Liputan6.com, Jakarta - Diajukannya Jalur Rempah sebagai Warisan Dunia ke UNESCO oleh pemerintah Indonesia bagaikan gayung bersambut. Upaya ini meningkatkan antusiasme masyarakat yang setidaknya sejak 2014 telah menggulirkan narasi Jalur Rempah dalam berbagai kegiatan yang bersifat sporadis.

Yayasan Negeri Rempah dan Jaringan Masyarakat Negeri Rempah, sebuah jejaring simpul komunitas yang tersebar di beberapa daerah bahkan mancanegara, semakin gencar memberikan ruang untuk menyuarakan gagasan-gagasan tentang Jalur Rempah di masyarakat.

Meski begitu, pengakuan sebagai warisan dunia bukanlah tujuan utamanya. Narasi besar Jalur Rempah itu hanya sebuah pintu masuk agar kita dapat memaknai keberagaman yang membentuk Indonesia hari ini.

 

Menurut Prof. Johannes Widodo, Ph.D. dari National University of Singapore dalam International Forum on Spice Route (IFSR) 2021, Selasa, 21 September 2021, ia mengingatkan kembali tentang pentingnya pemanfaatan (warisan) budaya secara etis dan bertanggung jawab.

Mengenai pengusulan sebagai warisan dunia, Johannes melihat bahwa ada kecenderungan pemerintah Indonesia melihatnya dari aspek pariwisata, investasi dan perdagangan semata yang memiliki potensi eksploitasi. "Contohnya suda ada. Kita lihat bagaimana Borobudur dan Pulau Komodo yang menerima peringatan dari pihak UNESCO karena dinilai melakukan pembangunan yang tidak berkelanjutan. Itu harus dikaji dan diperhatikan dengan baik," terangnya.

Johannes juga mengajukan pertanyaan tentang paradigma pembangunan. Di satu sisi adalah pembangunan yang berfokus pada materialitas demi kepentingan ekonomi semata, dan di sisi lainnya adalah pembangunan yang berfokus pada kesejahteraan masyarakat.

"Kalau saya melihat pemerintah nampaknya lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur yang pada akhirnya kurang memiliki keberpihakan pada budaya dan masyarakatnya," ucapnya.