang sudah terbentuk sejak masa pra-kolonial, telah memberi identitas baku bagi Indonesia sebagai negeri terkaya di bumi ini.
Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hilmar Farid mengungkapkan, pemerintah Indonesia sejak 2016 secara tersistematis mulai menggelar studi dan penelitian mengenai jalur rempah nuasantara itu.
“Jalur rempah hanya mungkin dipahami dengan adanya komunikasi lintas disiplin,” ujar Hilmar saat membuka International Forum on Spice Route 2020, melalui diskusi webinar Senin 21 September 2020.
Hilmar menuturkan, penelitian jalur rempah nusantara telah merangkum jejak sejarah nusantara dengan sangat baik. Tidak hanya untuk kebutuhan ilmiah, tapi jalur rempah juga menjadi saranan untuk mengetahui lebih jauh identitas kultural bangsa. Untuk menerjemahkan Bhineka Tunggal Ika dengan berbagai dinamikanya.
Ketua Dewan Pembina Yayasan Negeri Rempah Hassan Wirajuda dalam forum itu mengatakan, bumi nusantara Indoensia secara geopolitik dan ekonomi sangat strategis karena diapit dua benua dan dua samudra. Kondisi tersebut secara geografis dari dulu sampai sekarang tidak banyak mengalami perubahan.
“Seribu tahun sebelum kedatangan bangsa Eropa ke bumi nusantara, dua samudera – Hindia dan Pasifik -- beserta daratannya adalah kawasan yang damai, secara ekonomis kaya bahkan menjadi pusat peradaban dunia,” ujarnya.
Bangunan Candri Muara Takus terdiri dari empat bangunan yang saling berdekatan yakni Candi Tua, Candi Mahligai, Candi Bungsu dan Candi Palangka. Situs sejarah peninggalan kerajaan Sriwijaya ini terletak di pinggir sungai kampar kanan, 5 Januari 2015. TEMPO/Riyan Nofitra.
Hassan menuturkan dalam situasi relatif damai saat itulah, berabad-abad jalur rempah nusantara menggeliat dan membentang ke seantero bumi.
Dari Beijing, tepian samudera Pasifik, melalui Selat Malaka dan Selat Sunda hingga terus ke dunia barat. Kerajaan Maritim Sriwijaya yang eksis pada abad ke 6 sampai 12 mengontrol jalur rempah di dua selat strategis itu. Sehingga otomatis Kerajaan Sriwijaya mengontrol dunia perdagangan dunia saat itu.
Dari situ jalur rempah belum berhenti. Terus bergerak membuka jalur baru perdagangan dunia, hingga menghubungkan dengan Kerajaan Cola. Kerajaan itu sudah eksis sejak 300 tahun sebelum masehi sampai dengan 1279 yang ada di India bagian selatan-timur, lalu ke Srilanka, di Kerajaan Arunadapura yang eksis 377 tahun sebelum masehi sampai dengan 1017.
“Jalur rempah Nusantara juga telah menembus Persia dan Timur Tengah, melalui Mesir dan Suriah setelah itu menyusur ke pantai timur Afrika sampai Madagaskar,” ujarnya.
Hassan menuturkan transaksi jalur rempah itu menghasilkan alat tukar beragam di masa lalu. Mulai sutera dan keramik dari Tiongkok, katun dari India, hingga red karpet dari timur tengah.Hassan menuturkan rempah nusantara yang beragam jenisnya di masa lalu menjadi barang dagangan yang prestisius, mahal, dan paling dicari karena khasiat dan kegunaannya.
Sehingga orang-orang Eropa pun sudah mengenal rempah nusantara pada masa Perang Salib, antara tahun 1096 sampai tahun 1271. Namun saat itu bangsa Eropa membelinya dengan harga sangat mahal dari para saudagar Arab.
“Inilah yang menjadi satu motif akhirnya di abad 15, bangsa Eropa mulai mencari rempah langsung dari sumbernya di nusantara ini,” ujarnya.
Forum International Forum on Spice Route 2020 ini sendiri berlangsung secara daring mulai 21-24 September 2020.
Ketua Yayasan Negeri Rempah Kumoratih Kushardjanto mengatakan dalam forum itu, persoalan rempah nusantara dipotret ulang dan didiskusikan bersama sejumlah pakar untuk mendapatkan gambaran utuh sejarahnya dan manfaatnya bagi masa kini.
“Indonesia sebagai negara adibudaya menurut UNESCO, memiliki keragaman budaya yang juga saling terhubung dengan budaya lain di dunia melalui perlintasan Jalur Rempah, terutama pada era pra-kolonial,” kata dia.
Infografis Jalur Rempah Kuliner Indonesia. (Unay/Tempo)
Sehingga untuk membangun memori kolektif dan pemahaman antar-budaya lintas batas negara ini, Yayasan Negeri Rempah bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan kegiatan bincang daring dengan narasumber pakar ilmu pengetahuan dari berbagai negara, serta perwakilan negara sahabat di Jakarta.
Sumber: Menelisik Jalur Rempah Nusantara yang Ubah Geopolitik Dunia pada Masa Lalu - Travel Tempo.co
Setelah sukses menggelar International Forum on Spice Route (ISFR) 2019, Yayasan Negeri Rempah akan mengadakan acara serupa. Berbeda dengan tahun lalu, tahun ini akan dilaksanakan secara virtual pada 21-24 September 2020."Pada tahun lalu kami fokus pada jalur kemaritiman, kali ini fokus pada diplomasi budaya. Kita fokus pada Jalur Rempah dari Samudera Hindia dan Afrika. Kita akan cari key points-nya ada di mana," ujar Pembina Yayasan Negeri Rempah dalam Media Brief ISFR secara virtual, Sabtu, 19 September 2020.Bram mencontohkan dalam diplomasi budaya itu, pihaknya akan mencari kesamaan Indonesia dengan Sri Lanka, Vietnam, Thailand, India, Afrika Selatan. Kesamaan itu yang sedang dibangun dan akan didialogkan dalam ISFR kali ini.
"Dalam acara itu nanti akan muncul berbagai gagasan. Kita akan bawa pertukaran UMKM, misalnya, UMKM sambal, UMKM rempah. Nah, nanti kami akan bawa hal itu dan didialogkan dengan dengan pembicara yang lain," tutur Bram.Setelah ISFR, lanjut Bram, pihaknya akan mengadakan diskusi pertukaran ilmuwan dan penelitian bersama, termasuk karya-karya seni. Ia mencontohkan, akan ada resident, seperti seniman India dibawa ke Surabaya, seniman Madagaskar ditukar dengan seniman Banjarmasin."ISFR ini akan berlangsung hingga 2024, tapi temanya yang akan berbeda. ISFR tahun ini, kami akan banyak membicarakan tentang (Jalur Rempah) di Samudera Hindia," kata Bram.Dia mengatakan, ISFR 2021 akan mengulas tentang Indo Pasifik, wilayah dari Pasifik Barat hingga ke Cina. "ISFR tahun berikutnya mungkin dari Eropa ke arah Pasifik yang menuju ke Amerika Latin. Itu pun dengan catatan kita bila kita menemukan titik baru (Jalur Rempah) yang ada di sana," ucap Bram.Melacak Sejarah Jalur RempahBram mengungkapkan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat ini sedang mengusulkan Jalur Rempah sebagai Warisan Budaya Dunia melalui UNESCO. Oleh karena itu, Bram mengatakan perlu dilakukan penelitian dan berbagai upaya lebih lanjut untuk menemukan titik-titik Jalur Rempah dari Indonesia ke berbagai dunia.
"Jalur Rempah merupakan jalur perdagangan maritim orang nusantara yang melintasi banyak area dan mendarat di pelabuhan di seluruh dunia dan ada interaksinya. Hal itu dimulai dari bagian barat Indonesia hingga ke Eropa," ujar Bram.Perjalanan Jalur Rempah memiliki masa yang sangat panjang di luar perkiraan seperti yang selama ini diletakkan para sejarawan Barat yang hanya 400 tahunan. Indonesia ingin lebih dari itu, yaitu 1000 tahun, bahkan 5000 tahun."Yang jadi persoalan adalah bagaimana buktinya, kita tidak bisa asal ngomong. Oleh karena itu, sekarang banyak sekali penelitian yang dilaksanakan oleh Kemendikbud untuk menentukan titik-titik pendaratan orang nusantara di seluruh dunia itu ada di mana dan di mana titik-titiknya serta kapan persisnya," tandas Bram.
Sumber: Kemendikbud Akan Usulkan Jalur Rempah Sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO - Info Seputar Presiden (infopresiden.com)
JAKARTA - Indonesia sebagai negara adibudaya menurut UNESCO, memiliki keragaman budaya yang juga saling terhubung dengan budaya lain di dunia melalui perlintasan jalur rempah, terutama pada era pra-kolonial.
Untuk membangun memori kolektif dan pemahaman antar-budaya lintas batas negara ini, Yayasan Negeri Rempah bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan menyelenggarakan kegiatan International Forum on Spice Route 2020 pada 21-24 September 2020.
Nantinya akan ada bincang secara online atau daring yang menghadirkan narasumber pakar ilmu pengetahuan dari berbagai negara serta perwakilan negara sahabat di Jakarta. Juga pidato pembuka Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hilmar Farid serta pembicara utama mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda yang kini menjadi Penasihat Yayasan Negeri Rempah.
"Dalam diskusi itu nantinya kita berusaha menggali dan mengumpulkan lebih banyak lagi bukti dan temuan-temuan yang menegaskan bahwa Indonesia ini dulunya memang pernah menjadi penghasil dan pemasok komoditas rempah-rempah dunia," tutur Ketua Yayasan Negeri Rempah Bram Kushardjanto dalam media briefing daring menjelang kegiatan IFSR 2020, Sabtu (19/9/20).
Kemudian, di hari kedua akan hadir Direktur Direktorat Pembinaan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbud Dr Restu Gunawan, Wawan Sujarwo (LIPI/Masyarakat Etnobiologi Indonesia/PMEI).
Dalam diskusi panel dengan topik bahasan Rute Rempah: Perspektif Asia Tenggara, akan tampil Ariel C Lopez (Asian Center, Universitas Filipina), Prima Nurahmi Mulyasari MA (LIPI), Marina Kaneti (Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew, Singapura), dan Dewi Kumoratih (Yayasan Negeri Rempah/Universitas Bina Nusantara)
Di sesi kedua diskusi tampil Andrea Acri PhD(Ecole Pratique des Hautes Etudes, Universitas PSL, Prancis), Dr Annabel Teh Gallop FBA (Perpustakaan Inggris, Inggris), Tom Hoogervorst PhD (Universitas Leiden, Belanda), dan Dave Lumenta PhD (Jurusan Antropologi Universitas Indonesia).
Selanjutnya di hari ketiga, tampil sebagai pembicara Letjen TNI Purn Dr Nono Sampono (Wakil Ketua DPD RI), Kaisar Akhir (Ketua Maritim Muda Nusantara), Dr Junus Satrio Atmodjo (Yayasan Negeri Rempah), Ratna Dewi (Seloko Institut/WWF Jambi), M Ridwan Alimuddin (Ekspedisi Bumi Mandar-Perahu Pustaka), Widjanarka Arka (Universitas Palangkaraya), Tjahyo Suprayogo (Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca), I Gusti Putu Ngurah Sedana (Museum Samudera Raksa), dan Siswanto MA (Museum Nasional).
Kemudian, Dicky Soeria Atmadja (ICOMOS Indonesia), Edy Setijono (TWC Borobudur), Irfan Nugraha MHan (Yayasan Negeri Rempah, Universitas Indonesia), Kocu Andre Hutagalung (CEO IndonesiaRe), Ibrahim Kholilul Rochman (Samudera Indonesia Research Initiative), Prof Rokhmin Dahuri (Institut Pertanian Bogor), Dr Safri Burhanuddin (Kemenko Kemaritiman dan Investasi), Jajang Gunawijaya (Lembaga Pengembangan dan Penelitian Sosial Politik, Universitas Indonesia), Prof Dietrich G Bengen (Institut Pertanian Bogor), dan Isyak Meirobi (Wakil Bupati Belitung).
Sementara di hari keempat, tampil sebagai pembicara Dr Thukul Rameyo Adi (Kemenko Kemaritiman dan Investasi), Agus Saptono (Konsul Jenderal RI, Mumbai, India), Effiati Aryoko (Asosiasi UMKM Kosmetik Herbal), Peter Wijayanto (Palem Mustika), Yanuardi Syukur (Yayasan Negeri Rempah, Pendiri Rumah Produktif Indonesia), Prof Dr Sujiwo Pramono (Dewan Rempah Indonesia), Dr Hardadi Airlangga (Ketua Perhimpunan Dokter Nahdlatul Ulama), Prof Asep Suganda (Dewan Rempah Indonesia), dan Fitriana Hayyu Arifah (Perhimpunan Masyarakat Etnobotani Indonesia)
Lalu, Rahman Sarwono (Jamu Borobudur), Sigit Ismayanto (Asosiasi UMKM Jamu), Nuning S Barwa (Dewan Rempah Indonesia), Nova Dewi Setiabudi (Suwe Ora Jamu), Joni Yuwono (Acaraki), Sari Wulandari (Yayasan Negeri Rempah, Universitas Bina Nusantara), Puji Harsono (pakar numismatik), JJ Rizal (sejarawan), Winarni Soewarno (Museum Bank Indonesia), Irfan Nugraha dan (Yayasan Negeri Rempah, Universitas Indonesia).
Sumber: Pakar dan Tokoh Bahas Jalur Rempah Nusantara di IFSR 2020 - News+ on RCTI+ (rctiplus.com)
Dari zaman penjajahan dulu hingga zaman modern seperti sekarang, rempah Indonesia sudah terkenal memiliki jutaan manfaat. Bahkan hasil rempah Indonesia banyak sekali diekspor hingga luar negeri.
Tapi sayangnya, tak banyak masyarakat Indonesia yang menyadari akan kekayaan rempah Indonesia sehingga eksistensinya mulai tergerus oleh kemajuan zaman. Bahkan untuk meningkatkan pengetahuan generasi muda sekarang terhadap rempah, baru baru ini Instagram mengeluarkan “filter tebak rempah” yang ternyata filter ini banyak digunakan oleh pengguna Instagram.
Sebagai orang Indonesia, harusnya kita bangga dan lebih mengenal jenis dan manfaat yang dimiliki dari setiap rempah rempah ini. Rempah-rempah asli Indonesia tidak hanya dapat digunakan untuk menjadi bumbu dapur saja lho.
Dari data Negeri Rempah Foundation, ada sekitar 400-500 spesies rempah di dunia, 275 di antaranya ada di Asia Tenggara dan Indonesia menjadi yang paling dominan hingga kemudian Indonesia dijuluki sebagai Mother of Spices.
Kini rempah rempah Indonesia mulai diperkenalkan dalam bentuk essential oil. Diekstrak dari rempah–rempah pilihan, essential oil ini memiliki aroma yang beragam dengan banyak manfaat. Tentunya rempah–rempah ini sangat aman digunakan karena berasal dari bahan-bahan alami.
Di antara rempah-rempah Indonesia yang menjadi bahan dasar pembuatan Essential Oil adalah Adas (Fennel Oil), Cengkeh (Clove Bud Oil), Kayu Putih (Cajeput Oil), Jahe (Ginger Oil), Sereh (lemongrass), Kayu Manis (Cinnamon), Nilam (Patchouli), Sandalwood, Rosemary, dan Kafier lime (jeruk nipis).
Essential oil dari bahan rempah–rempah ini tentu memiliki manfaat yang berbeda-beda seperti menghangatkan, meredakan flu dan demam, melancarkan peredaran darah, sebagai antiseptik untuk luka dan masih banyak lagi.
Ada beberapa merek essential oil yang dapat kamu coba, salah satunya brand lokal essential oil dari Essentia Indonesia. Mereka berkomitmen untuk menyediakan dan membuat produk-produk alami guna mempromosikan hidup sehat kepada para pelanggannya.
Jadi sekarang tidak ada lagi alasan untuk tidak mengenal rempah-rempah asli Indonesia yang sudah mendunia ini. Sebab kamu tidak perlu repot lagi mengolahnya, tinggal gunakan diffuser atau teteskan essential oil tersebut ke produk lain sesuai dengan keinginanmu.
Sumber: Mengenal rempah Indonesia dalam bentuk essential oil (brilio.net)
PORTAL JEMBER - Penggunaan ragam tumbuhan sebagai afrodisiak, bahan yang dapat merangsang gairah pria dan wanita, merupakan salah satu warisan besar nenek moyang yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Dalam Kama Tattwa misalnya. Dibahas juga di dalamnya tentang penggunaan rempah untuk 'gegilutan'. Penasaran dengan ragam rempah yang sering digunakan sebagai afrodisiak?
Negeri Rempah Foundation melalui akun Instagramnya @negerirempah, merangkum 8 rempah yang biasa digunakan sebagai afrodisiak sejak jaman nenek moyang kita dulu.
Pertama, Purwoceng atau Pimpinella pruatjan. Rempah endemik Dieng Jawa Tengah ini dipercaya dapat menambah stamina dan meningkatkan gairah baik pada pria maupun wanita. Rempah ini membantu mengatasi disfungsi ereksi.
Kedua, Pasak bumi atau Eurycoma longifolia. Kekukuhan akar pohon yang dijuluki “Tongkat Ali" ini kerap dianalogikan dengan keperkasaan pria. Rempah ini dapat meningkatkan kualitas sperma dan mencegah penurunan testosterone.
Ketiga, Kayu rapet atau Parameria laevigata. Bila kulit akarnya dipatahkan, getahnya dapat merekatkan kembali patahan itu. Atas dasar analogi ini, tumbuhan ini diolah menjadi ‘sari rapet’ yang dapat merapatkan kembali organ kewanitaan peminumnya.
Keempat, Temu kunci atau Boesenbergia rotunda. Mengonsumsi temu kunci dipercaya membuat organ kewanitaan menjadi kering dan harum. Temu kunci disarankan bagi ibu-ibu yang baru melahirkan.
Kelima, jahe atau Zingiber officinale. Kandungan sineol dan arginine dalam jahe dapat mencegah ejakulasi dini pada pria. Selain itu, juga dapat merangsang ereksi, menyuburkan serta memperkuat daya tahan sperma.
Keenam, Bawang putih atau Allium sativum. Kandungan allisin dalam bawang putih mampu meningkatkan aliran darah ke penis. Bawang putih juga dapat meningkatkan libido.
Ketujuh, Cabai atau Capsicum annuum. Kandungan capsaicin dalam cabai dapat meningkatkan hormon endorphin yang dapat menciptakan perasaan bahagia serta meningkatkan libido.
Kedelapan, Kayu manis atau Cinnamomum verum. Aroma menyengatnya dihasilkan dari kandungan cinnamaldehid. Pada wanita, zat ini merangsang gairah untuk bercinta. Kandungan dopaminnya membantu pikiran menjadi rileks.
Sumber: 8 Rempah Ini Dipercaya Mampu Meningkatkan Gairah Pria dan Wanita - Portal Jember - Halaman 2 (pikiran-rakyat.com)
Pada bulan Maret tahun 2019 lalu, Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman menyelenggarakan International Forum on Spice Route (IFSR). Bertempat di Musium Nasional Jakarta, forum ini membahas tentang rempah-rempah. Dengan tema Reviving the World’s Maritime Culture through the Common Heritage of Spice Route, IFSR menjadi sarana untuk meningkatkan kembali peranan penting Indonesia dalam produksi dan perniagaan komoditas rempah. Dalam konteks yang lebih strategis, forum ini meletakkan Indonesia ke dalam percaturan perbincangan dunia (dimulai dari wilayah regional Asia Tenggara) dengan perspektifnya yang unik dalam memaknai sejarah perdagangan maritim dari masa ke masa. Betapa tidak? Kalau kita menelaah sejarah kemaritiman, nusantara memiliki posisi strategis sebagai poros yang menghubungkan ‘negeri-negeri di atas angin’, yaitu Tiongkok, India, Timur Tengah, hingga Eropa. Jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara, Nusantara telah menjadi pemain penting dalam perdagangan dunia dan telah lama dikenal sebagai negara pemasok utama komoditas penting di dunia, yakni rempah-rempah.
Poros perdagangan rempah-rempah global Asia, India–Nusantara–Tiongkok, melalui perairan Hindia hingga Pasifik meninggalkan jejak peradaban yang signifikan. Terletak di sepanjang jalur maritim tersibuk di dunia, Nusantara dari masa ke masa telah menjadi daerah strategis yang amat penting dan tujuan perdagangan selama ribuan tahun. Sebagai akibat dari lalu lintas laut yang padat ke Asia Timur, Timur Tengah, Eropa, dan sebaliknya, banyak peradaban berinteraksi, bertukar pengetahuan, pengalaman, dan budaya. Ia menjelma sebagai ruang silaturahim antar manusia lintas bangsa sekaligus sarana pertukaran dan pemahaman antarbudaya yang mempertemukan berbagai ide, konsep, gagasan dan praksis melampaui konteks ruang dan waktu. Dipertemukan laut dan samudra. Warisan budaya maritim dalam jejak perniagaan global itu menjadi semakin penting untuk diangkat, dikaji, dan dimaknai kembali.
Pandemi dan Momentum Kebangkitan Rempah
Dalam masa pandemi dan krisis kesehatan global ini, berbagai negara termasuk Indonesia menjalankan berbagai cara untuk membantu mengatasi serangan dari wabah mematikan ini. Upaya untuk menjauhkan masyarakat dari kerumunan, melarang interaksi jarak dekat dan bahkan meminta untuk melakukan berbagai aktivitas dari rumah saja menjadi tren dalam penanganan penyebaran COVID-19. Indonesia yang merupakan sebuah negara yang sedang berjuang untuk keluar sebagai negara berkembang Asia ini juga mengalami berbagai tantangan dalam hal penanganan pandemi ini. Dengan fasilitas kesehatan yang dimiliki, sampai sekarang masih berjuang untuk menekan angka kematian warga melawan serangan virus ini. Salah satu upaya untuk melawan serangan virus dimaksud adalah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh (imun). Obat herbal yang berasal dari ramuan rempah-rempah menjadi alternative dan menjadi salah satu solusi dalam meningkatkan daya tahan tubuh warga masyarakat. Hal yang sama sebenarnya sudah dijalani oleh pemerintah Cina. Sejak pandemi produk obat herbal Negeri Tirai Bambu seperti Linhua Qingwen Jiaonang dan Hua Xiang Zheng Qi Kou Fu Ye menjadi sangat popular karena dipercaya mampu mengatasi serangan flu dan masuk angin (kabar24.bisnis.com/28/04/2020).
Jika dalam masa pandemi COVID-19, perdagangan obat herbal Cina meningkat, maka jamu dan minuman tradisional Indonesia pun memiliki peluang yang sama. Semakin mewabahnya COVID-19 menjadi momentum yang sangat bagus untuk memanfaatkan dan menghidupkan kembali kejayaan rempah-rempah negeri ini. Dalam pembukaan Asian Agriculture and Food Forum (ASAAF) 12 Maret 2020 Lalu, Pemerintah menyakini bahwa seduhan rempah-rempah yang seperti cengkeh, pala, sereh dan kayu manis bisa meningkatkan daya tahan tubuh untuk melawan virus (setkab.go.id, 2020).
Meningkatkan Imunitas: Refleksi Gastronomi di Tengah Pandemi
Pemerintah Indonesia melalui Tim Penanggulanan Covid-19, menginisiasi kebijakan ini dengan harapan bahwa jika komunitas dibiarkan terjangkiti, maka pembentukan kekebalan kelompok (herd immunity) dapat menghentikan penyebaran infeksi. Herd immunity atau kekebalan kelompok adalah kondisi ketika sebagian besar orang dalam suatu kelompok telah memiliki kekebalan terhadap penyakit infeksi tertentu (https://en.wikipedia.org/wiki/Herd_immunity). Semakin banyak orang yang kebal terhadap suatu penyakit, semakin sulit bagi penyakit tersebut untuk menyebar karena tidak banyak orang yang dapat terinfeksi.
Herd Immunity adalah konsep epidemiologis yang menggambarkan keadaan di mana populasi – biasanya orang – cukup kebal terhadap penyakit sehingga infeksi tidak akan menyebar dalam kelompok itu. Strategi ini dipercaya dapat melindungi kelompok rentan. Herd immunity adalah konsep yang terkait dengan program vaksinasi untuk mendapatkan kekebalan pada banyak orang. Kekebalan dapat diperoleh dengan infeksi, atau dengan vaksinasi dapat dilakukan pada kelompok rentan yang telah terinfeksi. Jadi, semakin banyak orang yang terinfeksi dan sembuh, semakin banyak juga orang yang kebal dan herd immunity pun akan terbentuk. Keberhasilan dalam metode herd immunity atau vaksinasi tersebut akan berhasil di beberapa populasi apabila kampanye untuk social distancing di daerah berisiko tinggi gencar dilakukan sehingga dapat menjadi cara efektif paling akhir untuk menghambat mata rantai penyebaran virus. Masalah lain akan muncul karena kekebalan setiap orang yang rentan terkena virus tidak sama. Jika dalam kelompok ada yang pernah mengalami terpapar virus, maka akan memiliki kekebalan biologis baru yang dapat melindunginya dari kontraindikasi vaksinasi untuk dirinya dan mencegah penularan (Fine P, Eames K, Heymann DL, 2011). Kendati demikian, sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal medis Lancet menunjukkan bahwa tidak hanya mereka yang rentan saja perlu dilindungi karena anak-anak mungkin menularkan virus meski tidak menunjukkan gejala apapun. Para peneliti menemukan seorang anak yang berada pada satu keluarga terinfeksi tetapi tidak menunjukkan gejala. Namun,hasil CT Scan dada menunjukkan bahwa ia memiliki pneumonia dan bahkan hasil tes virus juga dinyatakan positif COVID-19 (Detik News, 2020).
Pendekatan herd immunity ternyata mengundang polemik karena dianggap bukan solusi yang tepat sebagai penghambat penyebaran virus (Kompas/19/05/2020), Meski risiko penerapan herd immunity sangat tinggi, namun sebagian masyarakat meyakini bahwa strategi ini akan dipakai oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi pandemi Covid-19. Meskipun demikian, sebanyak apapun kebijakan dibuat dan dijalankan dengan ketat, tetap yang dibutuhkan adalah kesadaran dan kepatuhan dari individu dan kelompok masyarakat. Mereka yang tampak sehat, justru bisa jadi yang menjadi penyebar virus. Oleh karena itu, menjaga jarak, menggunakan masker ketika keluar rumah atau ketika berinteraksi dengan orang lain, serta stay at home adalah pilihan tepat di tengah situasi wabah berbahaya ini.
Jika pola penanganan COVID-19 melalui herd immunity dengan vaksinasi dipercaya dapat membantu kekebalan tubuh komunitas, maka obat herbal membantu meningkatkan daya tahan tubuh individu mencegah terjangkiti virus. Namun BPOM Indonesia menyatakan bahwa meskipun banyak jenis obat herbal yang muncul, tidak semua dikategorikan dapat memelihara daya tahan tubuh. Hanya beberapa obat tradisional terstandar saja, seperti obat yang mengandung jahe, kunyit, temulawak, pala, dan beberapa rempah lainnya.
Meskipun ada beberapa pihak yang menganggap jamu atau rempah hanya mitos, namun bagi sebagian besar masyarakat lokal racikan jamu atau rempah-rempah dalam masa pandemi ini dapat membantu meningkatkan imunitas tubuh. Meracik dan meminum ramuan herbal sebagai bentuk reproduksi pengetahuan tradisi masyarakat. Semangat untuk menjaga daya tahan tubuh agar tidak terpapar COVID-19 telah mengembalikan memori kolektif masyarakat Indonesia tentang ramuan rempah dengan pengetahuan yang beragam. Pengetahuan lokal tentang ramuan herbal seperti empon-empon juga memiliki varian lain misalnya Wedang Uwuh (terdiri dari rempah dengan bahan kayu secang, daun cengkeh, dahan cengkeh, jahe dan kapulogo) khas Jogja, Bir Pletok sebagai minuman penyegar tubuh khas Betawi yang terdiri dari 11 macam rempah dengan bahan baku jahe putih, jahe merah, sereh, kayu manis, daun pandan, daun jeruk, kulit kayu secang, kulit kayu mesoyi, kulit kayu manis, kapulaga, jinten hitam, cengkeh, bunga lawang, biji pala, adas, lada hitam, dan lada putih. Ramuan yang muncul pada periode kolonial di Batavia ini hingga Maret 2020 mengalami lonjakan permintaan hingga ke pasar luar negeri sebesar 300 persen.
Situasi pandemi telah membuka peluang-peluang usaha baru dalam bidang gastronomi. Dalam pantauan pada akhir Maret 2020, lonjakan permintaan tertinggi dari bahan rempah yaitu jahe merah yang menempati angka Rp. 100.000,- per kilogram yang sebelumnya seharga Rp.40.000,- per kilogram. Bisnis gastronomi Indonesia ini diharapkan akan mendapatkan pasarnya di Eropa, terutama karena memang sejak dahulu negara-negara Eropa sudah menjadi pasar bagi rempah-rempah Indonesia. Data dari Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa terdapat sejumlah negara yang menjadi tujuan ekspor obat tradisional Indonesia antara lain kawasan ASEAN, Eropa, Afrika serta Timur Tengah (bisnis.tempo.com/24/06/2020).
Penyebaran virus corona menimbulkan dampak negatif terhadap warga masyarakat dunia. Namun mungkinkah 2020 dan krisis kesehatan dunia akibat serangan virus corona akan menjadi era baru dari pergerakan industri makanan minuman kesehatan? Melihat tren dari fenomena tersebut pasar rempah Indonesia perlu optimistis dan bergerak strategis dalam menjaring momen pasar global diiringi peningkatan kemampuan gastrodiplomasi. Oleh karena itu, partisipasi berbagai pemangku kepentingan seperti akademisi, praktisi, pemerintah, media dan masyarakat penting dan dibutuhkan untuk memperkuat promosi untuk penjualan rempah Indonesia di era pandemi ini.
Sumber: Menghidupkan Kembali Kejayaan Rempah di Indonesia: Momentum Pasca Pandemi - Serikat Petani Indonesia (spi.or.id)
Melonjaknya permintaan rempah-rempah di masa pandemic covid-19 membuat petani rempah merasakan dampak positifnya. Harga yang tinggi akan rempah diharapkan kembali menjadi daya tarik terhadap komoditi rempah-rempah bagi dunia pertanian.
Rempah-rempah berupa jahe, kunyit, dan temulawak dan kawan-kawannya merupakan tanaman yang dianggap mampu menaikkan daya tahan tubuh, kunci penting untuk terhindar dari berbagai penyakit, termasuk virus corona. Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh pakar jamu Universitas Airlangga Prof. Dr. Mangestuti Agil, MS., Apt., bahwa kunyit dan temulawak dapat meningkatkan sistem imun dan kekebalan tubuh. Hal inilah yang membuat rempah-rempah menjadi incaran di saat pandemi ini.
Indonesia sendiri dikenal dengan Mother of Spices karena kaya akan rempah-rempah. Dari data Negeri Rempah Foundation, terdapat sekitar 400-500 spesies rempah di dunia, 275 di antaranya terdapat di Asia Tenggara dan Indonesia menjadi yang paling dominan. Hal inilah yang membuat orang-orang dari Benua Eropa terutama Portugis, Spanyol, dan Belanda untuk datang ke Indonesia sepanjang abad ke-16 dan 17. Lada, cengkeh, pala, kapulaga, kunyit, jahe, kulit kayu manis serta kapur barus (getah kamper) dan kemenyan mendorong petualangan bangsa Eropa di nusantara. Beberapa daerah penghasil rempah-rempah di Indonesia adalah Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Maluku, NTT, Papua, Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sumatra Selatan, dan DI Yogyakarta.
Seiring waktu, komoditi rempah tidak menjadi satu-satunya primadona lagi. Munculnya perkebunan sawit skala besar, membuat petani lebih cenderung tertarik terhadap komoditi sawit dan langsung berpindah komoditi secara besar-besaran. Di lain pihak, petani rempah yang jumlahnya semakin tergerus dihadapkan kepada tantangan kurangnya lahan untuk membudidayakan rempah-rempah dalam skala besar.
Dari situs Kementerian Pertanian, dalam tulisan yang berjudul “Mengembalikan Kejayaan Rempah Nusantara, Negara Alokasikan Anggaran 5,5 T”, disampaikan bahwa kondisi rempah Indonesia menunjukkan tren penurunan ekspor, berdasarkan data BPS tahun 2016 periode Januari hingga November, nilai total ekspor rempah Indonesia 653, 3 juta USD turun dibandingkan nilai ekspor tahun 2015 pada periode yang sama 770, 42 juta USD, kecuali vanili yang naik dari 14,41 juta USD tahun 2015 menjadi 62,08 juta USD pada periode yang sama tahun 2016 (https://www.pertanian.go.id).
Padahal, kenyataannya pertanian rempah adalah pertanian yang menjanjikan, sebab kebutuhan akan rempah-rempah tidak dapat dipungkiri. Di Indonesia saja, misalanya, rempah-rempah adalah kebutuhan wajib yang ada di dapur setiap keluarga, secara nasional kebutuhan akan rempah-rempah tidak perlu dicemaskan. Minimnya kapasitas lahan dalam pengolahan budidaya rempah-rempah juga sudah ada solusinya. Perhutanan Sosial yang dilegalkan oleh Kementerian LHK juga membuka ruang kepada petani dan kelompok tani untuk membudidyakan rempah-rempah di areal Perhutanan Sosial yang sudah menemeroleh izin.
Peningkatan Hasil Rempah-Rempah melalui Skema Perhutanan Sosial
Jauh-jauh hari sebelum pandemi, Warsi sudah mendorong masyaraat pengelola hutan desa untuk pengayaan areal kelola dengan budidaya rempah-rempah. Tujuan dari legalitas Perhutanan Sosial ialah memberikan kesempatan kepada petani atau kelompok tani untuk mengelola lahan untuk meningkatkan perekonomian. Mulai dari pemanfaatan jasa lingkungan, Hasil Hutan Bukan Kayu, dan penerapan skema agroforesty. Agroforestry (tanaman campur) adalah salah satu strategi memperkaya jenis tanam di suatu lahan sehingga petani tidak perlu membuka lahan untuk menambah komoditi. Memperbanyak jenis tanaman dengan skema agroforestry diharapkan dapat meningkatkan ekonomi pertanian.
Skema agroforestry dapat ditanam dengan tanaman kehutanan, HHBK, buah-buahan, dan tentunya jenis rempah-rempah, seperti jahe, kunyit, temulawak, dan kapulaga adalah masuk dalam kategori HHBK. Penanaman rempah-rempah di areal Perhutanan Sosial juga sudah dianjurkan oleh KLHK. Misalnya saja, sudah diselenggarakan ‘Seminar Nasional Perhutanan Sosial dan Rempah-rempah‘ yang digelar Balai Perhutanan Sosial Dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) wilayah Maluku Papua yang digelar pada 9 dan 10 November 2019 di Natsepa Hotel dan Resort Ambon. Hal ini mengindikasikan bahwa Kementerian LHK sebagai pihak yang melegalkan kebijakan Perhutanan Sosial juga berharap besar kepada petani untuk membudidayakan rempah-rempah di areal Perhutanan Sosial. Warsi termasuk yang mendorong dan mendukung masyarakat dampingan untuk menanam rempah dalam bentuk intensifikasi pertanian atau tanaman bertingkat. Di Pakan Rabaa Kecamatan Koto Parik Gadang Diateh, Solok Selatan Sumatera Barat Pengelola dari Kelompok Perempuan Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) sudah merintis usaha jahe merah. Usaha ini berawal dari hasil Focus Group Discussion (FGD) ibu-ibu yang ada di Nagari Pakan Rabaa dengan KKI WARSI. Jahe merah dibudidayakan oleh ibu-ibu desa kemudian diolah menjadi serbuk minuman. Meski saat ini masih ada kendala berupa belum adanya alat produksi untuk membuat minuman tersebut, seperti alat pengekstrak jahe dan alat kristalisasi gula dengan air jahe tapi semangat untuk membudidayakan rempah-rempah ini sangat tinggi. Dengan adanya kendala itulah yang membuat kapasitas produksinya masih sangat terbatas. Warsi sebagai pendamping ke depannya akan mencarikan solusi sebagai pemecahan masalah dan kendala tersebut.
Di lain tempat, tepatnya di kawasan gambut Desa Sungai Beras, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi yang juga merupakan desa dampingan Warsi, pada Juli tahun 2016 silam, Warsi bersama Kelompok Tani Hutan (KTH) Senang Jaya juga sudah menanam sekitar 3.000 bibit merica. Berdasarkan kajian Warsi selaku pendamping, merica cocok ditanam di kawasan gambut. Dari segi ekonomi, merica bernilai jual tinggi. Satu tanaman merica dapat menghasilkan buah sekitar 1 – 2 kilogram, sementara harga 1 kilogram merica bernilai Rp. 150,000 – 200,000. Dari segi ekologis, penanaman merica di hutan gambut merupakan pengembangan Pertanian Ramah Gambut (PRG) di lahan gambut melalui Pengolahan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) karena merica membutuhkan pohon penopang sehingga petani tidak perlu membuka lahan dengan cara menebang pohon yang sudah ada.
Akhirnya, dengan adanya permintaan dan tingginya harga, diharapkan dapat menggelitik semangat petani untuk mempertimbangkan komoditi rempah-rempah sebagai komoditi utama pertanian. Sejarah bahwa bangsa Indonesia adalah pasokan rempah-rempah dunia, bukan mustahil jika bisa diulang kembali. (Teguh Al Ikhsan)
Sumber: Rempah di Areal Perhutanan Sosial | KKI WARSI
ASIATODAY.ID, MALUKU – Ternate and Tidore not only promise natural beauty, but also rich history and cultural traditions. Many old stories about the two small islands side by side in the Maluku Sea. One of them is about the existence of the spice route.
It is known, long before the Europeans carried out trading activities in Southeast Asia, the archipelago had become an important player in the world through its spices.
It is this historical trail that underlies the Land of Spice Foundation to open up public insight through fun travel trips.
Chairman of the Board of Trustees of the State Spice Foundation, Hassan Wirajuda, said that Indonesia is a world-recognized center for producing spices. According to him, the spice trade then also influenced the cultural exchange of various nations.
“Trade provides contacts between different people and nations. From there, there is an exchange of culture, philosophy, and technology," said Hassan Wirajuda in a written broadcast, Thursday (18/7/2019).
The former Foreign Minister of the Reformation era also hopes that efforts to introduce the history of the homeland will continue to be improved. In this case, the role of the government is certainly highly expected.
“Awareness of our past is very important. As Bung Karno once said, 'only a great nation can appreciate its history'. We remind policy makers, both at the central and regional levels, of the importance of learning for the younger generation about history,” he explained.
In Ternate and Tidore, it is known that there is Afo Clove tree, which is believed to be the oldest clove in the world. Its age is estimated to be hundreds of years. Around Clove Afo, scattered nutmeg plants, which are also a mainstay commodity from Ternate and Tidore.
History records, cloves are the reason why there are so many fortifications around Ternate and Tidore. The forts were built by the Spanish and Portuguese for nothing other than protecting cloves, which at that time were considered treasures.
Forts scattered in the Ternate and Tidore areas include Fort Tolukko, Fort Kastela, Fort Tore, and Fort Tahula. Not only history, the variety of local Ternate and Tidore cuisines such as papeda eaten with gohu tuna is also worth a try.(Lis/AT)
Dream - Bila di Tiongkok ada Jalur Sutera, maka di Indonesia ada Jalur Rempah. Indonesia sedang berjuang agar Jalur Rempah mendapat pengakuan sebagai warisan budaya dunia dari Badan PBB untuk urusan Pendidikan, Sosial, dan Budaya (UNESCO). Inisiasi ini digagas Yayasan Negeri Rempah dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
" Kita berupaya memperoleh pengakuan UNESCO bahwa Jalur Rempah menjadi warisan dunia. Kita punya cukup banyak alasan," kata Ketua Dewan Pembina Yayasan Negeri Rempah, Hassan Wirajuda.
Hal itu disampaikan mantan Menteri Luar Negeri itu dalam Diskusi Kelompok Terpumpun (Forum Group Discussion) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta, Jumat 21 Februari 2020.
Menurut Hassan Wirajuda, untuk menuju ke arah itu perlu banyak pihak yang terlibat. Terutama dalam sisi perspektif kampanye dan latar belakang sejarah.
" Ini karya besar yang membutuhkan andil banyak pihak. Pemerintah dan non-pemerintah," terangnya lagi.
Jalur Rempah menurut Hassan, merupakan hasil dari menggali masa lalu sejarah Indonesia dengan konteks kekinian. Nenek Moyang rakyat Indonesia tak cuma berorientasi di daratan, tapi juga laut.
" Bayangkan, masa jaya Kerajaan Sriwijaya itu sekitar 500 tahun. Kebesaran Sriwijaya sebagai kerajaan maritim adalah perdagangan internasional," terangnya.
Kala itu, lanjut Hassan, Kerajaan Sriwijaya telah mengembangkan sistem perdagangan dengan nilai tambah lebih. Barang-barang dari luar nusantara yang masuk ke pelabuhan diolah kembali lalu dikirim ke luar negeri.
" Sriwijaya juga punya andil dalam pendirian Universitas Nalanda di India pada abad ke-5. Ini tradisi kebesaran kita," cerita Hassan.
Senada, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid menyebut, nantinya akan ada semacam ekspedisi Jalur Rempah menggunakan kapal dari TNI Angkatan Laut.
Selain itu, akan ada banyak kegiatan lain seperti seni kultural, kuliner, fashion, dan masih banyak lagi.
" Berharap diskusi ini bisa menjadi landasan kita. Agustus sampai Oktober mulai berkegiatan. Kerja cepat untuk menghasilkan yang terbaik. Saya optimistis dan bersemangat hasilnya akan optimal," ujar Hilmar.
Kegiatan ini juga didukung kementerian lain, seperti Kementerian Luar Negeri. Menurut Dirjen Asia Pasifik dan Afrika, Desra Percaya, Kementerian Luar Negeri mendukung penuh inisiatif ini.
Satu hal yang ditekankan Desra, narasi dalam Jalur Rempah sebaiknya tidak dibuat dengan narasi berlatar belakang penjajahan. " Tetapi dari kita sendiri," terangnya.
Sumber: Membangun 'Jalur Rempah' Indonesia Menuju Pengakuan UNESCO (matain.id)
Halaman 7 dari 10