“Merayakan Keberagaman dan Pemahaman Antarbudaya melalui ‘Jalur Rempah’ sebagai Salah Satu Warisan Bersama Milik Dunia”
Jalur Rempah adalah jejaring maritim yang menghubungkan Timur dan Barat, terbentang sepanjang 15.000 km dari pantai barat Jepang, kepulauan Indonesia, India, Timur Tengah hingga Mediterania. Sebagai komoditas, rempah-rempah memainkan peran yang unik. Rempah-rempah merupakan produk alam yang melebihi fungsi alamiahnya, mempengaruhi pola hidup dan pengetahuan masyarakat lintas budaya dan bangsa. Perdagangan dan pertukaran melalui laut kemudian mempercepat perkembangan budaya dan peradaban dunia. Lebih dari sekedar koridor perdagangan, Jalur Rempah telah menjadi warisan tempat berlangsungnya apresiasi terhadap keragaman dan akulturasi. Setiap pelabuhan dan kota dalam koridor Jalur Rempah selalu menjadi tempat bertumbuhnya budaya dan ide dari berbagai negara. Setiap unsur budaya yang mengalir dalam koridor Jalur Rempah ini tidak menggantikan unsur budaya lainnya, melainkan alih-alih mewariskan pola budaya yang eksklusif, kesatuan budaya yang kaya diwariskan kepada generasi berikutnya – kekayaan budaya yang inklusif dan merupakan warisan milik bersama, karena otentisitas satu budaya tidak tercipta tanpa integrasi dengan budaya lain.
Di antara berbagai capaian peradaban manusia: dari perkembangan teknologi pangan (pertanian, hortikultura, peternakan), domestikasi hewan, pengetahuan manusia dan lain-lain; rempah-rempah dan praktik perdagangan seringkali tidak disadari berkontribusi dalam pengembangan budaya tak berwujud dalam bentuk keragaman dan integrasi/akulturasi melalui interkonektivitas. Kontribusi Jalur Rempah memberi kita momentum bagi peradaban masa kini, untuk bercermin pada masalah budaya tak berwujud yang terkait dengan keragaman dan akulturasi antar bangsa. Sejarah telah mencatat bahwa pencapaian peradaban manusia tidak terlepas dari kerjasama internasional. Melalui Jalur Rempah, kita kembali dapat merefleksikan kembali kesamaan nilai-nilai yang universal antar bangsa.
Tentang Program
International Forum on Spice Route (IFSR) merupakan sebuah forum tahunan yang membuka peluang dialog lintas batas dan lintas budaya dalam meninjau kembali jejak kemaritiman berbasis Jalur Rempah yang menjadi pusaka alam dan pusaka budaya warisan bersama dalam lingkup regional.
Tujuan
Program
Kuliah umum, diskusi panel,sesi berbagi, dan kegiatan komunitas.
Partisipan
Kamis, 24 September
16.30 – 17.30 WIB
Pembicara:
1. JJ Rizal (Sejarawan)
2. Winarni D. Soewarno (Museum Bank Indonesia)
Moderator: Irfan Nugraha (Yayasan Negeri Rempah / Universitas Indonesia)
Kejayaan rempah di masa lalu membuat rempah di masa itu selayaknya mata uang yang bahkan bernilai seperti emas. Rempah termahal di Eropa diantaranya pala, cengkeh, dan lada. Rempah tersebut dihasilkan di Indonesia, tetapi dipasarkan di Eropa oleh pedagang Arab dan Tiongkok dengan harga tinggi. Rempah memicu perkembangan perdagangan internasional. Maraknya perdagangan internasional mendorong munculnya jasa penyedia keuangan, yakni industri perbankan.
JJ Rizal melihat melalui perspektif sejarah yang menarik, di mana pada masa tersebut peredaran uang kadang dianggap tidak wajar dengan adanya kelas ‘orang kaya’. Kelas orang kaya ini juga kerap memamerkan kekayaan mereka. Lahirlah mitos-mitos, misalnya tuyul, sebagai makhluk pencuri uang yang memberi kekayaan pada kelas orang kaya. Mitos ini merupakan tanggapan atas fenomena penumpukan kekayaan dan tabiat kelas orang kaya dengan "menuduh" kelas orang kaya menggunakan makhluk halus untuk keuntungan mereka.
Selengkapnya
Kamis, 24 September 2020
14.05 – 16.05 WIB
1. Rachmat Sarwono (Jamu Borobudur)
2. Sigit Ismaryanto (Alam Sari Interbuana)
3. Nuning S. Barwa (Dewan Rempah Indonesia)
4. Nova Dewi Setiabudi (Suwe Ora Jamu)
5. Jony Yuwono (Acaraki)
Moderator: Sari Wulandari (Yayasan Negeri Rempah / Universitas Bina Nusantara)
Hidup sehat dengan konsumsi asupan organik, sehat, dan tanpa kimia telah menjadi tren. Tren ini memberi peluang untuk memasarkan produk herbal lokal, misalnya jamu. Rachmat Sarwono mencontohkan Borobudur Extraction Center yang mengolah rempah menjadi produk kesehatan berkualitas dalam bentuk jamu dengan memanfaatkan teknologi modern. Ini karena standar industri kesehatan yang ketat dan butuh teknologi modern untuk mewujudkannya. Sigit Ismaryanto menjelaskan bahwa jamu menguntungkan karena 99% bahan bakunya adalah rempah yang berasal dari dalam negeri. Tantangannya adalah untuk bisa menjaga kualitas dari produk bahan baku maupun olahan rempah karena budidaya yang belum profesional, ketersediaan dan kebutuhan yang tidak seimbang, serta kurangnya dukungan pembiayaan. Untuk menjaga mutu salah satunya menggunakan sains. Namun sains kerap dianggap dapat mengancam nilai yang terkandung dalam produk tradisional. Orientasi sains harus digeser menjadi "sains hijau" (green science) yang ramah lingkungan dan menjadi alternatif produk olahan rempah di samping olahan tradisional.
12.30 – 13.55 WIB
1. Dr. Hardadi Airlangga (Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang / Perhimpunan Dokter Nahdlatul Ulama)
2. Sri Astutik, M.Si. (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Moderator: Dr. Tjahjo Suprajogo, M. Si. (Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca)
Salah satu produk olahan rempah yang bisa jadi unggulan adalah jamu. Sri Astutik menerangkan potensi rempah, seperti jahe dan kunyit, untuk kesehatan. Potensi ini dapat membuat jahe dan kunyit jadi komoditas yang bahkan dapat diekspor. Namun untuk dapat mewujudkannya, perlu menjaga nilai produk agar bisa dipasarkan sampai internasional, salah satunya melalui skema insentif untuk petani.
Dr. Hardadi Airlangga mencontohkan jamu sebagai pemanfaatan potensi kesehatan dari rempah. Jamu adalah zat pembantu yang dapat mencegah dan memelihara kondisi tubuh, bukan mengobati penyakit. Namun dengan melakukan penelitian ilmiah terhadap jamu, nilai jamu dapat bertambah. Peluang ini harusnya bisa dimanfaatkan oleh Indonesia dengan menjadikan jamu sebagai produk olahan rempah unggulan yang dihasilkan Indonesia. Jamu di Indonesia tidak hanya produknya, tetapi juga nilai-nilai moral, nilai etika, dari cara menanam, dan cara proses pengambilan zat daun yang akan menambah nilai jamu sebagai produk.
10.30 – 12.05 am
1. Andreas Ardian Pramaditya (Blibli.com)
2. Peter Wijayanto (Palem Mustika)
3. Dra. Effiati Aryoko, Apt. (Yayasan Budi Andhika Selaras)
Moderator: Chaedar Saleh (Yayasan Negeri Rempah)
Untuk menjaga mutu produk rempah, perlu adanya standar dan pemberlakuan izin yang memastikan mutu suatu produk untuk bisa dipasarkan. Effiati Aryoko mencontohkan standar dari The American Spice Trade Association (ASTA). Di Indonesia ada Standar Nasional Indonesia (SNI). Hanya saja, SNI masih belum banyak dikenal UMKM. Berbagai sertifikasi atau izin dapat diberikan melalui Dinas Kesehatan Kabupaten dengan mengikuti penyuluhan, selain melalui BPOM. Keuntungan yang dapat diperoleh adalah meningkatkan kepercayaan atas mutu produk, jaminan keamanan, memperluas pemasaran, meningkatkan daya saing, dan nilai tambah produk. Salah satu kendala dalam menjaga kualitas produk adalah rantai pasokan berupa proses distribusi. Kendala tersebut, seperti dijelaskan Peter Wijayanto, di antaranya biaya mahal, produksi rendah dan musiman, sarana penyimpanan tidak memadai, dan kesulitan mencari rekan untuk menyalurkan atau mendapatkan stok. Andreas Ardian Pramaditya menceritakan pengalaman Galeri Indonesia Blibli dalam mendorong pemasaran, terutama melalui online untuk UMKM.
08.45 – 10.20 WIB
1. Dr. Tukul Rameyo Adi (Staf Ahli Bidang Sosio-Antropologi, Kemenko Kemaritiman dan Investasi)
2. Agus P. Saptono (Konsul Jenderal RI, Mumbai, India)
Moderator: Bram Kushardjanto (Yayasan Negeri Rempah)
Peran rempah besar bagi Indonesia karena menjadi salah satu daya tarik yang menjadikan Indonesia titik bertemunya berbagai peradaban. Dr. Tukul Rameyo Adi menjelaskan Indonesia memiliki berbagai modal dari aspek sosial dan budaya yang seharusnya dapat dimaksimalkan untuk bisa memanfaatkan posisinya sebagai titik temu berbagai peradaban. Dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024, salah satu fokusnya adalah pengarusutamaan modal sosial budaya dengan memberi budaya lokal seperti pengetahuan tradisional sebagai aktor utama. Salah satunya melalui sektor pariwisata yang beragam dari wisata alam, budaya, sejarah, kuliner, wisata buatan, wisata kesehatan, dan banyak lagi. Tujuannya adalah mengembangkan perekonomian lokal dengan meningkatkan ketertarikan pada produk lokal.
Perkembangan ini tidak hanya konsumsi dalam negeri, tetapi juga dapat dilakukan via ekspor, seperti misalnya dengan India yang telah lama menjalin hubungan perdagangan rempah dengan Indonesia. Namun Agus P. Saptono menyatakan ada beberapa kendala yang harus ditanggulangi, seperti tarif ekspor dan standar tinggi pada produk yang akan diekspor. Hambatan ini harus dihadapi dengan kerja sama antar pemerintah serta peningkatan kualitas produk yang akan diekspor untuk bisa menembus pasar India sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
23 September 2020
1. Dr. Jajang Gunawijaya (Lembaga Pengembangan dan Penelitian Sosial Politik UI)
2. Andi Abdul Rahman Azis (Badan Promosi Pariwisata Maluku Tenggara)
3. Prof. Dr. Dietrich G. Bengen (Institut Pertanian Bogor)
4. Isyak Meirobi M. Si (Wakil Bupati Belitung)
Moderator: Irfan Nugraha (Yayasan Negeri Rempah)
Salah satu potensi yang bisa dikelola untuk memajukan perekonomian melalui Jalur Rempah adalah pariwisata. Pariwisata ini dapat ditawarkan dengan paket perjalanan khusus ke daerah Jalur Rempah seperti Morotai, Ambon, Buton, hingga Makassar. Pariwisata tersebut selain mengenalkan wilayah pariwisata, juga mengenalkan berbagai produk rempah, seperti untuk kuliner dan kesehatan. Sektor pariwisata tersebut harus berkelanjutan dengan memperhatikan aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial-budaya. Beberapa program yang bisa dilakukan adalah pengembangan literasi sejarah yang lebih interaktif, digital, dan inklusif; pemberdayaan masyarakat dan sosialisasi potensi; pengembangan agrowisata; dan pemanfaatan olahan rempah sebagai souvenir. Di Kepulauan Kei, misalnya, juga diadakan festival Wer Warat/Wer Skee sebagai daya tarik. Rempah dapat menjadi potensi ekonomi selain tambang yang merusak, seperti lada di Belitung sebagai alternatif tambang timah.
13.00 - 16.00 WIB
1. Prof. Dr. Rokhmin Dahuri (Institut Pertanian Bogor)
2. Mizan Lubnan (Docking.Id)
3. Kaisar Akhir (Maritim Muda Nusantara)
4. Dr. Safri Burhanuddin (Kemenko Kemaritiman dan Investasi RI)
5. Kocu Andre Hutagalung (Indonesia Re)
6. Ibrahim Kholilul Rochman (Samudera Indonesia Research Initiative)
Moderator: Nugroho
Jalur Rempah dapat menjadi peluang ekonomi bagi Indonesia. Tiongkok telah melakukan aksi serupa dengan memajukan jalur sutra OBOR (One Belt-One Route) dan BRI (The Belt and Road Initiative). Untuk mampu memanfaatkannya, Indonesia harus terlebih dahulu memperoleh pengakuan atas inisiatif Jalur Rempah. Jalur Rempah ini dapat berperan mewujudkan pembangunan sektor kelautan; Kawasan Industri Maritim Terpadu di 23 wilayah di Indonesia; bioteknologi kelautan; kerja sama terhormat dengan negara lain, termasuk Tiongkok; memperkuat posisi Indonesia di dunia; dan mendukung pertahanan dan keamanan.
Setidaknya ada 4 nilai yang harus dijunjung, yaitu kedaulatan, keamanan, pembangunan, dan keberlanjutan ramah lingkungan. Tantangannya adalah belum ada tanggapan kritik dan saran yang memadai untuk industri pelayaran; informasi kurang terbuka; promosi di dunia digital masih kurang; dan data kurang merata. Padahal, ekonomi kelautan, atau Ekonomi Biru, sudah menjadi visi pembangunan melalui Perpres No.16 tahun 2017. Ekonomi Biru didasarkan pada 5 asas pembangunan, yaitu inklusi sosial, pengelolaan tanpa limbah, pengelolaan yang efisien, teknologi yang inovatif dan adaptif, serta menghasilkan peningkatan ekonomi. Tidak hanya memanfaatkan sumber daya laut, peluang ekonomi dari laut juga dapat melalui sektor logistik dan transportasi laut.
13.00 – 15.00 WIB
1. Edy Setiojo (Direktur Utama Taman Wisata Candi Borobudur dan Ratu Boko)
2. I Gusti Putu (Navigator Ekspedisi Samudraraksa)
3. Dicky Surya Atmadja (ICOMOS Indonesia)
Moderator: Muhammad Iqbal Darmawan
Kejayaan peradaban maritim di Nusantara tercatat dalam berbagai bukti, seperti misalnya pada Candi Borobudur. Dalam relief Candi Borobudur, salah satunya mengisahkan kapal Samudraraksa yang tangguh dengan teknik pembuatan yang unik karena tidak menggunakan paku. Seorang peneliti berusaha membuat tiruan kapal tersebut pada 8 November 1982. Tiruan tersebut, dibangun berdasarkan teknik dan bahan pembuatan Samudraraksa, berhasil berlayar dari Jakarta ke Cape Town di Afrika Selatan.
Kapal replika Samudraraksa sepenuhnya menggunakan kemudi layar, menempuh waktu 14 bulan sepanjang tahun 2003-2004 dengan menempuh jarak 44.000 km. Ekspedisi Samudraraksa berlangsung dari Jakarta hingga ke Ghana (Accra) yang ditempuh dengan 4 leg perjalanan, membawa awak pelaut tradisional sebanyak 3 orang, pelaut milenial sebanyak 10 orang, hingga sejumlah awak asing lainnya. Rute yang dilalui dari Ancol menuju Seychelles (29 hari), Madagaskar (20 hari), Cape Town, dan Ghana.
Tentu pelayaran bukan hanya dilakukan bangsa Indonesia. Sejarah mencatat, terutama dengan adanya catatan-catatan pelayaran, navigasi, dan peta, bahwa bangsa lain juga melakukan pelayaran, bahkan sejak masa Mesir Kuno. Dicky Surya Atmadja mengisahkan mengenai pelayaran di berbagai bangsa, mulai dari Babilonia yang mengenal T-O Map, peta yang hanya terdiri dari Eropa, Asia, dan Afrika; peta buatan Ptolomeus yang lebih detail; dan berbagai peta dari peradaban-peradaban Asia, seperti Dinasti Fatimid dari Arab dan Al-Idris, serta peradaban Tiongkok. Ini membuktikan bahwa pelayaran telah jadi sarana penghubung antar bangsa sejak dahulu kala.
09.30 – 12.00 WIB
1. Dr. Junus Satrio Atmodjo (Yayasan Negeri Rempah)
2. Ratna Dewi (Seloko Institut / WWF Jambi)
3. M. Ridwan Alimuddin (Ekspedisi Bumi Mandar / Perahu Pustaka)
4. Widjanarka Arka (Universitas Palangkaraya)
Moderator: Dr. Tjahjo Suprajogo (IPDN Kemendagri / Pendiri Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca)
Sungai memiliki peranan yang tidak kalah penting dari laut dalam membentuk kawasan Jalur Rempah. Peranan sungai yang paling utama adalah menghubungkan Laut dengan masyarakat di kawasan pedalaman yang jauh dari laut atau pesisir. Jalur yang dilewati sungai ini jadi turut berperan dalam membangun kawasan Jalur Rempah, terutama lewat pertukaran komoditas di titik-titik berlabuhnya kapal dalam perjalanan menyusuri sungai.
Desain perahu yang digunakan masyarakat pada zaman dahulu tidak hanya untuk mengarungi laut, tetapi juga sungai dan rawa. Junus Satrio Atmodjo mencontohkan perahu-perahu kecil dari Jambi dan Sumatera Selatan yang disusun dari pasak dan rotan. Dengan desain tersebut akan lebih memudahkan mengarungi sungai dan rawa. Ini menunjukkan budaya maritim bukan hanya milik masyarakat pesisir, tetapi juga terjamah oleh masyarakat daratan pedalaman melalui jalur sungai.
Ratna Dewi mengumpamakan sungai sebagai urat nadi dan laut adalah tubuhnya. Dilihat dari sejarah munculnya kerajaan-kerajaan, sungai kerap jadi pusat, seperti Batanghari, Musi, Kampar, Ciliwung, dan banyak lagi. Hubungan manusia dan sungai melahirkan tradisi-tradisi seperti Semah Rantau, Lubuk Larangan, Mandi Mapangir, dan Sumpah Karang Setio. Namun, fungsi sungai ini sudah tergerus perkembangan zaman. Bukti lain fungsi sungai dalam membangun kawasan Jalur Rempah dapat ditemukan di Mandar dengan perahu cadik dan patung Buddha sebagai jimat pelaut dan nelayan, seperti diceritakan M. Ridwan Alimuddin. Tidak hanya pada perahu, peradaban maritim yang bergantung pada sungai juga dapat dilihat dari pemukiman yang dibangun sebagai tempat perhentian sementara saat mengarungi sungai seperti di kawasan Kampung Bontang Kuala dan Malahing Bontang Kaltim yang diceritakan Widjanarka Arka.
Selasa, 22 September
15.00 – 17.30 WIB
1. Dr. Annabel Teh Gallop, FBA. (British Library, Inggris)
2. Tom Hoogervorst, Ph.D. (Leiden University, Belanda)
Moderator: Dave Lumenta, Ph.D. (Departemen Antropologi, Universitas Indonesia)
Peradaban Islam juga punya peranan pada hubungan negara-negara kawasan Jalur Rempah. Annabel Teh Gallop mengamati stempel-stempel yang menjadi bukti terjalinnya hubungan tersebut. Stempel itu seolah-olah kartu nama bagi masing-masing pembuat tulisan, salah satunya adalah stempel dari masyarakat berbahasa Melayu (Indonesia,
Malaysia, Singapura, Brunei, selatan Thailand, Kamboja, dan Filipina). Berbagai manuskrip beredar di kawasan Jalur Rempah, tidak hanya di antara masyarakat Melayu, tetapi juga dengan luar Melayu. Contohnya surat dari Kesultanan Ternate dalam bahasa Portugis yang ditujukan pada Raja Portugal. Pengiriman surat itu diketahui dari stempelnya, yakni stempel khas Sultan Khairul Jamal dan putranya, Sultan Babullah. Corak stempel Kesultanan Ternate menyerupai stempel dari Persia.
Tom Hoogervorst menyatakan bahwa kita terhubung melebihi yang kita kira. Tidak hanya berdasarkan stempel, tetapi juga makanan. Makanan jadi bukti yang lebih merakyat dan dipahami banyak orang. Kita harus melihat kembali hubungan Jalur Rempah ini sebagai sesuatu yang akrab dengan masyarakat, bukan hanya bagi sebagian orang.
1. Prof. Dr. Vishva Nath Attri (Studi Samudra Hindia, Indian Ocean Rim Association)
2. Azad Hind Nanda, Ph.D. (Nalanda University, India)
Moderator: Maulana Ibrahim, Ph.D. (Universitas Khairun, Ternate, Indonesia)
Pentingnya Jalur Rempah tidak hanya karena ramainya pertukaran barang, tetapi juga pertukaran budaya. Interaksi yang terjalin tidak hanya didasarkan pada barang yang diperdagangkan, tetapi juga hubungan antara sesama manusia. Pertukaran budaya dalam hubungan ini membuat orang-orang di dalamnya memiliki kesamaan, seperti misalnya pada bahasa yang mereka gunakan. Dengan berkomunikasi dan menjalin hubungan, bukan penjajahan, Jalur Rempah jadi contoh globalisasi yang ramah karena negara-negara tidak mengenal posisi rendah/tinggi, tetapi setara. Salah satu yang membuat hubungan itu bisa terjadi adalah karena kawasan perairan. Untuk itu, Vishva Nath Attri mengusulkan perairan tidak hanya jadi jalan untuk saling berinteraksi, tetapi juga jadi tujuan dan peluang untuk ekonomi itu sendiri. Caranya adalah dengan memajukan pariwisata laut dan bawah laut di Jalur Rempah.
Pentingnya peran alam memang tidak bisa disangkal. Azad Hind Nanda menjelaskan bahwa karena alam pula, Kerajaan Sriwijaya di Sumatera bisa punya relasi dengan Kerajaan Nalanda di India. Pelayaran pada saat itu bergantung pada hembusan angin musim. Ahli agama dari Nalanda dalam pelayaran mereka bermukim untuk beberapa bulan di wilayah Kerajaan Sriwijaya sembari menunggu angin musim berganti ke arah tujuan mereka. Selama bermukim mereka menjalin hubungan dengan Kerajaan Sriwijaya dan terjadi pertukaran ilmu pengetahuan. Hubungan ini masih terjaga ketika ahli agama itu kembali ke Nalanda. Di masa kini, hubungan ini bisa diteruskan menjadi kerja sama untuk memajukan masyarakat masing-masing, terutama dengan semangat inovasi dan peluang ekonomi kelautan yang telah menghubungkan negara-negara di Jalur Rempah.
10.00 – 12.00 WIB
1. Ariel C. Lopez, Ph.D. (Pusat Asia, University of the Philippines)
2. Ian Christoper Alfonso, M.A. (Komisi Sejarah Nasional Filipina)
3. Prima Nurahmi Mulyasari, M.A. (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI))
4. Marina Kaneti Ph.D. (Lee Kuan Yew School of Public Policy, Singapore)
Moderator: Dewi Kumoratih (Negeri Rempah Foundation / Universitas Bina Nusantara)
Asia Tenggara menjadi salah satu bagian Jalur Rempah sejak dulu. Selain Indonesia, Filipina juga menempati posisi penting, termasuk sebagai bagian dari rute Maluku-Tiongkok. Di bawah kekuasaan Spanyol, letak Filipina strategis karena dekat dengan Maluku. Ariel C. Lopez juga menjelaskan bahwa di luar rute Maluku-Tiongkok, persebaran manusia dari Filipina mencapai Tanjung Priok dan dikenal sebagai kelompok Papanggo. Kelompok ini adalah tentara dan budak dari daerah Pampanga di Filipina yang direkrut Spanyol dan Belanda. Salah satu penguat relasi Indonesia-Filipina adalah agama Islam yang dianut masyarakat Filipina Selatan. Ian Christopher Alonso juga menceritakan tema kemenangan dan kemanusiaan dalam sejarah bersama Indonesia-Filipina yang menuntut kedaulatan. Sejarah bersama ini berhubungan dengan kolonialisme.
Di masa kini, pangan masih menghubungkan orang dari berbagai belahan dunia, tetapi tidak lagi dengan penjajahan. Di Belanda, ada sekitar 150 restoran Indonesia pada 2016 berdasarkan data Kementerian Luar Negeri. Menurut Prima Nurahmi Mulyasari, pangan bisa jadi cara membangun kesepahaman antar-budaya sekaligus jadi identitas Indonesia di mata dunia. Ini juga yang dijelaskan Marina Kaneti bahwa Jalur Rempah sesungguhnya dibangun dari keramahan masyarakat di Asia Tenggara untuk menjalin hubungan dengan berbagai komunitas.
09.00 – 10.00 WIB
1. Wawan Sujarwo, Ph.D. (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) / Perhimpunan Masyarakat Etnobotani Indonesia (PMEI))
Kekayaan rempah di Indonesia rupanya belum dimanfaatkan secara maksimal. Salah satu bukti adalah posisi Indonesia yang turun dari peringkat dua negara produsen rempah pada 2005 menjadi peringkat lima pada 2020. Padahal, India mampu mempertahankan peringkat pertama. Kekayaan rempah belum termanfaatkan dengan baik, terutama untuk ekspor.
Pendekatan etnobotani mempelajari hubungan tanaman dan masyarakat, termasuk rempah. Etnobotani juga memiliki cabang yaitu paleo-etnobotani atau arkeo-etnobotani yang mempelajari hubungan tanaman dan masyarakat di masa lalu. Penggunaan rempah bisa terlihat pada makanan, minuman, kosmetik, dan obat-obatan. Di masa lalu, rempah juga jadi simbol identitas yang eksotis dan prestise. Sejak kedatangan kolonial Eropa, penggunaan rempah makin tersingkir dan justru untuk kebutuhan rempah mengandalkan stok dari luar negeri.
Untuk melestarikan rempah di Indonesia, dapat digunakan metode pelajari-simpan-gunakan. Pelajari rempah yang ada, termasuk jenis rempah baru dari luar negeri untuk dibudidayakan di dalam negeri. Simpan persediaan rempah sesuai kebutuhan, termasuk untuk pelestariannya. Terakhir, gunakan rempah secara maksimal untuk melestarikan rempah menjadi komoditas dengan ragam fungsi dan bernilai tinggi.
Senin, 21 September
1. Prof. Dr. Iwan Pranoto (Institut Teknologi Bandung)
2. Prof. Dr. Hilman Latief (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)
Moderator: Dr. Dedi S. Adhuri (LIPI)
Jalur Rempah nyaris identik dengan kolonialisme. Untuk bisa menjalin kerja sama di masa kini, pemerintah Indonesia dan negara-negara lain yang termasuk Jalur Rempah perlu melihat kembali bahwa Jalur Rempah bukan sekadar sebagai peninggalan kolonial, tetapi bahkan telah hadir sebelum itu.
Pemaparan Prof. Iwan Pranoto memberi contoh salah satu kerja sama dalam jaringan Jalur Rempah sebelum hadirnya kolonialisme Eropa dan bukan dalam bentuk penaklukan wilayah, tetapi kerja sama pendidikan. Berdasarkan bukti Prasasti Kota Kapur (608 Saka), Talang Tuwo (606 Saka), dan Munggu Antan (808 Saka), Sriwijaya telah menjalin kerja sama dengan Nalanda di bidang pendidikan keagamaan melalui pembangunan biara (monastery), universitas keagamaan, di Nalanda dengan sumbangan dari Sriwijaya. Kerja sama ini dibentuk melalui pelayaran yang memanfaatkan siklus angin muson yang membuat pembelajar agama dari Nalanda bermukim sementara di Sriwijaya sembari menimba ilmu.
Di masa modern, promosi Jalur Rempah juga berdasarkan nilai-nilai perdamaian, seperti International Cultural Festival di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sejak 2016, seperti dijelaskan Hilman Latief. Festival tersebut tidak hanya mengingat masa lalu, tetapi menjalin hubungan generasi sekarang di lintas wilayah dalam Jalur Rempah, dengan nilai-nilai yang baru pula, yakni perdamaian, bukan kolonialisme. Jalur Rempah bukan hanya soal Rempah, tetapi nilai, pengetahuan, dan kebermanfaatan bagi masyarakat di dalamnya.
11.00 – 12.00 WIB
1. Prof. Jatna Supriatna, M.Sc., Ph.D (Chairman of Research Center for Climate Change (RCCC), University of Indonesia.
Jalur Rempah adalah jalur keragaman. Bukan hanya manusia, tetapi juga spesies hewan dan tumbuhan (keanekaragaman hayati). Perubahan iklim yang sedang terjadi menjadi perhatian pula dalam pengembangan Jalur Rempah. Peningkatan suhu akibat terperangkapnya panas dari sinar matahari di bumi – atau kerap disebut efek rumah kaca – membuat bumi makin panas. Kerja sama internasional menetapkan kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius sebagai batas kenaikan suhu bumi. Bagi Indonesia, kerugiannya dapat mencakup potensi punahnya 37% spesies hewan pada 2050 dan tenggelamnya beberapa pulau. Menyempitnya hutan – atau deforestasi – memaksa hewan keluar hutan dan berinteraksi dengan manusia secara tiba-tiba dan berpotensi melahirkan virus baru. Kekeringan juga akan mengurangi produksi rempah dan berbagai komoditas hortikultura lainnya. Tidak hanya di darat, dasar laut juga terdampak perubahan iklim. Terumbu karang mati dan memutih (bleaching). Ikan tidak bisa bertelur karena rusaknya terumbu karang.
Selaras dengan Jalur Rempah, penanganan perubahan iklim perlu kerja sama internasional. Indonesia bisa mengambil peran pula dalam penanganan perubahan iklim. Peran yang bisa diambil mulai dari pengurangan emisi karbon, industri ramah lingkungan, dan penanaman kembali hutan atau reboisasi. Untuk mencapai target pengurangan emisi karbon 29-41%, Indonesia perlu bekerja sama dengan negara lain.
Senin, 21 September 2020
10.00 – 11.00 WIB
Pembicara :
1. Hilmar Farid, Ph.D. (Direktorat Jendral Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI)
2. Dr. Hassan Wirajuda (Ketua Yayasan Negeri Rempah)
Pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan, telah berupaya mengembangkan visi dan pemahaman mengenai Jalur Rempah. Upaya ini telah terlebih dahulu dilakukan berbagai komunitas, termasuk Yayasan Negeri Rempah, sebelum Pemerintah turut serta sejak 2016. Baik komunitas maupun pemerintah bekerja sama demi membangun pemahaman mengenai Jalur Rempah dengan ragam perspektif keilmuan, mulai dari sejarah, kebudayaan, dan masih banyak lagi. Sejak 2018, kerja sama makin erat dengan tujuan Jalur Rempah sebagai bagian dari diplomasi budaya yang memperkenalkan kekayaan rempah Indonesia. Komunitas berperan memberi keragaman pandangan mengenai Jalur Rempah, terlebih Jalur Rempah itu sendiri adalah rangkuman budaya Indonesia.
Setidaknya ada tiga tujuan utama pengembangan Jalur Rempah menurut Hilmar Farid: (1) pengembangan keilmuan; (2) identitas kebudayaan Indonesia; (3) dan menjalin hubungan dengan negara lain, karena Jalur Rempah melibatkan banyak lokasi, termasuk negara lain. Penelitian oleh komunitas dan juga pemerintah penting untuk menentukan arti penting Jalur Rempah dalam situasi lokal masing-masing. Hassan Wirajuda menguraikan ketiga tujuan tersebut dengan menyebut "membaca sejarah dalam konteks kekinian" untuk membangun keilmuan dan keragaman dalam Jalur Rempah. Selain itu, pengembangan Jalur Rempah oleh pemerintah Indonesia adalah diplomasi yang damai dan bermanfaat bagi masing-masing daerah atau negara, bukan merugikan dan berdarah-darah seperti di zaman VOC. Melalui diplomasi budaya ini, Indonesia mengambil peran “tangan di atas” yang memberi sumbangsih bagi dunia.