Bisnis.com, JAKARTA – Sumber daya manusia di sektor farmasi dan pengobatan harus ditingkatkan dari segi kuantitas maupun kualitas mengingat pentingnya mengantisipasi obat ilegal kepada konsumen. Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada Suwidjiyo Pramono menyatakan rempah-rempah sebagai bahan dasar obat tradisional sudah menjadi asset murni bangsa Indonesia. Sejarah mencatat komoditas ini pernah menjadi rebutan bangsa-bangsa Eropa yang mencari rempah sebagai bahan pengawet makanan yang digunakan terutama di musim dingin. Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2016, Indonesia adalah negara penghasil rempah-rempah terbesar ke-4 di dunia dengan total produksi 113.649 ton serta total ekspor mencapai US$652,3 juta. Dari data Negeri Rempah Foundation, sekitar 400-500 spesies rempah di dunia, 275 diantaranya berada di Asia Tenggara dan sebagian besar berada di Indonesia hingga Indonesia dijuluki sebagai Mother of Spices. Banyak penelitian dari lembaga luar maupun lokal yang membuktikan bahwa bahan-bahan dasar herbal dan jamu tersebut sangat baik untuk meningkatkan imunitas tubuh. Sejak abad ke-15 rempah-rempah sudah diracik sebagai ramuan yang dipercaya secara turun menurun untuk menjaga kesehatan tubuh. Dia menyebut dari sekian banyak jenis rempah-rempah, adapun kunyit dan temulawak merupakan salah satu jenis rempah-rempah yang bisa mendukung pengobatan medis bagi penderita kanker, khususnya efek samping kemoterapi. “Herbal bisa menjadi terapi penyembuhan, tergantung dari jenis penyakitnya. Untuk kanker, obat tradisional tidak bisa menjadi anti kanker, namun agar pengobatan medis kanker bisa lebih efektif, memanfaatkan bahan rempah-rempah bisa menjadi solusi,” tuturnya dari siaran pers, Kamis (22/2/2020). Menurut Suwidjiyo, saat ini banyak produsen-produsen herbal dan jamu ilegal yang produknya bisa berbahaya bagi masyarakat. Dia mengapresiasi langkah Badan POM yang sering melakukan penindakan terhadap produk-produk obat ilegal berbasis obat-obatan tradisional. “Sayangnya, tangan BPOM belum banyak. Tenaganya harus ditambah, khususnya di daerah-daerah yang belum terjangkau dan belum diambil sampling," terang Suwidjiyo. Dia berharap, perlu ada posisi deputi khusus yang baru dibentuk di lembaga ini berfungsi menghilangkan obat-obat ilegal, jamu ilegal dan juga bahan kimia obat atau BKO. Suwidjiyo juga berharap, dengan adanya deputi khusus maka penindakan harus dilakukan dengan konsekuen, dalam arti pelanggar harus diberikan hukuman berat. Selama ini dia menilai produsen obat tradisional yang nakal tidak kapok. Pelaku masih kerap melakukan tindakan melawan hokum seperti ini berulang-ulang. "Di tingkat kejaksaan, BPOM pun hanya dijadikan saksi saja. Deputi baru ini diharapkan bisa membuat proses hukum lebih efektif lagi," ungkapnya.Sumber: https://lifestyle.bisnis.com/read/20200213/106/1200901/tenaga-sdm-bpom-perlu-ditambah-untuk-berantas-obat-ilegal.
Read more
REMPAH-rempah sebagai bahan dasar obat tradisional, sudah menjadi aset murni Bangsa Indonesia.
Sejarah mencatat komoditas ini pernah menjadi rebutan bangsa-bangsa Eropa yang mencari rempah sebagai bahan pengawet makanan, yang digunakan terutama di musim dingin.
Data Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2016 menyatakan, Indonesia adalah negara penghasil rempah-rempah terbesar ke-4 di dunia.
Total produksinya mencapai 113.649 ton, serta total ekspor mencapai USD 652,3 juta.
Dari data Negeri Rempah Foundation, sekitar 400-500 spesies rempah di dunia, 275 di antaranya berada di Asia Tenggara.
Dan, sebagian besar berada di Indonesia, hingga Indonesia dijuluki sebagai Mother of Spices.
Banyak penelitian dari lembaga luar maupun lokal yang membuktikan bahan-bahan dasar herbal dan jamu tersebut sangat baik untuk meningkatkan imunitas tubuh.
Sejak abad ke-15, rempah-rempah sudah diracik sebagai ramuan yang dipercaya secara turun-menurun untuk menjaga kesehatan tubuh.
Menurut Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada Suwidjiyo Pramono, kunyit dan temulawak merupakan salah satu jenis rempah-rempah yang bisa mendukung pengobatan medis bagi penderita kanker, khususnya efek samping kemoterapi.
“Herbal bisa menjadi terapi penyembuhan, tergantung dari jenis penyakitnya."
"Untuk kanker, obat tradisional tidak bisa menjadi anti kanker."
"Namun agar pengobatan medis kanker bisa lebih efektif, memanfaatkan bahan rempah-rempah bisa menjadi solusi,” tuturnya di Jakarta, Kamis (23/1/2020).
Menurutnya, saat ini banyak produsen-produsen herbal dan jamu ilegal yang produknya bisa berbahaya bagi masyarakat.
Ia pun mengapresiasi langkah Badan POM yang sering melakukan penindakan terhadap produk-produk seperti ini.
“Sayangnya, ‘tangan’ BPOM itu belum banyak. Tenaganya harus ditambah, khususnya di daerah-daerah yang belum terjangkau dan belum diambil sampling."
"Harapan saya, deputi khusus yang baru dibentuk di lembaga ini bisa menghilangkan obat-obat ilegal, jamu ilegal dan juga bahan kimia obat atau BKO,” tuturnya.
Suwidjiyo juga berharap, dengan adanya deputi khusus, maka penindakan harus dilakukan dengan konsekuen, dalam arti pelanggar harus diberikan hukuman berat.
“Selama ini saya melihat produsen obat tradisional yang nakal itu tidak kapok. Mereka kerap melakukan tindakan melawan hukum seperti ini berulang-ulang."
"Di tingkat kejaksaan, BPOM pun hanya dijadikan saksi saja. Deputi baru ini diharapkan bisa membuat proses hukum lebih efektif lagi,” urainya.
Saat disinggung mengenai peran BPOM untuk kemajuan UMKM obat tradisional, Suwidjiyo menegaskan saat ini tren mengonsumsi ramuan tradisional, khususnya jamu, sudah berubah.
Pemasaran jamu, katanya, mulai masuk ke kalangan generasi muda atau milenial, dengan strategi pemasaran yang lebih inovatif melalui kafe jamu atau jamu online.
Bahkan, produk jamu modern juga telah dilengkapi 2D barcode untuk mempermudah masyarakat mengetahui legalitas produk yang beredar.
“Kafe-kafe jamu ini harus dibina, dimajukan usahanya karena sangat empirik."
"Yang terpenting adalah cita rasanya diterima oleh konsumen,” imbuhnya.
Sejauh ini dukungan BPOM terhadap pengusaha herbal dan obat tradisional dalam meningkatkan daya saing, dimulai dari hulu ke hilir.
UMKM didampingi mulai dari tahap produksi hingga memperoleh Nomor Izin Edar (NIE).
Lembaga ini juga mengajak industri obat tradisional menjadi Bapak Angkat UMKM jamu, dengan menyediakan dukungan fasilitas, peningkatan kapasitas, dan pendampingan pengembangan UMKM.
Selain itu, dari sisi riset, BPOM berkomitmen melakukan pendampingan hilirisasi riset, untuk mendukung kemandirian dan daya saing produk obat herbal.
Dukungan percepatan hilirisasi melalui simplifikasi dalam proses sertifikasi dan registrasi:
1. Investasi industri dan usaha obat tradisional hingga tahun 2019 terdapat 116 Industri Obat Tradisional (IOT), 13 Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA) dan 672 UMKM obat tradisional.
2. Pembentukan Satuan Tugas Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Produk Biologi, Fitofarmaka, dan Jamu.
3. Jumlah riset hasil pendampingan Badan POM yaitu 15 riset obat dan bahan baku obat, 18 riset obat herbal, dan 6 riset pangan olahan.
Upaya percepatan perizinan juga terus dilakukan Badan POM melalui:
1. Simplifikasi bisnis proses registrasi;
2. Percepatan sertifikasi Cara Pembuatan yang Baik untuk mendukung kemudahan berusaha;
3. Digitalisasi proses registrasi;
4. Perluasan jalur notifikasi;
5. Simplifikasi timeline;
6. Perluasan program pendampingan.
Selama 2017- 2019, Badan POM telah melakukan pendampingan bagi 196 UMKM obat tradisional.
Badan POM juga terus mendorong industri obat tradisional untuk menghasilkan produk dengan kualitas ekspor, termasuk pengembangan riset obat herbal berupa inovasi penelitian produk fitofarmaka.Fasilitasi pembinaan dan pendampingan kepada pelaku usaha obat tradisional untuk meningkatkan kualitas dan daya saing produknya, terbukti membuahkan hasil.
Kini penetrasi produk obat tradisional kian percaya diri dalam menembus pasar global.
Tercatat dalam lima tahun terakhir, tren ekspor obat tradisional terus mengalami peningkatan.
Ekspor Obat Tradisional
Tahun Jumlah Produk2015 2512016 1622017 2622018 3032019 574. (*)
Sumber: https://wartakota.tribunnews.com/2020/01/27/guru-besar-farmasi-ugm-usul-tenaga-bpom-ditambah-untuk-perangi-obat-ilegal.
Jakarta – Mother of Spices, julukan bagi Indonesia, negara paling dominan se-Asia Tenggara dengan kepemilikan 275 spesies rempah dari 400-500 spesies di dunia berdasarkan data Negeri Rempah Foundation. Data Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2016 juga menyatakan Indonesia sebagai negara penghasil rempah ke-empat terbesar di dunia dengan total produksi 113.649 ton dan total ekspor mencapai USD 652,3 juta.
Kekayaan ragam rempah ini memberikan peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan dan memanfaatkan rempah-rempahnya bagi kemandirian dan daya saing bangsa. Ragam pemanfaatan rempah nusantara kini semakin berkembang seiring kemajuan teknologi dan upaya hilirisasi penelitian. Rempah tidak hanya digunakan sebagai bumbu masak, minuman kesehatan, dan kecantikan saja, namun sudah merambah ke berbagai komoditas lain.
Pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I PDI Perjuangan yang dibuka oleh Presiden RI, Joko Widodo di Jakarta, Jum’at (10/01), Kepala Badan POM RI, Penny K. Lukito menuturkan bahwa jamu, obat herbal berstandar, dan fitofarmaka merupakan salah satu transformasi pemanfaatan rempah dalam komoditas obat tradisional modern. “Tak hanya itu, rempah juga merambat pada pangan olahan dan kosmetik modern yang dapat memberikan kontribusi besar bagi perekonomian Indonesia,” ujarnya.
Seiring dengan ragam pemanfaatan rempah, berbagai terobosan dilakukan Badan POM dalam mendampingi dan mendukung potensi rempah nusantara untuk meningkatkan kemandirian dan daya saing industri dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Penny K. Lukito menyebutkan bahwa hingga tahun 2019 terdapat 129 industri obat tradisional dan 672 UMKM obat tradisional.
“Berdasarkan hasil pengawasan dan analisa Badan POM, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi pelaku usaha, antara lain pemenuhan persyaratan mutu produk dan Cara Produksi yang Baik, permodalan dan penguasaan teknologi, pengembangan dan hilirisasi produk, serta pemasaran produk terutama di kalangan generasi muda,” ungkap Penny K. Lukito.
Untuk membantu pelaku usaha menghadapi tantangan tersebut, Badan POM telah melakukan pendampingan hilirisasi riset melalui simplifikasi proses sertifikasi dan registrasi, percepatan perizinan Obat dan Makanan, dan pendampingan UMKM baik UMKM obat tradisional, kosmetik, maupun pangan. “Hal ini merupakan komitmen Badan POM dalam mendorong ragam pemanfaatan rempah agar mampu bersaing di pasar nasional dan global,” tambahnya.
Transformasi pemanfaatan rempah perlu didukung dengan ketersediaan hasil riset dan produk yang dapat dihilirisasi serta memenuhi persyaratan untuk didaftarkan di Badan POM. “Badan POM mendukung dengan pembentukan Satuan Tugas Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Jamu dan Fitofarmaka yang melibatkan 14 Kementerian/Lembaga, asosiasi pelaku usaha, organisasi profesi, dan Perguruan Tinggi,” jelas Penny K. Lukito lebih lanjut.
Sumber: Badan Pengawas Obat dan Makanan - Republik Indonesia (pom.go.id)
Yayasan Negeri Rempah (YNR) adalah sebuah organisasi nirlaba yang memiliki perhatian khusus pada pendidikan dan pembelajaran publik terutama pada isu-isu sejarah dan humaniora yang terkait dengan kebhinnekaan Indonesia melalui perspektif perdagangan rempah-rempah di Nusantara dari masa ke masa yang dikenal dengan sebutan Jalur Rempah. Yayasan Negeri Rempah dibentuk pada tahun 2018 seiring dengan bertumbuhnya komunitas.
Berkat rempah-rempah, Nusantara menjadi tempat bertemunya manusia dari berbagai belahan bumi yang sebagian besar memiliki semangat bukan semata untuk berdagang, tetapi untuk membangun peradaban.
Nusantara menjadi simpul penting pertukaran antarbudaya yang mempertemukan berbagai ide atau gagasan, konsep, ilmu pengetahuan, agama, bahasa, estetika, hingga adat kebiasaan. Jalur perdagangan rempah-rempah melalui laut inilah yang menjadi sarana bagi pertukaran antarbudaya yang berkontribusi penting dalam membentuk peradaban dunia.
Jalur rempah memberikan perspektif kontekstual yang unik sebagai pintu masuk untuk mendorong publik agar memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap keragaman yang telah membentuknya.
Yayasan Negeri Rempah memiliki visi untuk mendorong pembelajaran dan pemahaman antarbudaya melalui peran serta dan kolaborasi lintas sektoral dalam konteks lokal hingga global. Melalui yayasan ini, para ahli, praktisi maupun komunitas dari berbagai latar belakang keilmuan saling berbagi pengetahuan dan berbagi pengalaman dengan publik. Program-program Yayasan yang sebagian besar beranjak dari inisiatif masyarakat ini meliputi bidang pendidikan, kebudayaan, hingga pemberdayaan/usaha.
Yayasan membuka ruang interaksi melalui program pameran; sesi berbagi/diskusi/sarasehan; lokakarya; penerbitan buku; festival; ekspedisi budaya; hingga kolaborasi seni budaya, dan masih banyak lagi dengan sasaran yang lebih luas. Salah satu bentuk pengenalan sejarah “Jalur Rempah” ini dituangkan oleh Yayasan Negeri Rempah dalam merchandise yang dijual melalui platform Tees.co.id.
Sumber: Store Pasar Rempah dari Yayasan Negeri Rempah - Tees.co.id Official Blog
"Perdagangan rempah di Indonesia meninggalkan jejak peradaban dalam bentuk peninggalan situs bersejarah, upacara budaya, serta melahirkan produk budaya yang dihasilkan oleh sumber daya alam yang melimpah," kata pendiri Yayasan Negeri Rempah, Bram Kushardjanto dalam bincang-bincang bertajuk ‘Makan Sepinggan: Membaca Indonesia di Balik Rempah dan Makanan Nusantara' di Jakarta, Kamis (10/10).
"Pohon cengkih Afo bukan hanya tertua di dunia, tetapi memiliki nilai sejarah. Pada masa penjajahan, Belanda sempat membakar seluruh hutan rempah dan hanya tersisa ini untuk dijaga dan dilestarikan keberadaannya," ujar pendiri Komunitas Cengkeh Afo & Gamalama Spices, Kris Syamsudin kepada Harian Nasional.
Kris menyadari, diperlukan langkah nyata untuk menjaga eksistensi situs warisan ini. Karena itu pula, ia beserta kawan-kawan di satu komunitas rutin menghadirkan pelatihan yang bersifat edukatif, serta mengingatkan masyarakat bahwa menjaga kelestarian hutan itu sangat penting.
"Setelah itu bersama-sama masyarakat sekitar menjadi polisi hutan," kata dia, menambahkan.
Sumber: Harian Nasional, 17 Oktober 2019
Budaya yang harusnya memiliki pondasi literatur, kini makin tergerus oleh pesatnya perkembangan teknologi.
Rempah-rempah selalu identik dengan bahan baku masakan. Namun dalam arti yang lebih luas, rempah-rempah tidak sekedar bahan baku masakan.Rempah-rempah menyimpan berbagai cerita sejarah, jalur perdagangan, monopoli perdagangan sampai pembuatan hukum internasional. Melalui rempah-rempah, cerita tentang kekayaan negeri akan terkuak di permukaan.Sebut saja cengkeh. Cengkeh yang terdapat di Maluku sebagai jantung rempah-rempah Tanah Air memiliki latar belakang terbentuknya hukum laut. Ini lantaran Spanyol dan Portugis berebutan menguasai Maluku.Lalu, Bangka Belitung yang pernah menjadi penghasil lada, tentu menyimpan cerita sebagai jalur perdagangan. Karena di masa pentingnya, banyak ditemukan kapal-kapal tenggelam yang berikan keramik china semasa Dinasti Tang.Cerita-cerita tersebut akan diperoleh melalui beragam literasi, informasi dari para ahli maupun komunitas masyarakat setempat. "Jadi mau nggak mau belajar," ujar Kumoratih Kushardjanto, Ketua Negeri Rempah Foundation, yayasan yang bergerak untuk berbagi pengetahuan tentang Jalur Rempah dalam talk show dalam acara Travel Addict Festival, di Jakarta, belum lama ini.
Proses pembelajaran selain menambah pengetahuan juga untuk mengasah daya kritis. Seperti keinginan pemerintah mengajukan Jalur Rempah ke UNESCO sebagai world heritage.Lantas, sejauh mana label tersebut akan menguntungkan masyarakat? Misalnya, dari sisi ekonomi? Sampai saat ini, Negeri Rempah Foundation mengaku belum memiliki program tetap.Kegiatannya masih mengandalkan para relawan yang berasal dari kalangan ahli maupun pemerhati. Namun setiap tahunnya, organisasi tersebut memiliki kegiatan diskusi, menerbitkan buku, traveling maupun pasar rempah.Tahun ini, mereka akan membuat Internasional Forum on Spice Route. Kerena mereka memandang rempah tidak dapat dilihat hanya dari kacamata nasional melainkan juga internasional. Salah satunya mengingatkan bahwa, perdagangan rempah dalam negeri terjadi secara internasioanal.Kegiatan yang akan diisi oleh para pakar dan peneliti dari dalam dan luar negeri itu, akan menyandingkan Jalur Rempah setara dengan Jalur Sutra Maritim dari China dan Proyek Angin Muson dari Indonesia. Keduanya memiliki narasi mengolah jalur perdagangan.Negeri Rempah Foundation berawal perkumpulan komunitas budaya yang menelaah tentang ragam budaya di Tanah Air. Beberapakali, mereka diundang dalam acara terkait traveling dan budaya.Organisasi yang berdiri pada 2012 ini juga kerap melakukan diskusi tentang sejarah dan budaya tanah air dengan mendatangkan pakar.Suatu saat, Hassan Wirajuda, mantan menteri luar negeri yang kerap menjadi relawan diskusi mengusulkan kegiatan sebagai yayasan supaya berlanjutan.Pada 2018, kegiatan yang berbingkai Jalur Rempah tersebut menjadi yayasan. Mereka memiliki keinginan untuk mengembalikan tradisi belajar.
Urusan rempah-rempah tidak sekadar menghasilkan cita rasa pada masakan. Namun, rempah-rempah mampu menghasilkan sebuah hukum internasional. Itulah yang terjadi saat kita menelusuri sejarah.Ketika Maluku, sebagai daerah penghasil rempah-rempah di Nusantara, diperebutkan antara Spanyol dan Portugis sekitar abad ke 15, kedua negara tersebut pernah membelah bumi menjadi dua sebagai wilayah kekuasaannya. Maluku menjadi incaran dan diperebutkan karena menghasilkan cengkeh dan pala yang laku di pasar Eropa."Ada eksplorasi dari barat ke timur, tujuannya untuk mencari Pulau Maluku sebagai penghasil cengkeh dan pala," ujar Bram Kushardjanto, Anggota Dewan Pembina Negeri Rempah Foundation. Eksplorasi tersebut membelah penguasaan bumi bagian barat oleh Spanyol dan timur oleh Portugis.Perjanjian Zaragoza merupakan perjanjian terakhir setelah Perjanjian Tordensillas antara Spanyol dan Portugis. Dalam Perjanjian Zaragoza, Spanyol mendapatkan wilayah sebelah barat dari garis demargasi, mulai dari Meksiko hingga Kepulauan Filipina.
Sedangkan Portugis mendapatkan wilayah bagian timur dari Brazil ke timur hingga Kepulauan Maluku. Penguasaan penjajah di suatu wilayah pun menjadi dasar kolonialisme dan perbudakan."Kalau nggak ada pala dan cengkeh, nggak ada hukum itu," ujar dia tentang perjanjian yang dilakukan Spanyol dan Portugis. Sepertihalnya saat Belanda menguasai Nusantara termasuk Maluku yang kemudian membuat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda.Suatu saat, Belanda kekurangan modal karena biaya pengiriman rempah-rempah sampai ke negaranya sangat mahal. Solusinya, mereka menjual saham. "Kalau nggak ada VOC nggak ada bursa efek di Indonesia," ujar dia tentang awal munculnya bursa efek di dalam negeri.Bagi Bram, cerita-cerita dibalik rempah-rempah perlu disebarluaskan, baik melalui hastag maupun berbagai penyelenggaraan acara. Karena, cerita tersebut banyak mengandung nilai sejarah perkembangan bangsa serta perannya di dunia internasional.Di harapkan dengan cara tersebut, pemerintah dan para pakar terketuk untuk lebih peduli terhadap rempah-rempah di Tanah Air.
Perjalanan wisata tidak sekedar selfie lalu di upload di media sosial. Lebih dari itu, perjalanan wisata merupakan proses menyelami daerah tujuan untuk mengenal hingga menghargai kehidupannya.Hal tersebutlah yang dirasakan Ni Nyoman Sri Natih, arkeolog dan Josh Catti Rahadi, fotografer, saat beberapakali tergabung dalam perjalanan Jalur Rempah. Kehidupan masyarakat lokal maupun kebiasaan yang dilakukannya menjadi pemandang yang menarik untuk diselami dan diabadikan.Ni Nyoman Sri Natih memilih untuk mengosongkan "isi kepalanya" saat berkunjung ke suatu daerah. "Jadi yang saya tahu, saya "buang dulu isi kepala" saya," ujar dia saat membagi pengalamannya dalam ajang Travel Addict Festival, Sabtu (7/9).Dengan begitu, ia akan berlajar sesuatu hal baru. Bahkan saat menginjakkan kaki di tempat tujuan, ia telah mendapatkan pengalaman baru. Apalagi, kalau dia dapat ngobrol dengan penduduk setempat.Bagi perempuan yang biasa disapa Natih ini, mengatakan, berkunjung ke suatu daerah tidak bisa hanya dalam hitungan jam. Dirinya perlu untuk menginap di salah satu rumah penduduk, minimal seminggu."Jadi bisa ngerti aktivitas mereka selama 24 jam," ujar dia yang senang mengamati kehidupan masyarakat lokal. Karena dalam kehidupan masyarakat lokal, ada perbedaan aktifitas yang dilakukan perempuan, laki-laki maupun anak-anak.Melibatkan komunitas lokal menjadi cara untuk mengenal daerah secara lebih dalam. Dari merekalah, segala informasi mengenai suatu daerah dapat diperoleh termasuk menghormati aturan-aturan masyarakat setempat.
Terlebih terkadang, perjalanan tidak sesuai ekspektasi karena berbagai macam kendala, salah satunya cuaca. "Jadi sebenarnya, kita harus bisa berkomunikasi dengan orang lokal. Karena sesungguhnya mereka (orang lokal) ingin berinteraksi dengan pendatang," ujar dia.Josh Catti Rahadi yang berprofesi sebagai fotografer memiliki pengalaman berbeda dalam mengambil gambar selama perjalanan. Yang paling utama, dia harus cermat menggunakan waktu saat pengambilan gambar."Kalau waktunya pendek harus memutar otak supaya dapat terus ikut rombongan. Supaya tidak mencari (obyek) sendiri," ujar dia.Berbeda dengan perjalanan travel pada umumnya yang lebih banyak mengambil obyek peserta perjalanan. Selama Jelajah Rempah, Josh, begitu dia biasa disapa, lebih banyak menyambil obyek kehidupan masyarakat.Seperti masyarakat yang tengah mengambil cengkih. Dia akan mengabadikan ekpresi pengambil cengkih, proses pengambilan cengkih, alat yang digunakan maupun proses setelah panen."Memang butuh kesabaran sih," ujar dia. Namun hasilnya, dia dapat mengabadikan kehidupan masyarakat lokal. Alhasil perjalanan yang dilakukan tidak sekedar selfie melainkan memaknai kehidupan masyarakat lokal dan alamnya.
Sumber: Proses Belajar dari Jalur Rempah - Koran-Jakarta.com
KOMPAS.com - Peran Indonesia sebagai Jalur Rempah diyakini dimulai sejak ribuan tahun lalu di era prakolonial. Tetapi pernyataan itu masih membutuhkan bukti kuat dan pengakuan dari negara-negara lain. Hal tersebut dipaparkan oleh Bram Kushardjanto dari Yayasan Negeri Rempah dalam Media Brief International Forum on Spice Route (ISFR) secara daring, pada Sabtu (19/9/2020). "Untuk mendapatkan pengakuan tentang tuanya Jalur Rempah Indonesia dari UNESCO, diperlukan bukti dan pengakuan dari negara-negara yang disinggahi para pedagang rempah dari kerajaan-kerajaan nusantara pada zaman dahulu," terang Bram. Tetapi, menurutnya, hingga saat ini peran Indonesia (kerajaan-kerajaan di nusantara) prakolonial dalam Jalur Rempah belum mendapatkan pengakuan dari negara-negara lain. Yayasan Negeri Rempah meyakini, dalam perjalanan sejarah, Indonesia berperan penting dalam perekonomian dunia karena posisi yang strategis sebagai jalur maritim dunia.
Indonesia di Asia Timur memiliki posisi strategis karena menghubungkan Asia Timur, Asia Selatan, Timur Tengah hingga Eropa. Asia Tenggara merupakan sumber komoditas yang paling dicari dan paling berharga yaitu rempah-rempah. Rempah-rempah yang menjadi komoditas utama adalah cengkeh, pala, dan bunga pala. Rempah-rempah tersebut mendorong perkembangan perdagangan internasional di Asia Tenggara. Jalur Rempah adalah jalur komoditas rempah yang melintasi banyak area dan berbagai pelabuhan di dunia terutama dari wilayah nusantara barat melintasi Asia, Afrika hingga Eropa. "Meski para pedagang Eropa banyak yang mengeksplorasi laut untuk mencari rempah-rempah. Tetapi Penjelajahan Samudera Eropa untuk mencari rempah-rempah tersebut terkait dengan penjajahan (kolonialisme)," imbuhnya. Sementara itu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia RI meyakini, kerajaan-kerajaan Indonesia pada zaman dahulu sebelum era kolonial telah mengeksplorasi Jalur Rempah.
Diperkirakan, peran Indonesia dalam Jalur Rempah dunia telah mencapai ribuan tahun (2.000-5.000 tahun) jauhnya dibandingkan dari perkiraan para sejarawan Barat. Terlebih pohon Cengkeh (Eugenia aromatica) merupakan tumbuhan asli (endemik) di Pulau Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan. Pala dan bunga pala berasal dari pohon Pala (Miristica fragrans) merupakan tumbuhan endemik Pulau Banda. Rempah-rempah aromatik seperti kemenyan (Styrax benzoin) dan kamper (Dryobalanops aromaticum) berasal dari getah pohon endemik Sumatera. Beberapa komoditas rempah lain juga berasal dari Sumatera seperti kayu manis (Cinnamomum burmanii) dan lada (Piper nigrum). Rempah-rempah seperti cendana (Santalum album) dan kemiri (Aleurites moluccana) tumbuh di pulau-pulau di nusantara timur. "Penting dilakukan penelitian dan berbagai upaya lebih lanjut untuk menentukan di mana titik-titik pendaratan Jalur Rempah dari wilayah Indonesia. Dalam rangka semakin menegaskan peran Indonesia sebagai Jalur Rempah Dunia sejak zaman prakolonial," terangnya. Maka dari itu, sebagai salah satu upayanya, Yayasan Negeri Rempah bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menyelenggarakan kegiatan International Forum on Spice Route 2020 secara daring pada 21-24 September 2020.Sumber: https://www.kompas.com/skola/read/2020/09/19/180018569/peran-indonesia-sebagai-jalur-rempah-sejak-masa-prakolonial?page=all
JAKARTA, METRO – Ternate dan Tidore tidak hanya menjanjikan keindahan alam, tetapi juga kekayaan sejarah serta tradisi budaya. Banyak kisah lampau tentang dua pulau kecil yang berdampingan di Laut Maluku itu. Salah satunya tentang keberadaan jalur rempah.
Diketahui, jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara, Nusantara telah menjadi pemain penting di dunia lewat rempah-rempahnya.
Jejak sejarah itu lah yang mendasari Yayasan Negeri Rempah untuk membuka wawasan masyarakat melalui perjalanan wisata yang menyenangkan.Ketua Dewan Pembina Yayasan Negeri Rempah Hassan Wirajuda mengatakan, Indonesia merupakan pusat penghasil rempah yang telah diakui dunia. Menurutnya, perdagangan rempah kemudian turut memengaruhi petukaran budaya dari berbagai bangsa.
“Perdagangan itu menghadiahkan kontak antar orang dan bangsa yang berbeda. Dari sana ada pertukaran budaya, filsafat, dan teknologi,” kata Hassan Wirajuda dalam siaran tertulis, Kamis (18/7).
Mantan Menteri Luar Negeri era Reformasi itu pun berharap upaya memperkenalkan sejarah tanah air terus ditingkatkan. Dalam hal ini, peran pemerinah tentunya sangat diharapkan.
“Kesadaran akan masa lalu kita sangat penting. Seperti Bung Karno pernah bilang, ‘hanya bangsa besar yang bisa menghargai sejarahnya’. Kami mengingatkan para pengambil kebijakan, baik di pusat dan daerah, akan pentingnya pembelajaran untuk generasi muda tentang sejarah,” jelasnya.
Di Ternate dan Tidore diketahui ada pohon Cengkeh Afo, yang diyakini sebagai cengkeh tertua di dunia. Usianya diperkirakan mencapai ratusan tahun. Di sekitar Cengkeh Afo, tersebar tanaman pala, yang juga komoditas andalan dari Ternate dan Tidore.
Sejarah mencatat, cengkeh merupakan alasan mengapa begitu banyak bangunan benteng di sekitar Ternate dan Tidore. Benteng-benteng terebut dibangun oleh Spanyol dan Portugis tidak lain adalah untuk melindugi cengkeh, yang kala itu dianggap sebagai harta karun.
Benteng yang tersebar di wilayah Ternate dan Tidore di antaranya Benteng Tolukko, Benteng Kastela, Benteng Tore, dan Benteng Tahula. Tidak hanya sejarah, ragam kuliner lokal Ternate dan Tidore seperti papeda yang disantap bersama gohu tuna juga patut dicoba. (mg7/jpnn)
Sumber: Kenali Kekayaan Nusantara Melalui Jalur Rempah - Posmetro Padang
Cuaca kurang bersahabat siang itu tak mengendurkan semangat serombongan orang dari Jakarta mendaki salah satu bukit di Pulau Ternate, Provinsi Maluku Utara. Bukit Cengkeh Afo-biasa masyarakat setempat menyebutnya, merupakan salah satu sisi punggung Gunung Gamalama. Menjadi istimewa sekaligus prestise, karena bukit ini tempat bertahtanya Cengkeh Afo, pohon cengkeh tertua di dunia.
Mendaki bukit Cengkih Afo yang bermedan curam dan licin berlumut mesti ekstra hati-hati. Lengah sedikit saja, jurang terjal menganga di kiri kanan bukit mampu sekejap mengubah perjalanan indah menjadi mimpi buruk. Kendati begitu, mendaki bukit Cengkih Afo tetaplah menyenangkan, bahkan serasa mencumbu dan menyingkap kembali tabir kejayaan rempah-rempah Nusantara tempo dulu.
Ada tiga pohon Cengkeh Afo di bukit ini, yakni Cengkeh Afo I, II dan III. Kini, yang masih tersisa Cengkeh Afo 1 berumur sekitar 200 tahun, tumbuh tak jauh dari gerbang masuk bukit. "Cengkeh Afo ini salah satu jejak sejarah kejayaan rempah-rempah Nusantara di Ternate, hingga mengundang bangsa-bangsa dunia khususnya Eropa berlayar dan singgah di Nusantara," kata Didit, pemandu rombongan tim Jelajah Negeri Rempah mendaki bukit Cengkeh Afo.
Selain pohon cengkeh, bukit yang memiliki ketinggian kurang lebih 600 meter dari permukaan laut (Mdpl) ini juga ditumbuhi komoditas rempah lainnya, yakni pala dan kayu manis, termasuk kelapa, coklat, dan pinang. Yang membuat perjalanan makin berkesan, pengunjung dimanjakan suguhan kopi dan teh berbahan rempah, termasuk melihat langsung teknik memasak Rimo-Rimo yang dikerjakan sekelompok ibu-ibu.
Rimo-Rimo sendiri adalah aneka makanan yang disajikan dengan proses pemanggangan di dalam ruas bambu, dan diolah dengan campuran rempah-rempah terbaik dari tanah Moloku Kie Raha (julukan Maluku Utara/tempat berdirinya empat gunung yang merupakan kawasan kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan).
Teknik memasak tradisional hingga citarasa, sensasi serta aroma klasik masakan Rimo-Rimo yang menebar wangi khas rempah ketika matang, kiranya sangat layak jika Rimo-Rimo ditahbiskan menjadi kuliner istimewa di Ternate. Bukit Cengkeh Afo hanyalah satu titik singgah tim Jelajah Jalur Rempah.
Trip culture yang digagas Yayasan Negeri Rempah bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Kemaritiman (Kemenkomar) ini, juga menapaki banyak titik jalur rempah lainnya di Nusantara. Dalam skala lebih luas, jejak jalur rempah bahkan berada di posisi strategis keping poker peradaban dunia. Membentang luas hingga ke negeri-negeri "di atas angin" yaitu China, India, Timur Tengah, sampai Eropa.
Identitas dan Spirit Membangun Negeri
Sejarah membuktikan, bahwa Indonesia pernah menjadi salah satu penggerak globalisasi Asia. Tampaknya tak berlebihan pula bila dikatakan bahwa Indonesia senantiasa memegang peranan penting dalam perekonomian kawasan regional Asia Tenggara sejak dahulu kala. Selain secara geografis amat strategis menghubungkan negeri-negeri "di atas angin", Nusantara juga merupakan sumber komoditas paling berharga dan dicari, yakni rempah-rempah.
Sebagai pemain utama dalam sejarah penting yang mengubah peta sejarah dunia, seyogianya masyarakat Indonesia berupaya lebih serius untuk melakukan pelurusan sejarah agar peristiwa-peristiwa di masa lalu dapat dijelaskan secara lebih berimbang. Fakta bahwa Nusantara pernah menjadi penghasil dan pemasok komoditas rempah-rempah dunia tentu tak dapat dinafikan.
Daya tarik cengkeh, pala, dan bunga pala bahkan menjadi dorongan utama perkembangan perdagangan internasional di Asia Tenggara pada masa itu. Pohon cengkeh (Eugenia aromatica, Kuntze ) adalah tanaman asli (endemik) Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan. Sedangkan pala dan bunga merahnya didapat dari pohon pala (Myristica fragrans, Linn), endemik Pulau Banda.
Tak kalah penting, jenis rempah aromatik dari getah tanaman pohon endemik Sumatera, yaitu kemenyan (Styrax benzoin) dan kamper/kapur (Cinna momum camphora dan Dryo balanops aromaticum). Beberapa komoditas penting lain seperti kayu manis (Cinnamomum burmanii) dan lada (Pipernigrum ) juga banyak dihasilkan di Sumatera.
Demikian pula cendana (Santalum album) dan kemiri (Aleurites moluccana) yang banyak tumbuh di kepulauan bagian timur Nusantara. Kayanya komoditas rempah inilah yang telah menarik bangsa asing datang ke Nusantara. Bukti awal ada peran Nusantara dalam percaturan dagang di Samudera Hindia datang dari seorang astronom Yunani bernama Claudius Ptolomaeus, yang tinggal di Alexandria, Mesir, pada abad ke-1 Masehi (M).
Ia menulis Guide to Geography, peta kuno di mana di dalamnya tercantum nama sebuah kota bernama Barus, yang tampaknya merupakan kota pelabuhan kuno yang amat penting di Sumatera dan dunia. Nama kota emporium ini mengingatkan kita pada sebuah komoditas aromatik rempah, yang kala itu amat berharga dan senantiasa diburu oleh bangsa-bangsa dunia, Yunani, Romawi, Mesir, Arab, Tiongkok, Hindustan, yakni kapur barus.
Meski sejumlah sumber China sebelum abad ke-14 mengenal asal cengkeh dari Maluku, hanya ada satu catatan bertarik 1350, yang betul-betul menulis Jung China langsung berlayar dari China ke daerah tersebut. Pengumpulan dan pengangkutan rempah Maluku ke belahan dunia barat Nusantara ditangani sepenuhnya oleh orang-orang Melayu, Jawa, dan Banda.
Lalu, para pedagang dari Melayu, Arab, Persia, dan China membeli rempah dari Nusantara, kemudian dibawa dengan kapal ke Teluk Persia dan didistribusikan ke seluruh Eropa melalui Konstantinopel (Istanbul) di wilayah Turki saat ini, dengan harga mencapai 600 kali lipat.
Perdagangan rempah di Nusantara juga secara masif meninggalkan jejak peradaban yang signifikan berupa peninggalan situs sejarah, situs budaya, hingga melahirkan beragam produk budaya yang terinspirasi dari alam Nusantara yang kaya. Tampak sekali, di masa lalu orang-orang berbagai bangsa berbondong-bondong ke Nusantara tidak semata untuk berdagang, tetapi lebih pada untuk membangun peradaban.
Mulai dari pelabuhan Barus di Sumatera Utara yang diperkirakan ahli sudah berusia lebih dari 5.000 tahun, Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kejayaan Wangsa Syailendra, Kerajaan Kahuripan, hingga negara-negara bandar seperti di Banten, Maluku, dan Sulawesi. Semuanya terbentuk karena perdagangan rempah-rempah alias politik ekonomi masa itu.
Beranjak dari kesejarahan yang panjang dan temuan-temuan ilmiah inilah, narasi besar Jalur Rempah menjadi penting digelorakan. Ini juga untuk membungkam berbagai argumentasi dari para ahli terutama dari luar, yang banyak memperdebatkan Jalur Rempah hingga kurang mendapatkan apresiasi. Kondisi makin rumit, ditambah selama ini masyarakat Indonesia senantiasa memahami sejarah Nusantara dari perspektif asing (Barat).
Hal ini pula yang kemudian memunculkan ide dan narasi besar Yayasan Negeri Rempah, sebuah organisasi nirlaba, untuk merestropeksi kembali eksistensi Indonesia di kancah dunia, dengan mengangkat keragaman kacamata lokal dalam memaknai kekayaan rempah Indonesia berikut sejarah di dalamnya.
Narasi Jalur Rempah yang berangkat dari inisiatif masyarakat ini memiliki semangat untuk belajar dan menularkan antusiasmenya kepada publik yang lebih luas tentang betapa pentingnya masyarakat Nusantara mengenal sejarah dan budaya negeri sendiri, betapapun dengan cara yang sederhana. Program komunitas ini tentunya dikemas secara populer agar tetap terasa ringan, bersahabat, dan menginspirasi publik untuk terus belajar bersama.
Yayasan Negeri Rempah juga memiliki perhatian khusus pada pendidikan dan pembelajaran publik terutama pada isu-isu sejarah dan humaniora yang terkait terbentuknya Indonesia melalui perspektif perdagangan global dari masa ke masa, terutama rempah-rempah. Perspektif Jalur Rempah bahkan diyakini dapat menjadi entry point sekaligus memberikan bingkai yang kontekstual untuk memahami Indonesia.
Karena Jalur Rempah bukan hanya berisi perdagangan rempah-rempah, tetapi juga sekaligus menghasilkan pertukaran ilmu, sosial-budaya, bahasa, keahlian, keterampilan, dan bahkan agama di antara manusia yang berasal dari berbagai tempat yang jauh. Jalur Rempah merupakan melting pot berbagai konsep, gagasan, dan praksis.
Dan, Jalur Rempah menjadi sarana perpindahan semua itu, dari satu tempat ke tempat lain. Pengetahuan dan pemahaman terhadap hal tersebut di atas menjadi penting untuk senantiasa dipupuk dan ditumbuhkan, agar manusia Indonesia tak lupa dengan multikulturalisme yang telah membentuknya. Narasi besar Jalur Rempah ini sebagai diplomasi sekaligus posisi tawar kita, dan untuk lebih mempertegas jati diri atau identitas bangsa.
"Satu hal yang penting ditekankan, membicarakan jalur rempah jangan malah kita terjebak apalagi mengulang nostalgia masa lalu yang tak mengenakkan. Di mana, dulunya di masa kolonial, kekayaan rempah-rempah ini menjadi penyebab bangsa kita sengsara, dijajah bahkan memicu perang saudara. Jalur rempah mesti menjadi spirit bangsa mewujudkan kemajuan," ujar Hasan Wirajuda, Menteri Luar Negeri periode 2001-2009 yang saat ini menjabat Ketua Dewan Pembina Yayasan Negeri Rempah.
Sumber: Jalur Rempah di Keping Poker Peradaban Dunia | SINDOnews | LINE TODAY
BERWISATA ke Ternate dan Tidore, sarat akan destinasi wisata alam yang cantik, yang juga kental dengan sejarah dan budaya. Saat melancong kesana, wisatawan dapat menyusuri berbagai destinasi di sepanjang jalur rempah.
Banyak kisah lampau yang sangat memikat dari Ternate dan Tidore. Salah satunya komoditas rempah yang besar dan sampai sekarang ada.
Sejarah menyebutkan, jauh sebelum bangsa Eropa melakukan akivitas perdagangan di Asia Tenggara, Nusantara telah jadi pemain penting di dunia lewat rempah-rempahnya. Pada abad ke-15, bangsa Portugis menemukan rute ke Maluku.
Tepatnya di Pulau Ternate dan Tidore banyak lahan cengkeh yang mengundang minat bangsa Eropa lainnya, seperti Spanyol dan Belanda untuk bersaing menguasai wilayah di jalur rempah. Sampai pada saat itu Gubernur Jenderal Belanda pernah membakar lahan perkebunan cengkeh di sana secara besar-besaran pada akhir abad ke-16.
Dua bangsa itu saling memperebutkan lahan cengkeh, sampai akhirnya menyulut perlawanan dari Kesultanan Ternate dan Tidore terhadap Belanda. Jejak sejarah itu, sangat disayangkan jika tergerus zaman.
Lewat Spice Route Connextion Indonesia (SRCI) yang digagas oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Yayasan Negeri Rempah, generasi milenial diajak menyusuri jalur rempah.
Staf Khusus Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Dr Ary Prihardhyanto Keim, MSc menjelaskan, rempah tidak hanya sekedar dianggap untuk bumbu masak atau obat. Tapi bisa bisa mengembalikan kejayaan Nusantara di masa sekarang.
"Generasi milenial ini punya potensi ketertarikan akan informasi rempah. Rasa ingin tahu dan Nasionalismenya tinggi, apalagi mengenal rempah lebih jauh," ucap Ary.
Sambil berwisata ke Ternate dan Tidore, Anda bisa menyusuri jalur rempah. Dimulai dari berkunjung ke lokasinya ditanamnya pohon Cengkeh Afo, yang diyakini sebagai cengkeh tertua di dunia. Usianya diperkirakan mencapai ratusan tahun. Di sekitar Cengkeh Afo, tersebar tanaman pala, yang juga komoditas andalan dari Ternate dan Tidore.
Lalu di sana ada bangunan benteng di sekitar Ternate dan Tidore. Benteng-benteng terebut dibangun oleh Spanyol dan Portugis tidak lain adalah untuk melindungi cengkeh, yang kala itu dianggap sebagai harta karun.
Benteng yang tersebar di wilayah Ternate dan Tidore di antaranya Benteng Tolukko, Benteng Kastela, Benteng Tore, dan Benteng Tahula. Okezone pun sempat menginjakkan kaki di sana beberapa waktu lalu. Nuansanya asri dan begitu indah. Pengalaman ini sungguh tak terlupakan hingga kini.
Jangan lupa, liburan ke Ternate dan Tidore Anda bisa mencicipi ragam kuliner lokal. Di pagi hari, Anda bisa menyantap nasi kuning yang gurih, lalu cobain papeda dengan kuah ikan tuna untuk makan siang yang mantap.
Dilanjutkan di sore hingga malam hari, Anda bisa ikan-ikan segar yang dibakar dengan bumbu rempah khas. Atraksi sang penjual saat memotong ikan juga membawa kesan tersendiri selama di sana.
Ketua Dewan Pembina Yayasan Negeri Rempah Hassan Wirajuda mengatakan, dengan mudahnya wisatawan mengeksplorasi sambil mengenal khasanah budaya di masa lalu. Peningkatan perdagangan rempah, kemudian turut mempengaruhi pertukaran budaya dari berbagai bangsa.
"Kami mengingatkan para pengambil kebijakan, baik di pusat dan daerah, akan pentingnya pembelajaran untuk generasi muda tentang sejarah ini," tandasnya.
Sumber: Serunya Eksplorasi Jalur Rempah di Ternate dan Tidore : Okezone Travel
TABLOIDBINTANG.COM - Ternate dan Tidore, dua pulau kecil yang berdampingan di Laut Maluku, tidak hanya menjanjikan keindahan alam. Tapi juga kekayaan sejarah dan tradisi budaya.
Banyak kisah lampau yang sangat memikat. Salah satunya terkait keberadaan jalur rempah. Perlu diketahui, jauh sebelum bangsa Eropa melakukan akivitas perdagangan di Asia Tenggara, Nusantara telah jadi pemain penting di dunia lewat rempah-rempahnya.
Pada abad ke-15, bangsa Portugis menemukan rute ke Maluku. Ternate dan Tidore menarik perhatian mereka karena keberadaan cengkeh. Cengkeh juga yang kemudian mengundang minat bangsa Eropa lainnya, seperti Spanyol dan Belanda, untuk datang dan saling bersaing untuk menguasai wilayah di jalur rempah.
Salah satu gubernur jenderal Belanda pernah membakar lahan perkebunan cengkeh di sana secara besar-besaran pada akhir abad ke-16. Itu dilakukan karena cengkeh sedang diperebutkan oleh Spanyol dan Portugis. Peristiwa tersebut akhirnya menyulut perlawanan dari Kesultanan Ternate dan Tidore terhadap Belanda.
Jejak sejarah tersebut tentu amat sayang jika harus tenggelam oleh zaman. Ini yang mendasari Yayasan Negeri Rempah untuk membuka wawasan masyarakat melalui perjalanan wisata yang menyenangkan sekaligus mencerahkan.
Rabu (17/7), Yayasan Negeri Rempah mengajak sejumlah wartawan untuk menelusuri lokasi-lokasi bersejarah di mana Jalur Rempah bermula. Dimulai dari pohon Cengkeh Afo, yang diyakini sebagai cengkeh tertua di dunia. Usianya diperkirakan mencapai ratusan tahun. Di sekitar Cengkeh Afo, tersebar tanaman pala, yang juga komoditas andalan Ternate dan Tidore.
Sejarah mencatat, cengkeh merupakan alasan mengapa begitu banyak bangunan benteng di sekitar Ternate dan Tidore. Benteng-benteng tersebut dibangun oleh Spanyol dan Portugis tidak lain adalah untuk melindugi cengkeh, yang kala itu dianggap sebagai harta karun. Benteng yang tersebar di wilayah Ternate dan Tidore di antaranya Benteng Tuloko, Benteng Kastela, Benteng Tore, dan Benteng Tahula.
Sambil menengok sejarah, peserta juga dimanjakan oleh ragam kuliner lokal. Setelah menyantap nasi kuning di pagi hari, papeda jadi pilihan yang paling tepat untuk santap siang. Papeda, yang merupakan makanan khas masyarakat Indonesia Timur, bisa dinikmati dengan gohu ikan, sajian ikan tuna mentah dengan saus yang khas.
Petualangan sehari penuh diakhiri di kedai Ikan Bakar Terminal. Di sana pengunjung bisa memilih ikan-ikan segar untuk disantap. Tak hanya memanjakan perut, atraksi sang penjual saat memotong ikan juga membawa kesan tersendiri.
Hassan Wirajuda, Ketua Dewan Pembina Yayasan Negeri Rempah, mengatakan, "Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan Yayasan Negeri Rempah dalam upaya menggali khasanah budaya dan sejarah bangsa masa lalu kita."
Dikatakan Hassan Wirajuda lebih lanjut, Indonesia merupakan pusat penghasil rempah yang telah diakui dunia. Perdagangan rempah kemudian turut mempengaruhi pertukaran budaya dari berbagai bangsa.
"Perdagangan itu menghadiakan kontak antar orang dan bangsa yang berbeda. Dari sana ada pertukaran budaya, filsafat, dan teknologi," sebut mantan Menteri Luar Negeri RI itu.
Hassan berharap upaya memperkenalkan sejarah terus ditingkatkan. Terutama kepada generasi milenial. Dalam hal ini peran pemerintah tentunya juga sangat dinantikan.
"Kesadaran akan masa lalu kita sangat penting. Seperti Bung Karno pernah bilang, 'hanya bangsa besar yang bisa menghargai sejarahnya'. Kami mengingatkan para pengambil kebijakan, baik di pusat dan daerah, akan pentingnya pembelajaran untuk generasi muda tentang sejarah," tandasnya.
(ari)
Sumber: Menyusuri Kekayaan Budaya dan Sejarah Nusantara Lewat Jalur Rempah - Tabloidbintang.com
jpnn.com, MALUKU - Ternate dan Tidore tidak hanya menjanjikan keindahan alam, tetapi juga kekayaan sejarah serta tradisi budaya. Banyak kisah lampau tentang dua pulau kecil yang berdampingan di Laut Maluku itu. Salah satunya tentang keberadaan jalur rempah.
Jejak sejarah itu lah yang mendasari Yayasan Negeri Rempah untuk membuka wawasan masyarakat melalui perjalanan wisata yang menyenangkan.
Ketua Dewan Pembina Yayasan Negeri Rempah Hassan Wirajuda mengatakan, Indonesia merupakan pusat penghasil rempah yang telah diakui dunia. Menurutnya, perdagangan rempah kemudian turut memengaruhi petukaran budaya dari berbagai bangsa.
“Kesadaran akan masa lalu kita sangat penting. Seperti Bung Karno pernah bilang, 'hanya bangsa besar yang bisa menghargai sejarahnya'. Kami mengingatkan para pengambil kebijakan, baik di pusat dan daerah, akan pentingnya pembelajaran untuk generasi muda tentang sejarah," jelasnya.
Di Ternate dan Tidore diketahui ada pohon Cengkeh Afo, yang diyakini sebagai cengkeh tertua di dunia. Usianya diperkirakan mencapai ratusan tahun. Di sekitar Cengkeh Afo, tersebar tanaman pala, yang juga komoditas andalan dari Ternate dan Tidore. Benteng bersejarah di Maluku.
Sejarah mencatat, cengkeh merupakan alasan mengapa begitu banyak bangunan benteng di sekitar Ternate dan Tidore. Benteng-benteng terebut dibangun oleh Spanyol dan Portugis tidak lain adalah untuk melindugi cengkeh, yang kala itu dianggap sebagai harta karun. Benteng yang tersebar di wilayah Ternate dan Tidore di antaranya Benteng Tolukko, Benteng Kastela, Benteng Tore, dan Benteng Tahula. Tidak hanya sejarah, ragam kuliner lokal Ternate dan Tidore seperti papeda yang disantap bersama gohu tuna juga patut dicoba.(mg7/jpnn)Sumber: https://www.jpnn.com/news/mengenal-kekayaan-budaya-dan-sejarah-nusantara-melalui-jalur-rempah
GenPI.co - Ternate dan Tidore, dua pulau kecil yang berdampingan di Laut Maluku, tidak hanya menjanjikan keindahan alam. Tapi juga kekayaan sejarah dan tradisi budaya. Banyak kisah lampau yang sangat memikat. Salah satunya terkait keberadaan jalur rempah.
Ketua Dewan Pembina Yayasan Negeri Rempah, Hassan Wirajuda mengatakan Indonesia merupakan pusat penghasil rempah yang telah diakui dunia. Perdagangan rempah kemudian turut mempengaruhi pertukaran budaya dari berbagai bangsa.
"Perdagangan itu menghadiahkan kontak antar orang dan bangsa yang berbeda. Dari sana ada pertukaran budaya, filsafat, dan teknologi," ujar Hassa dalam keterangan persnya, Kamis (18/7/2019).
Hassan berharap upaya memperkenalkan sejarah terus ditingkatkan. Dalam hal ini peran pemerintah tentunya juga sangat dinantikan.
Perlu diketahui, jauh sebelum bangsa Eropa melakukan akivitas perdagangan di Asia Tenggara, Nusantara telah jadi pemain penting di dunia lewat rempah-rempahnya. Pada abad ke-15, bangsa Portugis menemukan rute ke Maluku.
Ternate dan Tidore menarik perhatian mereka karena keberadaan cengkeh yang kemudian mengundang minat bangsa Eropa lainnya, seperti Spanyol dan Belanda, untuk datang dan saling bersaing untuk menguasai wilayah di jalur rempah.
Sumber: Hal 2 : Wisata Jalur Rempah di Maluku, Kekayaan Sejarah Nusantara (genpi.co)
JAKARTA - Selain memiliki kekayaan keindahan alam, Indonesia juga dikenal dengan banyaknya rempah-rempah yang menjadi warisan budaya. Mulai dari lada hingga kunyit.
Berdasarkan data Negeri Rempah Foundation, tercatat ada 400-500 spesies rempah, dan dari 275 itu di antaranya berada di Asia Tenggara yang di dominasi oleh Indonesia. Julukan untuk Indonesia sendiri menjadi Mother of Spices.
Seperti yang dilansir dari laman Instagram @kementerianpertanian , Jakarta, Jumat (17/7/2020). Sejumlah kawasan di Indonesia seperti Jambi, pulau Jawa, Kalimantan Tengah dan Timur, Maluku, NTT hingga Papua. Berikut beberapa daftar rempah yang menjadi andalan ekspor Indonesia.
1. Lada
Si kecil yang berbentuk biji dan bercita rasa pedas ini mempunyai nama latin Piper Nigrum Linn. Rempah ini diperkirakan berasal dari India. Namun, ternyata tanaman ini banyak tersebar di wilayah Indonesia. Seperti Aceh, Jambi, Kalimantan,Lampung, Sumatera hingga Yogyakarta.
2. Cengkeh
Cengkeh biasanya ditemui di beberapa masakan hingga minuman hangat. Rempah ini berasal dari Ternate dan Tidore yang berada di Kepulauan Maluku. Lalu, cengkeh saat ini tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
3. Kayu manis
Rempah ini mempunyai aroma yang sangat harum. Biasanya rempah ini dijumpai di berbagai macam kue atau minuman.
4. Pala
Tanaman ini selain digunakan sebagai rempah-rempah pala juga bisa digunakan sebagai penghasil minyak astiri. Tanaman ini merupakan tanaman khas Banda dan Maluku, banyak tersebar di daerah Timur Indonesia.
5. Vanili
Sebenarnya, tanaman ini berasal dari Meksiko. Namun, di Indonesia juga sudah banyak dibudidayakan. Terutama di wilayah Barat dan Tengah Indonesia.
6. Jahe
Jahe dengan ciri khas rasa pedas dan biasanya digunakan untuk bahan makanan, obat hingga permen.
7. Kunyit
Tanaman ini dikenal dengan ciri khas warna yang dikeluarkan yaitu warna kuning. Tanaman ini tumbuh cukup banyak di berbagai wilayah Asia Tenggara. Indonesia menjadi salah satu negara penghasil kunyit terbaik.
(kmj)
Sumber: Daftar Produk Rempah RI yang Mendunia, Nomor 6 Sempat Mahal Efek Corona : Okezone Economy
Fimela.com, Jakarta “Jalur Rempah Bukan Jalur Sutera” itulah kalimat yang terus dibicarakan oleh Ketua Yayasan Negeri Rempah Bram Kushardjanto saat sesi “Kumpul Komunitas” yang merupakan bagian dari acara International Forum On Spice Route (IFSR) 2019 di Museum Nasional, Jakarta, Sabtu (23/03/2019).
Kalimat tersebut sebenarnya juga sudah sejak lama diucapkan oleh sejarawan JJ Rizal, tepatnya pada Oktober 2015 lalu saat pameran Jalur Rempah yang diadakan di Museum Nasional. “Kami memiliki cita-cita bahwa nantinya anak, cucu kita mengenal yang namanya Jalur Rempah,” terang Bram.
Bram dan teman-temannya di Yayasan Negeri Rempah percaya dan sangat optimis bahwa masyarakat Indonesia bisa memperkenalkan Jalur Rempah ke seluruh dunia. “Kami bukan berusaha untuk menjadi heroik. Artinya begini, kayaknya sudah waktunya kita punya national branding, nation pride, kita punya identitas, kita sebagai merek lah,” tambah Bram.
“Kalau mereka bisa bikin Jalur Sutera, mereka bisa bikin apa, masa kita nggak punya? Setiap bangsa punya hak untuk membesarkan dirinya, kan? Itu sebuah ke niscayaan. Jadi untuk kami, mengapa kami begitu ngotot dengan perjuangan Jalur Rempah ini, karena sebetulnya itu, dari jalur rempah kita bisa bicara apa saja,” jelas Bram panjang lebar.
Dalam sesi “Kumpul Komunitas” ada empat komunitas yang dihadirkan, yakni Hysteria Semarang, Ternate Heritage Society, Sahabat Cagar Budaya Palembang, dan Komunitas Masak Akhir Pekan. Maulana dari Ternate Heritage Society menjelaskan bahwa memperkenalkan Jalur Rempah adalah tugas seluruh masyarakat Indonesia.
“Semoga harapan dan cita-cita kita bisa tercapai. Dan untuk mencapainya tentu ini adalah tugas kita bersama,” jelas Maulana. Melalui sesi “Kumpul Komunitas” tersebut Bram juga mengajak para komunitas dan seluruh masyarakat Indonesia untuk sama-sama mempromosikan Jalur Rempah, walaupun hanya dengan sebuah posting-an yang diberi tagar atau hashtag #JalurRempah.
“Tahun ini Indonesia mengajukan Jalur Rempah sebagai World Heritage ke UNESCO. Kami butuh sekali bantuan dari teman-tean semua. Yuk, kalau kita dapat sesuatu cerita tentang rempah, suatu cerita tentang kemaritiman, posting di Instagram, pasang hashtag #JalurRempah,” pungkas Bram.
Sumber: IFSR 2019: Ajak Komunitas untuk Menyebarkan Tagar #JalurRempah - FimelaHood Fimela.com
Jakarta, CNBC Indonesia - Peradaban pra-kemerdekaan memperlihatkan Indonesia adalah satu titik di jalur perdagangan rempah internasional yang penting.Hassan Wirajuda, Pembina Yayasan Negeri Rempah, mengatakan Sriwijaya adalah titik penting dari rempah dan menghubungkan antara Nusantara, Beijing, India, Persia, dan Timur Tengah.Posisi geopolitik nusantara yang sangat strategis, dengan kofigurasi kepulauan yang memiliki ribuan selat digunakan untuk banyak pelayaran dan perdagangan, menjadikan Nusantara, sebutan Indonesia kala itu, sebagai makro kosmos.
Walaupun hal ini, menurut Hassan, berujung malapetaka sebab komoditas rempah yang sangat dicari saat itu telah berubah menjadi monopoli perdagangan.Rempah yang dalam bahasa latin bernama "species" diartikan sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai lebih yang spesial. Azyumardi Azra, seorang profesor sejarah UIN Jakarta mengatakan nilai itu didapat karena rempah menjadi suatu barang untuk sesembahan dan penyembuhan.
Mengutip UNESCO dalam acara IFSR (International Forum on Spice Route) 2019, Azyumardi mengatakan bahwa rempah mempunyai rute yang terbentang dari Kepulauan Maluku, Lautan India, Laut Merah, Gurun Sinai, Laut Mediterania, dan Pantai Selatan Eropa.Bahkan jalur perdagangan rempah sudah dimulai pada tahun 2000 sebelum masehi. Azyumardi yakin bahwa yang memulai hal tersebut adalah orang-orang Mesir kuno. Islam menjadi patokan bagi Azyumardi yang membangkitkan rute ekspansi rempah dunia."Rute ini bangkit karena rute ekspansi islam selama masa muslim Umayyad dan Abbasid pada peridoe abad 7-8 Masehi. Para pedagang muslim harus bersila pada Raja Sriwijaya. Mereka juga berlayar ke Maluku sebagai pusat rute perdagangan rempah dan mendapat perlindungan dari penguasa lokal. Sehingga mereka bisa menciptakan international free trade," ucap Azyumardi pada konferensi IFSR 2019 di Museum Nasional, Jakarta, beberapa waktu lalu.Masuknya para penjelajah Eropa menjadikan Nusantara sebagai daerah cosmopolitan menurut Azyumardi. Rute perdagangan rempah telah berkembang fungsinya menjadi persebaran kultur dan agama.
Nusantara pada abad 1480-1650 disebut Anthony Reid sebagai "Age of Commerce" karena menjadi pusat pertemuan perdagangan internasional.Rempah-rempah Maluku seperti cengkeh dan pala menjadi barang terpanas dari perdagangan global, sampai VOC mendirikan monopoli pada tahun 1650.Rute perdagangan antara Mediterania dan Asia Timur pun tersegmentasi dengan para pedagang selat (Pasal, Melaka, Banten, Palembang, Aceh, Patani). Bahkan setelah larangan perdagangan selama berabad-abad menurut Anthony, China 1568 dan Jepang 1590-1653 mengirimkan perdagangan legalnya ke Asia Tenggara.Hal ini menjadikan pelabuhan di Asia Tenggara sebagai bagian penting dari interaksi antara Cina dan negara lainya.Menyangkut rute rempah-rempah, China dan India-lah yang justru diyakini oleh Chee-Beng Tan yang memiliki kontak awal dengan Asia Tenggara. Profesor dari Universitas Sun Yat-Sen ini menyebutkan bahwa sebelum Arab, Persia, dan Yunani mencapai Asia Tenggara, China dan India sudah dapat memperoleh rempah-rempah dari Pantai Barat India, seperti Malabar.
Di Tiongkok, cengkeh mulanya menjadi komoditas rampah yang diimpor dan digunakan pada saat Dinasti Han yang disebut sebagai Jishexiang. Bahkan para Menteri pada zaman Dinasti Han juga sudah menghisap kayu manis. Selain itu, Tiongkok juga sudah mengimpor pala dari Nusantara pada abad 4 atau 5 Masehi.Pada perdagangan sutera dan rempah-rempah ketika Timur dan Arab sudah mapan, peran Kapal Tiongkok dan India menurut Chee-Beng Tan menjadi teknologi canggih.Kapal kargo China bernama "Song Boat" ditemukan di Pantai Houzhu pada 1973 dengan panjang sebesar 24 meter dan lebar sebesar 9 meter. Chee-Beng Tan mengatakan kapal itu tenggelam pada 1271 Masehi.Produk yang diangkut dalam kapal tersebut adalah untuk keperluan medis seperti lada, kacang areca, ambar, cangkang kura-kura, kayu laka, dan kayu gaharu.(prm)
Sumber: Indonesia, Jalur Rempah Dunia, & Petaka Monopoli (cnbcindonesia.com)
Page 8 of 10