REMPAH-rempah sebagai bahan dasar obat tradisional, sudah menjadi aset murni Bangsa Indonesia.
Sejarah mencatat komoditas ini pernah menjadi rebutan bangsa-bangsa Eropa yang mencari rempah sebagai bahan pengawet makanan, yang digunakan terutama di musim dingin.
Data Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2016 menyatakan, Indonesia adalah negara penghasil rempah-rempah terbesar ke-4 di dunia.
Total produksinya mencapai 113.649 ton, serta total ekspor mencapai USD 652,3 juta.
Dari data Negeri Rempah Foundation, sekitar 400-500 spesies rempah di dunia, 275 di antaranya berada di Asia Tenggara.
Dan, sebagian besar berada di Indonesia, hingga Indonesia dijuluki sebagai Mother of Spices.
Banyak penelitian dari lembaga luar maupun lokal yang membuktikan bahan-bahan dasar herbal dan jamu tersebut sangat baik untuk meningkatkan imunitas tubuh.
Sejak abad ke-15, rempah-rempah sudah diracik sebagai ramuan yang dipercaya secara turun-menurun untuk menjaga kesehatan tubuh.
Menurut Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada Suwidjiyo Pramono, kunyit dan temulawak merupakan salah satu jenis rempah-rempah yang bisa mendukung pengobatan medis bagi penderita kanker, khususnya efek samping kemoterapi.
“Herbal bisa menjadi terapi penyembuhan, tergantung dari jenis penyakitnya."
"Untuk kanker, obat tradisional tidak bisa menjadi anti kanker."
"Namun agar pengobatan medis kanker bisa lebih efektif, memanfaatkan bahan rempah-rempah bisa menjadi solusi,” tuturnya di Jakarta, Kamis (23/1/2020).
Menurutnya, saat ini banyak produsen-produsen herbal dan jamu ilegal yang produknya bisa berbahaya bagi masyarakat.
Ia pun mengapresiasi langkah Badan POM yang sering melakukan penindakan terhadap produk-produk seperti ini.
“Sayangnya, ‘tangan’ BPOM itu belum banyak. Tenaganya harus ditambah, khususnya di daerah-daerah yang belum terjangkau dan belum diambil sampling."
"Harapan saya, deputi khusus yang baru dibentuk di lembaga ini bisa menghilangkan obat-obat ilegal, jamu ilegal dan juga bahan kimia obat atau BKO,” tuturnya.
Suwidjiyo juga berharap, dengan adanya deputi khusus, maka penindakan harus dilakukan dengan konsekuen, dalam arti pelanggar harus diberikan hukuman berat.
“Selama ini saya melihat produsen obat tradisional yang nakal itu tidak kapok. Mereka kerap melakukan tindakan melawan hukum seperti ini berulang-ulang."
"Di tingkat kejaksaan, BPOM pun hanya dijadikan saksi saja. Deputi baru ini diharapkan bisa membuat proses hukum lebih efektif lagi,” urainya.
Saat disinggung mengenai peran BPOM untuk kemajuan UMKM obat tradisional, Suwidjiyo menegaskan saat ini tren mengonsumsi ramuan tradisional, khususnya jamu, sudah berubah.
Pemasaran jamu, katanya, mulai masuk ke kalangan generasi muda atau milenial, dengan strategi pemasaran yang lebih inovatif melalui kafe jamu atau jamu online.
Bahkan, produk jamu modern juga telah dilengkapi 2D barcode untuk mempermudah masyarakat mengetahui legalitas produk yang beredar.
“Kafe-kafe jamu ini harus dibina, dimajukan usahanya karena sangat empirik."
"Yang terpenting adalah cita rasanya diterima oleh konsumen,” imbuhnya.
Sejauh ini dukungan BPOM terhadap pengusaha herbal dan obat tradisional dalam meningkatkan daya saing, dimulai dari hulu ke hilir.
UMKM didampingi mulai dari tahap produksi hingga memperoleh Nomor Izin Edar (NIE).
Lembaga ini juga mengajak industri obat tradisional menjadi Bapak Angkat UMKM jamu, dengan menyediakan dukungan fasilitas, peningkatan kapasitas, dan pendampingan pengembangan UMKM.
Selain itu, dari sisi riset, BPOM berkomitmen melakukan pendampingan hilirisasi riset, untuk mendukung kemandirian dan daya saing produk obat herbal.
Dukungan percepatan hilirisasi melalui simplifikasi dalam proses sertifikasi dan registrasi:
1. Investasi industri dan usaha obat tradisional hingga tahun 2019 terdapat 116 Industri Obat Tradisional (IOT), 13 Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA) dan 672 UMKM obat tradisional.
2. Pembentukan Satuan Tugas Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Produk Biologi, Fitofarmaka, dan Jamu.
3. Jumlah riset hasil pendampingan Badan POM yaitu 15 riset obat dan bahan baku obat, 18 riset obat herbal, dan 6 riset pangan olahan.
Upaya percepatan perizinan juga terus dilakukan Badan POM melalui:
1. Simplifikasi bisnis proses registrasi;
2. Percepatan sertifikasi Cara Pembuatan yang Baik untuk mendukung kemudahan berusaha;
3. Digitalisasi proses registrasi;
4. Perluasan jalur notifikasi;
5. Simplifikasi timeline;
6. Perluasan program pendampingan.
Selama 2017- 2019, Badan POM telah melakukan pendampingan bagi 196 UMKM obat tradisional.
Badan POM juga terus mendorong industri obat tradisional untuk menghasilkan produk dengan kualitas ekspor, termasuk pengembangan riset obat herbal berupa inovasi penelitian produk fitofarmaka.Fasilitasi pembinaan dan pendampingan kepada pelaku usaha obat tradisional untuk meningkatkan kualitas dan daya saing produknya, terbukti membuahkan hasil.
Kini penetrasi produk obat tradisional kian percaya diri dalam menembus pasar global.
Tercatat dalam lima tahun terakhir, tren ekspor obat tradisional terus mengalami peningkatan.
Ekspor Obat Tradisional
Tahun Jumlah Produk2015 2512016 1622017 2622018 3032019 574. (*)
Sumber: https://wartakota.tribunnews.com/2020/01/27/guru-besar-farmasi-ugm-usul-tenaga-bpom-ditambah-untuk-perangi-obat-ilegal.