Mendengar kata ‘cagar budaya’, tentu sudah tidak asing di telinga masyarakat, apalagi bila berkaitan dengan benda-benda antik atau bangunan kuno yang berasal dari zaman praaksara hingga peninggalan zaman penjajahan Hindia Belanda. Namun, tidak semua benda dan bangunan yang terlihat kuno ini bisa disebut sebagai cagar budaya.
Merujuk pada UU No. 11 Tahun 2010 tentang pelestarian cagar budaya, cagar budaya didefinisikan sebagai warisan budaya bersifat kebendaan (berupa Benda Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya) di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Yang perlu digarisbawahi dari pengertian cagar budaya ini yaitu sasarannya yang bersifat kebendaan; jenis objek, bangunan, struktur, situs, dan kawasan; lokasinya berada di darat dan/atau di air; memiliki nilai yang melekat dan penting untuk masa kini dan yang akan datang. Kemudian, yang juga penting adalah penetapannya melalui proses yang berjenjang.
Ketika sebuah objek belum memenuhi proses ini, maka ia masih dikategorikan sebagai Objek yang Diduga Cagar Budaya (ODCB). Bila benda ini hanya berusia tua semata dan diidentifikasi belum memiliki nilai penting yang melekat padanya, maka disebut dengan Tinggalan Purbakala atau Temuan Arkeologis. Ada juga yang disebut dengan Satuan Ruang Geografis yang Tidak Memenuhi Kriteria Cagar Budaya, tetapi karena memiliki arti khusus bagi masyarakat dan bangsa Indonesia, maka dapat diusulkan sebagai cagar budaya melalui proses penelitian. Arti khusus tersebut dapat berupa simbol pemersatu, kebanggaan, dan jati diri bangsa, atau yang merupakan suatu peristiwa luar biasa berskala nasional atau dunia. Contohnya, Monumen Nasional di Jakarta dan kapal terdampar akibat peristiwa tsunami di Banda Aceh.
Jenis objek cagar budaya terbagi menjadi 5 jenis yaitu:
Penetapan Objek Cagar Budaya harus melalui persetujuan yang dibuat oleh kepala daerah atau menteri. Setelah ditetapkan sebagai cagar budaya, maka wajib dilestarikan bersama. Proses pelestarian ini meliputi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan, dimana ketiganya dilaksanakan dengan dukungan dari pemerintah dan masyarakat.
Objek Cagar Budaya juga perlu kita lindungi keaslian serta keutuhannya sehingga tidak rusak dan masih bisa terus dinikmati oleh anak cucu kita kelak. Namun, bila hanya dilindungi tanpa dikembangkan serta dimanfaatkan, maka sebuah Objek Cagar Budaya menjadi sia-sia keberadaannya. Masyarakat bisa memanfaatkan sebuah Objek Cagar Budaya, seperti bangunan Candi Borobudur di Magelang atau Kawasan Kotagede di Yogyakarta yang dijadikan sebagai tempat untuk mencari nafkah hingga menggerakkan roda perekonomian masyarakat sekitar. Secara akademis, juga bisa dikembangkan sebagai sumber primer untuk meneliti kehidupan di masa lalu, sehingga dapat memperkaya pengetahuan tentang kehidupan nenek moyang kita di era sebelumnya.
Penulis: Irvan Maulana
Editor : Pinpin Cahyadi