Loading...

“Menjembatani Perbedaan, Membina Pemahaman Antarbudaya”

Globalisasi telah terjadi ratusan tahun sebelum konsep 'modern' ditemukan. Sejak awal tumbuhnya peradaban manusia, tidak ada bangsa-bangsa di dunia yang bebas dari dua pengaruh besar yang mempengaruhinya, yaitu komunikasi dan budaya. Kedua pengaruh ini memainkan peran penting di dalam proses pertukaran pengetahuan dan pergerakan manusia yang membentuk dunia seperti keadaannya sekarang, dipengaruhi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar yang terus berubah sepanjang masa. Rempah sebagai kekayaan botani menjadi topik yang menarik dibahas di dalam konteks perkembangan peradaban tersebut, sebagai obat dan sebagai bahan pangan yang memperkaya rasa masakan. Sejarah mencatat bagaimana bangsa-bangsa dari belahan bumi berbeda melakukan pelayaran ribuan kilometer untuk memperoleh rempah, dan bagaimana masyarakat pedalaman mengolah bahan-bahan alami dibawa ke luar wilayah mereka melalui jaringan transportasi yang rumit, melibatkan banyak komunitas dan mencakup ruang yang sangat luas. Namun awalnya tidak semua orang menyadari bahwa bahan-bahan sederhana seperti lada, jahe, cengkeh, atau teh selama 600 tahun ke belakang berubah menjadi komoditas yang memengaruhi ekonomi dunia.

Sebagai komoditas, rempah-rempah memainkan peran yang unik. Rempah-rempah melebihi fungsi alamiahnya, mempengaruhi pola hidup dan pengetahuan masyarakat lintas budaya dan bangsa. Di sinilah pengetahuan pelayaran sungai dan laut mengambil perannya dalam mensirkulasikan produk-produk tersebut menjadi komoditas ekonomi yang mendorong perdagangan. Tak hanya itu, jalur darat yang sudah terbentuk berkontribusi langsung membentuk jaringan pertukaran lintas wilayah yang sangat luas, di mana produsen dan pengguna rempah-rempah tidak pernah bertatap muka karena mereka tinggal di tempat yang berjauhan. Tidak dapat disangkal bahwa pelayaran dan perdagangan pada akhirnya membawa dampak pada budidaya rempah. Catatan-catatan sejarah di awal masehi, bahkan sebelumnya, mengindikasikan bahwa teknologi navigasi dan perkapalan berpengaruh besar dalam pergerakan rempah dibawa ke wilayah-wilayah jauh di seluruh dunia, khususnya antara Asia, Afrika, dan Eropa. Tidak ada satu negara atau bangsa yang dapat mengklaim bahwa mereka merupakan pusat penting dalam sistem perdagangan rempah di muka bumi. Setiap wilayah dan komunitas memberikan kontribusi uniknya mendukung pertukaran tersebut. Di masa itu rempah bukan lagi sekedar hasil budidaya domestik tetapi sudah berubah menjadi komoditas produksi untuk memenuhi pasar global, yang berlangsung lama sampai dengan masuknya gelombang bangsa-bangsa Eropa ke Asia di abad ke-16, memperkenalkan monopoli perdagangan melalui sistem kolonisasi wilayah.

Lebih dari sekedar koridor perdagangan, jalur rempah telah menjadi warisan dimana terjadi apresiasi terhadap keragaman dan akulturasi. Setiap pelabuhan dan kota dalam koridor jalur rempah selalu menjadi persemaian budaya dan ide dari berbagai bangsa. Setiap unsur budaya yang mengalir dalam koridor jalur rempah tidak menempati unsur budaya lain, melainkan justru mewariskan suatu pola budaya yang eksklusif, kesatuan budaya yang kaya tersebut diwariskan kepada generasi berikutnya – suatu kekayaan budaya yang bersifat inklusif sebagai warisan bersama, karena otentisitas satu budaya tidak tercipta tanpa integrasi budaya lain.

Kini, pengakuan kita terhadap kontribusi Jalur Rempah memberi kita momentum untuk meninjau kembali keberagaman dan akulturasi antar bangsa. Sejarah telah mencatat bahwa pencapaian peradaban manusia tidak pernah lepas dari kerjasama internasional. Melalui Jalur Rempah, kita dapat temukan kembali kesamaan nilai-nilai universal antar bangsa.

Tentang Program

International Forum on Spice Route (IFSR) merupakan sebuah forum tahunan yang membuka peluang dialog lintas batas dan lintas budaya dalam meninjau kembali jejak kemaritiman berbasis Jalur Rempah yang menjadi pusaka alam dan pusaka budaya warisan bersama dalam lingkup regional.

Tujuan

  • Mempererat persahabatan dan kerjasama antara Indonesia dengan negara-negara lain yang memiliki kesamaan warisan.
  • Menyediakan platform untuk pertukaran pengetahuan dan pemahaman antar budaya melalui program kerjasama berskala internasional.

Program

Kuliah umum, diskusi panel,sesi berbagi, dan kegiatan komunitas.

Partisipan

  • Lembaga Pemerintahan
  • Organisasi non-pemerintah
  • Perwakilan Organisasi/Lembaga Internasional
  • Akademisi, peneliti, pendidik, pemerhati, siswa
  • Media
  • Publik / komunitas

Kamis, 23 September 2021

16.10 - 18.00 WIB 

 

Pembicara: 

  1. Prof. Daniel Rosyid, Ph.D. (Rosyid College of Arts & Maritime Studies, Indonesia)
  2. Prof. Sarah Ward, Ph.D. (Australia) (Dalian Maritime University, China) 
  3. Horst Liebner, Ph.D. (Germany)
  4. Samodra, Ph.D. (Rosyid College of Arts & Maritime Studies, Indonesia) 

Moderator: Kaisar Akhir, MT. (Maritim Muda Nusantara)

 

Unsur penting kebudayaan maritim adalah teknologi perkapalan. Daniel Rosyid menyebut pembangunan terlalu berpusat di Jawa dan pada pembangunan jalur darat. Padahal untuk negara kepulauan, transportasi laut amat penting. Ragam jenis kapal juga dimiliki masyarakat pesisir utara Jawa Timur. Samodra menyebutkan jenis-jenis kapal di pesisir Jawa Timur, yakni Pakesan, Payang, Layar Pasirputih, Sigarsemongko, dan banyak lagi. 

Salah satu peradaban dengan transportasi laut adalah Tiongkok. Sarah Ward menjelaskan beragam jenis kapal peradaban Tiongkok seperti yang paling umum adalah Fujian dan Guangdong/Shechuan. Fujian dapat bergerak cepat dan menjadi kapal perang. Guangdong/shachuan lebih kecil dan muda diakses. Bahan pembuatan kapal shachuan diyakini diimpor dari Asia Tenggara karena Tiongkok mengalami deforestasi. Kejayaan pelayanan Tiongkok terjadi di era Dinasti Ming. 

Horst Liebner menjelaskan karakteristik kapal di Asia Tenggara berdasarkan periode waktu. Di abad 10-an, kapal Asia Tenggara berciri kemudi di samping, menyerupai kapal di relief Borobudur, yang berbeda dengan kapal Tiongkok. Kapal pada abad 16-17 adalah kapal Jong yang besar, tetapi tidak dilengkapi dengan meriam seperti kapal dari Eropa. 

Kamis, 23 September 2021

14.00-16.00 WIB 

 

Pembicara: 

  1. Prof. Jun Kimura, Ph.D. (Tokai University, Japan / ICOMOS) 
  2. Natali Pearson, Ph.D. (University of Sydney, Australia) 
  3. Bobby Orillaneda (National Museum of the Philippines)
  4. Nia Hasanah, M.Sc (Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia)

Moderator: Widya Nayati, Ph.D. (Universitas Gajah Mada)

 

Tidak hanya permukaannya, bawah laut juga menyimpan banyak potensi. Natali Pearson membahas peninggalan sejarah yang ada di bawah laut, terutama yang berasal dari kapal yang tenggelam. Salah satu kapal tersebut adalah milik Dinasti Tang di abad ke-9 yang tenggelam di sekitar Pulau Belitung. Kebanyakan peninggalan tersebut berupa keramik, meski ditemukan pula rempah. 

Jun Kimura menyatakan bahwa ada 5 komoditas yang sering ditemukan di kapal tenggelam pada zaman dahulu, yakni logam, kaca, sutra, keramik, dan rempah. Ini menjadi bukti perdagangan rempah, terutama pada negara asal atau tujuan kapal tersebut. Negara asal tersebut juga menunjukkan perkembangan zaman, teknologi perkapalan, dan komoditas apa yang dianggap berharga saat itu. Perdagangan rempah awal didominasi India, Persia, dan Austronesia. Di era pertengahan, kapal lebih canggih dengan penggunaan logam untuk mengantarkan cendana, lada, dll. Di era kejayaan perdagangan maritim, salah satu komoditas unggulannya adalah secang. Tidak hanya kapal negara-negara Asia, bangkai kapal negara-negara Barat juga ditemukan di bawah laut Asia Tenggara. 

Bobby Orillaneda menunjukkan beberapa titik tenggelamnya kapal Eropa, seperti kapal milik Portugis di Kepulauan Verde, Filipina. Komoditas yang dibawa juga keramik, rempah, dan simbol keagamaan seperti rosario. Teknologi kapal Eropa berbeda dengan Asia. Bangkai kapal tersebut dapat menjadi bukti sejarah penting, selain untuk diambil peninggalannya. Beberapa titik ditemukannya bangkai kapal tersebut di Indonesia, seperti diungkapkan Nia Hasanah, misalnya Riau dan Ternate. Untuk pengangkatannya, harus menggunakan cara yang tidak merusak lingkungan, terutama terumbu karang.

Kamis, 23 September 2021

12.30- 14.00 WIB 

 

Pembicara: 

  1. Prof. James Fox, Ph.D. (Australia National University)
  2. Dedi S. Adhuri, Ph.D. (Badan Riset dan Inovasi Nasional)

Moderator: Eko Nurseto, M.Si. (Parti Gastronomi / Universitas Padjadjaran)

 

Penutur Austronesia terkenal dengan pelayarannya. James Fox menjelaskan bahwa dengan pelayarannya, Austronesia mencari berbagai komoditas seperti kayu manis, lada, padi, dan kelapa dan turut mendistribusikannya ke berbagai daerah pula. Arah pelayaran orang Austronesia mengikuti pergerakan arus laut maupun sungai. Telaah terhadap bahasa Austronesia membuktikan pentingnya pelayaran bagi mereka yang dianggap sebagai jalan hidup mereka, sesuatu yang bernilai spiritual. Dari telaah bahasa tersebut pula didapatkan bahwa walaupun pelayaran amat penting bagi orang Austronesia, mereka juga tertarik dengan cocok tanam. Bahkan dalam majas mengenai kehidupan mereka, mereka menggunakan pohon, untuk menggambarkan perkembangan hidup dan kedudukannya. 

Pelayaran menentukan kedudukan suatu kaum dalam masyarakat, misalnya di Kepulauan Kei seperti dijelaskan oleh Dedi S. Adhuri. Kedudukan kelompok di Kepulauan Kei didasarkan pada asal-usul mereka, termasuk yang datang dengan berlayar ke Kepulauan Kei yang disebut dengan Mel. Kelompok masyarakat lain adalah Tuan Tan dan Ren yang dianggap sebagai orang asli Kepulauan Kei berdasarkan legenda. Asal-usul sebagai pendatang ini juga muncul di berbagai mitologi suku lainnya yang masih termasuk Austronesia, seperti Toraja dan Bugis yang meyakini asal-usulnya sebagai pendatang dari langit. 

Rabu, 22 September 2021

14.30- 16.00 WIB 

 

Pembicara: 

  1. Yanuardi Syukur M.Si. (Rumah Produktif Indonesia)
  2. Kaisar Akhir, M.Sc. (Maritim Muda Nusantara)
  3. Adin Khairudin, M.Si. (Grobak Hysteria)
  4. Dr. Tjahjo Suprayogo (Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca)

Moderator: Robby Sunata (Sahabat Cagar Budaya Palembang / Yayasan Negeri Rempah)

 

Fondasi penting pengembangan Jalur Rempah adalah merangkul berbagai komunitas yang ada di berbagai titik di Jalur Rempah. Komunitas yang perlu dirangkul termasuk komunitas yang mengurus peningkatan literasi, karena literasi juga dapat berguna untuk memperkenalkan Jalur Rempah. Salah satunya adalah Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB). Menurut Tjahjo Suprayogo, pengembangan literasi terlalu fokus pada target dari World Economic Forum yakni literasi baca tulis; literasi sains; literasi numerasi; literasi finansial; literasi budaya & kewargaan; dan literasi digital. GPMB selain mengembangkan minat baca, juga berusaha melihat konteks masyarakat setempat yang perlu literasi lain, misalnya literasi lingkungan, sosial, pendidikan, bahari, kesehatan, al-Qur’an (bagi yang muslim), dan terakhir adalah rempah. 

Yanuardi Syukur dengan komunitas Rumah Produktif Indonesia berusaha membangun "budaya ilmu" yang juga akan berguna mengembangkan Jalur Rempah berbasis keilmuan dan lintas bidang keilmuan. Adin Khairudin menjelaskan bahwa Jalur Rempah harus dibangun dengan dialog antara pemerintah dan komunitas-komunitas ini agar masyarakat lebih dahulu paham pentingnya Jalur Rempah. Salah satu dasarnya adalah di bidang pendidikan atau literasi, agar program lain juga dapat lebih mudah diperkenalkan.

Rabu, 22 September 2021

12.30- 14.30 WIB 

 

Pembicara: 

  1. Muhammad Irfan Zainul Fikri (Pertamina International Shipping, Indonesia) 
  2. Indra Lianggoro Widhy Nugroho (Pertamina International Shipping, Indonesia 
  3. Dr. Jajang Gunawijaya (Universitas Indonesia)
  4. Kocu Andre Hutagalung (ReIndo)

Moderator: Bram Kushardjanto (Yayasan Negeri Rempah)

 

Laut dalam kawasan Jalur Rempah tidak hanya berfungsi sebagai penghubung antar wilayah untuk mengantarkan rempah. Di era sekarang, laut amat berguna untuk mengantarkan komoditas lain, termasuk minyak dan gas. Kapal, sebagai alat utama, menjadi wajib dimiliki dengan teknologi mumpuni. Muhammad Irfan Zainul Fikri menceritakan Pertamina sebagai perusahaan migas Indonesia yang dilengkapi dengan kepemilikan kapal untuk mengurangi biaya pengangkutan, dengan SIUPAL (Surat Izin Perusahaan Angkut Laut). 

Indra Lianggoro Widhy Nugroho menjelaskan bahwa rute kapal Pertamina memiliki kemiripan dengan rute yang dilalui Jalur Rempah. Namun rute Pertamina juga merentang sampai ke Amerika menembus US Coast Guard (Penjaga Pantai Amerika Serikat) yang terkenal ketat. Salah satu tantangan untuk distribusi ini adalah desain kapal yang tidak hanya kuat berlayar jauh, tetapi juga ramah lingkungan untuk mengurangi emisi yang akan merusak alam. 

Menelusuri kembali Jalur Rempah di masa sekarang tidak hanya berguna untuk mengantarkan barang. Jajang Gunawijaya melihat bahwa Jalur Rempah memiliki nilai sejarah yang bisa dijadikan daya tarik wisata. Selain melakukan tapak tilas sejarah, dalam berbagai situs yang dikunjungi akan dikenalkan berbagai jenis rempah beserta penggunaannya. 

Kocu Andre Hutagalung menyatakan bahwa Jalur Rempah memang sejak dulu memiliki nilai ekonomi, yang diperkirakan mencapai US$ 8 triliun di era kolonial. Untuk mencapai nilai tersebut, maka potensi Jalur Rempah harus dimaksimalkan terlebih dahulu.

Rabu, 22 September 2021

10.00- 12.00 WIB 

 

Pembicara: 

  1. Moe Chiba (Japan)  (UNESCO Office, Jakarta)
  2. Dr. Soehardi Hartono (ICOMOS Indonesia)
  3. Antonius Wibisono, M.Hum (Pamong Budaya Madya, Kemendikbudristek RI)
  4. Punto Wijayanto, ST., M.Sc (Trisakti University / BPPI

Moderator: Sri Shindi Indira, ST., M.Sc (Beranda Warisan Sumatera / Jaringan Masyarakat Negeri Rempah)

 

Salah satu upaya memajukan Indonesia melalui Jalur Rempah adalah mendorong penetapan Jalur Rempah sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO. Moe Chiba menyatakan bahwa penetapan ini harus sesuai dengan konvensi (perjanjian) tahun 1973 tentang warisan budaya dunia dan konvensi 2003 tentang warisan budaya dunia tak benda. Penetapan ini bisa diajukan oleh beberapa negara, terutama jika calon warisan budaya tersebut memang mencakup lebih dari satu negara, seperti halnya Jalur Rempah. Contoh yang sudah diresmikan adalah arsitektur Le Corbusier yang dapat ditemukan di berbagai negara atau jalan di Pegunungan Andes di Amerika Latin. Ini karena pengetahuan dapat melampaui suatu negara dan melampaui berbagai perbatasan. 

Tidak hanya UNESCO yang memberi perhatian pada situs warisan budaya. ICOMOS (International Council on Monuments and Sites) merupakan organisasi non-pemerintah yang berdedikasi pada konservasi berbagai situs dan monumen di dunia. Soehardi Hartono menyatakan bahwa banyak situs di Indonesia yang terancam. Untuk mengajukan warisan budaya dunia, maka ancaman tersebut harus ditangani. Beberapa hal yang menghambat pemeliharaan situs adalah perbedaan visi antar pihak, pemerintah kurang kompeten, dan kurangnya kapasitas profesional. Tidak hanya warisan budaya dalam bentuk kekayaan alam, tetapi juga warisan budaya di tengah kawasan perkotaan turut terancam. Punto Wijayanto menerangkan bahwa pandangan harus diubah dari melihat situs tersebut sebagai sekadar tujuan wisata menjadi memiliki manfaat nyata bagi masyarakat perkotaan. Baik perkotaan maupun kekayaan alam, termasuk penting untuk diperhatikan dalam mengajukan Jalur Rempah sebagai warisan budaya dunia. Antonius Wibisono menjelaskan proses penominasian Jalur Rempah yang harus memperhatikan persiapan, studi pustaka, pemetaan situs, dan survei lapangan untuk memajukan Negeri di Bawah Angin, julukan untuk Asia Tenggara sebagai kawasan vital Jalur Rempah dan pertemuan berbagai budaya.

Selasa, 21 September 2021

15.00- 17.00 WIB 

 

Pembicara: 

  1. Andrea Acri Ph.D (Italia) (Ecole Pratique des Hautes Etudes, France)
  2. Jiri Jaki Ph.D (Heidelberg University, Germany)
  3. Maulana Ibrahim Ph.D (Universitas Khairun, Ternate, Indonesia)
  4. Dicky A.S. Soeria Atmadja (Center of Remote Sensing, Bandung Institute of Technology, Indonesia)

Moderator:  Sidi Rana Menggala (Ghent University, Belgium)

 

Jalur Rempah tidak sebatas membicarakan Jalur perdagangan Rempah atau kawasan Indonesia saja. Andrea Acri menggunakan perspektif angin monsun Asia untuk melihat Jalur Rempah lebih luas lagi, bahkan melebihi Asia Tenggara. Pandangan bahwa dunia terpisahkan berdasarkan regionalnya masing-masing adalah suatu hal yang baru, karena di zaman dahulu berbagai kawasan telah terhubung, salah satunya berkat angin monsun. Dampaknya adalah keragaman bahasa dan bahkan populasi manusia terawal di berbagai kawasan, seperti Jawa atau Aborigin. Salah satu daerah yang tertua memiliki hubungan dengan Asia Tenggara adalah India. 

Di zaman kolonial, penyebaran komoditas mulai dijalankan di darat, terutama melalui rel. Seperti dikemukakan Dicky A.S. Soeria Atmadja, perkebunan di Jawa memiliki jaringan rel tertua kedua di Asia, setelah India yang jaringan relnya dibangun kolonial Inggris. Tidak hanya komoditas, tetapi telegraf juga disebarkan melalui jaringan rel ini. Bahkan terdapat kehadiran pemakaman prajurit Nazi di Bandung karena menjadi sentra komoditas karet untuk keperluan militer mereka. Meski banyak yang sudah terbengkalai, banyak juga jaringan rel yang masih berfungsi, baik untuk transportasi maupun pariwisata. 

Menarik pula untuk melihat kondisi terkini ini di pulau rempah itu sendiri, Ternate. Maulana Ibrahim menceritakan upaya untuk menjaga kekayaan budaya oleh pemerintah daerah maupun komunitas di Ternate. Kekayaan budaya tersebut disokong oleh pariwisata alam, festival, dan sukarelawan. Bentuknya di antaranya adalah Jelajah Pusaka Tongole, Festival Pusaka Ternate, dan kegiatan seperti bercerita untuk mengingatkan sejarah Ternate. 

Selasa, 21 September 2021

13.00- 15.00 WIB 

 

Pembicara: 

  1. Dini Oktaviani (Social media specialist & Youth Forum Spices dari Indonesia)
  2. John Rey S. De Los Santos (Mahasiswa pertanian & Youth Forum Spices dari Filipina) 
  3. Luthfan Haqi (Indonesia) 
  4. Kemala Ashtika (Pendiri Festival Film Bahari Indonesia)
  5. Prabhoto Satrio (Rumah Cirebon)

Moderator : Iman Pradana

 

Salah satu sasaran program Jalur Rempah adalah generasi muda. Perlu untuk melihat keterlibatan generasi muda dalam program Jalur Rempah, termasuk bagaimana mereka memahami Jalur Rempah. Misalnya Dini Oktaviani memaknai Jalur Rempah bukan hanya soal Indonesia, tetapi dunia sebagai satu kesatuan. Ini membuat Jalur Rempah juga mencakup urusan di berbagai sektor, seperti pendidikan, teknologi, dll). Pandangan serupa juga dikemukakan John Rey S. De Los Santos dan keduanya sepakat bahwa generasi muda perlu terlibat dalam Jalur Rempah. Untuk menarik perhatian generasi muda, menarik mendengarkan pengalaman Luthfan Haqi melalui History Fair UI 2021 yang mengangkat tema Jalur Rempah Nusantara yang diisi dengan berbagai acara seperti webinar, kompetisi, dan amal yang dapat menarik perhatian generasi muda. Cerita lain datang dari Prabhoto Satrio mengenai Rumah Cirebon yang bertujuan menjembatani lintas sosial dan budaya di Cirebon melalui pameran dokumen sejarah dari tahun 1950-an dan berencana membuat mural yang berhubungan dengan sejarah rempah di Cirebon. Media lain yang bisa digunakan untuk promosi kepada generasi muda adalah film, seperti dilakukan Kemala Ashtika melalui Festival Film Bahari yang pada 2021 mengangkat tema Gema Rempah Loh Jinawi yang terdiri dari workshop kemampuan audiovisual, mengunjungi warung jamu, dan mendiskusikan mengenai Jalur Rempah.

Selasa, 21 September 2021

10.00- 12.00 WIB 

 

Pembicara: 

  1. Prof. Tim Winter, Ph.D. (University of Western, Australia) 
  2. Prof. Johannes Widodo, Ph.D. (National University of Singapore)
  3. Dave Lumenta Ph.D (University of Indonesia)

Moderator : Maulana Ibrahim Ph.D (Khairun University, Ternate / Negeri Rempah Foundation, Indonesia) 

 

Kebudayaan dapat berfungsi untuk memajukan inovasi dan ekonomi. Tim Winter mengamati peluang ini melalui ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif ini juga dapat menjadi sarana promosi Jalur Rempah. Ada tiga tipe ekonomi kreatif yang dapat digunakan di antaranya: kuliner; media sosial; dan game. Untuk menggali potensi tersebut, upaya yang dilakukan harus bertanggungjawab. 

Johannes Widodo mengamati bahwa selama ini, ekonomi kreatif yang digalakkan adalah pariwisata yang justru cenderung tidak bertanggung jawab dalam artian tidak memperhatikan kondisi objek pariwisata tersebut dan bahkan merusaknya. Termasuk program Jalur Rempah juga harus memperhatikan keberlanjutan yang telah tertuang dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) agar tidak hanya meningkatkan konsumsi, tetapi juga kemakmuran masyarakat. 

Penciptaan, atau kreasi dari kebudayaan, dapat dilihat sebagai hubungan manusia dan alam. Untuk melihat ini, menurut Dave Lumenta, perlu menghindari pemisahan antara alam dan kebudayaan. Suatu kreasi, termasuk rempah atau kerajinan tangan, tidak hanya dilihat sebagai benda, tetapi juga melihat unsur sejarahnya. Dengan kata lain, kreasi adalah membangun hubungan. Tidak hanya hubungan manusia yang membuat, alam yang menyediakan bahannya, dan kreasi itu sendiri, tetapi juga dengan kelompok kebudayaan lain dan juga negara.

Senin, 20 September 2021

16.00- 17.30 WIB 

 

Pembicara: 

  1. Fify Manan (President of Indonesian Diaspora Business Council in USA) 
  2. Mona Liem (Kurator Seni, Founder of Connected Art Platform in Switzerland) 
  3. Sidi Rana Menggala (Peneliti Kayu Manis, Founder of Spice Land Indonesia in Belgia) 

Moderator : Dr. Tjahjo Suprayoga (Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca / Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Indonesia)

 

Diaspora adalah warga suatu bangsa di luar wilayahnya. Indonesia memiliki banyak diaspora yang tersebar di berbagai negara. Untuk membantu diaspora Indonesia, pada Kongres Diaspora tahun 2012 di Los Angeles didirikan Indonesian Diaspora Business Council (IDBC) yang digagas Dino Patti Djalal. Fify Manan menjelaskan tiga misi IDBC: membantu diaspora membangun bisnis; menjembatani bisnis antar diaspora; dan promosi di Indonesia. IDBC juga membuat platform online, IDBC-Tradelink. 

Di bidang seni, diaspora Indonesia juga berkiprah. Misalnya Mona Liem mengisahkan pengalamannya di Swiss mengangkat seni tentang Indonesia. Gaya seni Indonesia yang berbeda, terutama dari penggunaan warna, menimbulkan seni kerap ditolak. Namun Ars Electronica sebagai festival teknologi terbesar dan tertua di dunia mengundang untuk mempromosikan seni tentang Indonesia. 

Di bidang rempah sendiri, Sidi Rana Menggala meneliti kayu manis di Belgia. Kayu manis di Belgia merupakan salah satu komoditas yang paling banyak dikonsumsi, termasuk untuk pengobatan tradisional. Sejak 2017, Indonesia merupakan penyumbang terbesar kayu manis ke Belgia. Namun hal ini masih menemui kendala: ketersediaan produk dan pasar; teknologi dan produksi; tenaga kerja; finansial dan akses ke pasar modal; isu lingkungan; dan kesejahteraan petani kecil.

Senin, 20 September 2021

10.30- 12.30 WIB 

 

Pembicara: 

  1. Andi Batara Al Isra (Penulis, New Zealand)
  2. Khaerunnisa (Pelayan Kesehatan Professional, Jepang) 
  3. Batari Oja Andini (Pendidik, Cina) 

Moderator : Ary Sulistyo

 

Indonesia tidak hanya menjadi tujuan, tetapi juga turut mengirimkan warganya ke berbagai negara, terutama di masa globalisasi sekarang. Menarik untuk menyimak sudut pandang pendatang dari Indonesia di berbagai negara. Batari Oja Andini mengamati kepercayaan mengenai tataran dunia (kosmologi) dari Dinasti Chu (1030 SM–223 SM) di Tiongkok dengan kebudayaan di Makassar. Rupanya ada beberapa persamaan antara kedua kebudayaan tersebut seperti ritual pemanggilan roh, tingkatan dunia, dan keyakinan bahwa pusat negeri berada di tengah. 

Tidak hanya persamaan, Indonesia juga dapat belajar dari kondisi negara lain seperti pengamatan Khaerunnisa terhadap penduduk Jepang yang banyak di antaranya adalah lansia. Di satu sisi, ada kesempatan kerja terbuka bagi orang luar Jepang, seperti Indonesia. Di sisi lain, Jepang harus menghadapi banyaknya lansia yang membutuhkan pengawasan dari perawat. Ini menjadikan peluang kerja sebagai perawat di Jepang bagi warga Indonesia. 

Menarik pula melihat sudut pandang warga suatu negara terhadap Indonesia. Andi Batara Al Isra menyebut pandangan warga Selandia Baru terhadap Indonesia masih terasa "jauh" dengan kebudayaan yang sangat berbeda. Padahal, Indonesia tidak hanya memiliki kebudayaan khas Asia Tenggara, tetapi juga kebudayaan Pasifik yang dekat dengan Selandia Baru. Beberapa program telah dilakukan untuk menjalin hubungan Indonesia dengan Selandia Baru seperti pameran Pacific Expo, Asia New Zealand Foundation, pengiriman pelajar Indonesia, bantuan penanganan COVID-19, dan ekspor-impor.

Senin, 20 September 2021

13.00-16.00 WIB

 

Pembicara : 

  1. Prof. Zaal Kikvidze, Ph.D. (IIia State University, Georgia) 
  2. Prof. Patrick Van Damme, Ph.D. (Ghent University, Belgium) 
  3. Wawan Sujarwo, Ph.D (Ethnobiological Society of Indonesia/National Research and Innovation Agency) 
  4. Lixin Yang, Ph.D. (Kunming Institute of Botany, Chinese Academy of Sciences Kun) 
  5. Liu Yujing, Ph.D. (Cina) 

Moderator : Rina Rachmawati SP.MP. M.Eng (Fact Indonesia / Brawijaya University)

 

Indonesia bagian barat merupakan bagian dari Laurasia dan Indonesia bagian timur merupakan bagian dari Gondwana. Keduanya adalah benua purba yang telah mengalami perubahan besar, salah satunya adalah membentuk Indonesia. Berasal dari dua benua purba berbeda, kedua wilayah juga menghasilkan komoditas berbeda, termasuk rempah. Fitogeografi mempelajari persebaran tanaman tergantung kondisi geografis. Di bagian barat, rempah yang diproduksi adalah kayu manis, lada, kapur barus, kemenyan, dan gambir. Di bagian timur, rempah yang diproduksi adalah cengkih, pala, kemiri, dan cendana. Wawan Sujarwo membagi rempah di Indonesia menjadi tiga jenis, yakni rempah dari luar Indonesia (bawang, cabai, ketumbar, dll); dari Asia (andaliman, kemangi, kapulaga, dll); dan asli Indonesia (cengkih, jahe, kayu manis, dll). Sayangnya, keragaman rempah tersebut mulai terancam karena maraknya perkebunan sawit dan penambangan. 

Rempah banyak digunakan di negara-negara lain, seperti Georgia. Zaal Kikvidze menceritakan di timur Georgia, dengan kondisi geografisnya, dapat ditanami berbagai jenis rempah, tetapi Georgia, baik timur dan barat, menggunakan rempah untuk makanannya. 

Namun Georgia tidak pernah menjadi bagian penting yang memproduksi rempah dalam perdagangan internasional. Etnobotani, yang mempelajari hubungan manusia dan tanaman, misalnya Lixin Yang menjelaskan konservasi hutan sakral dari suku Yi, Dai, dan masyarakat Tibet. Organisasinya, Center for Biodiversity and Indigenous Knowledge (BKI) bertujuan melakukan konservasi dengan menerapkan etnobotani; melakukan riset terapan; mempromosikan konservasi dan perlindungan keragaman makhluk hidup dan mendorong keberlanjutan pengetahuan tradisional; serta aktif dalam program One Belt, One Road.