Loading...

“Bridging Differences, Fostering Intercultural Understanding”

Globalization has happened hundreds of years before the concept of 'modern' was discovered. Since the beginning of the growth of human civilization, there are no nations in the world that are free from two major influences: communication and culture. These two influences play an important role in the process of knowledge exchange and the movement of people who shape the world as it is today, influenced to meet basic needs that are constantly changing throughout the ages. Spices as botanical treasures are an interesting topic to be discussed in the context of the development of these civilizations, as medicine and as ingredients that enrich the taste of food. History has recorded how peoples from different parts of the world made voyages of thousands of kilometers to obtain spices, and how inland peoples processed natural materials brought outside their territories through complex transportation networks, involving many communities and covering a very wide space. But initially, not everyone realized that simple ingredients such as pepper, ginger, cloves, or tea over the past 600 years turned into commodities that affect the world economy.

As a commodity, spice plays a unique role. Spice exceeds its natural function, affecting the patterns of lifes and knowledge of people across cultures and nations. This is where knowledge of river and sea shipping takes on its role in circulating these products into economic commodities that encourage trade. Not only that, overland routes that have already been formed contribute directly to forming a very wide cross-regional exchange network, where spice producers and users have never met face-to-face because they live in far apart places. It is undeniable that shipping and trade ultimately had an impact on the cultivation of spices. Historical records in early centuries, and even earlier, indicate that navigation and shipping technology had a major influence on the movement of spices to distant areas around the world, particularly across Asia, Africa, and Europe. No single country or nation can claim that they are an important center in the spice trading system on earth. Each region and community makes its unique contribution to supporting the exchange. Spices were no longer just the result of domestic cultivation but had turned into production commodities to meet the global market, which lasted for a long time until the wave of European nations into Asia in the 16th century, introducing a trade monopoly through a system of territorial colonization.

More than just a trade corridor, the spice route has become the legacy where appreciation of diversity and acculturation took place. Every port and city within the spice route corridor has always been a nursery for cultures and ideas from various nations. Every cultural element that flows within the spice route corridor does not occupy another cultural element, but rather, instead of passing down an exclusive cultural pattern, the rich cultural unity is inherited to the next generation – a cultural property that is inclusive as common heritage, since the authenticity of one culture is not created without the integration of other cultures.

Today, our acknowledgment of the contribution of the spice route as a cultural corridor gives us the momentum to revisit the diversity and acculturation amongst nations. History has recorded that the achievements of human civilization can never be separated from international cooperation. Through the Spice Route, we can rediscover the commonalities of universal values beyond nations.

About the Program

The International Forum on Spice Route (IFSR) is an annual event that broadens the opportunities for cross-border and cross-cultural dialogue in revisiting the traces of intercultural exchanges based on the Spice Route as one of the world's common heritage (both natural and cultural).

Objectives

  • To strengthen friendship and cooperation between Indonesia and other countries with common heritage.
  • To provide a platform for knowledge-exchange and intercultural understanding through international-scale collaboration programs.

Programs

Public lectures, panel discussions, sharing sessions, and community activities.

Participants

  • Government Bodies
  • Non-Governmental Organizations
  • Representatives of International Organizations / Institutions
  • Academia, researchers, educators, observers, students
  • Media representatives
  • Public / communities

Kamis, 23 September 2021

16.10 - 18.00 WIB 

 

Pembicara: 

  1. Prof. Daniel Rosyid, Ph.D. (Rosyid College of Arts & Maritime Studies, Indonesia)
  2. Prof. Sarah Ward, Ph.D. (Australia) (Dalian Maritime University, China) 
  3. Horst Liebner, Ph.D. (Germany)
  4. Samodra, Ph.D. (Rosyid College of Arts & Maritime Studies, Indonesia) 

Moderator: Kaisar Akhir, MT. (Maritim Muda Nusantara)

 

Unsur penting kebudayaan maritim adalah teknologi perkapalan. Daniel Rosyid menyebut pembangunan terlalu berpusat di Jawa dan pada pembangunan jalur darat. Padahal untuk negara kepulauan, transportasi laut amat penting. Ragam jenis kapal juga dimiliki masyarakat pesisir utara Jawa Timur. Samodra menyebutkan jenis-jenis kapal di pesisir Jawa Timur, yakni Pakesan, Payang, Layar Pasirputih, Sigarsemongko, dan banyak lagi. 

Salah satu peradaban dengan transportasi laut adalah Tiongkok. Sarah Ward menjelaskan beragam jenis kapal peradaban Tiongkok seperti yang paling umum adalah Fujian dan Guangdong/Shechuan. Fujian dapat bergerak cepat dan menjadi kapal perang. Guangdong/shachuan lebih kecil dan muda diakses. Bahan pembuatan kapal shachuan diyakini diimpor dari Asia Tenggara karena Tiongkok mengalami deforestasi. Kejayaan pelayanan Tiongkok terjadi di era Dinasti Ming. 

Horst Liebner menjelaskan karakteristik kapal di Asia Tenggara berdasarkan periode waktu. Di abad 10-an, kapal Asia Tenggara berciri kemudi di samping, menyerupai kapal di relief Borobudur, yang berbeda dengan kapal Tiongkok. Kapal pada abad 16-17 adalah kapal Jong yang besar, tetapi tidak dilengkapi dengan meriam seperti kapal dari Eropa. 

Kamis, 23 September 2021

14.00-16.00 WIB 

 

Pembicara: 

  1. Prof. Jun Kimura, Ph.D. (Tokai University, Japan / ICOMOS) 
  2. Natali Pearson, Ph.D. (University of Sydney, Australia) 
  3. Bobby Orillaneda (National Museum of the Philippines)
  4. Nia Hasanah, M.Sc (Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia)

Moderator: Widya Nayati, Ph.D. (Universitas Gajah Mada)

 

Tidak hanya permukaannya, bawah laut juga menyimpan banyak potensi. Natali Pearson membahas peninggalan sejarah yang ada di bawah laut, terutama yang berasal dari kapal yang tenggelam. Salah satu kapal tersebut adalah milik Dinasti Tang di abad ke-9 yang tenggelam di sekitar Pulau Belitung. Kebanyakan peninggalan tersebut berupa keramik, meski ditemukan pula rempah. 

Jun Kimura menyatakan bahwa ada 5 komoditas yang sering ditemukan di kapal tenggelam pada zaman dahulu, yakni logam, kaca, sutra, keramik, dan rempah. Ini menjadi bukti perdagangan rempah, terutama pada negara asal atau tujuan kapal tersebut. Negara asal tersebut juga menunjukkan perkembangan zaman, teknologi perkapalan, dan komoditas apa yang dianggap berharga saat itu. Perdagangan rempah awal didominasi India, Persia, dan Austronesia. Di era pertengahan, kapal lebih canggih dengan penggunaan logam untuk mengantarkan cendana, lada, dll. Di era kejayaan perdagangan maritim, salah satu komoditas unggulannya adalah secang. Tidak hanya kapal negara-negara Asia, bangkai kapal negara-negara Barat juga ditemukan di bawah laut Asia Tenggara. 

Bobby Orillaneda menunjukkan beberapa titik tenggelamnya kapal Eropa, seperti kapal milik Portugis di Kepulauan Verde, Filipina. Komoditas yang dibawa juga keramik, rempah, dan simbol keagamaan seperti rosario. Teknologi kapal Eropa berbeda dengan Asia. Bangkai kapal tersebut dapat menjadi bukti sejarah penting, selain untuk diambil peninggalannya. Beberapa titik ditemukannya bangkai kapal tersebut di Indonesia, seperti diungkapkan Nia Hasanah, misalnya Riau dan Ternate. Untuk pengangkatannya, harus menggunakan cara yang tidak merusak lingkungan, terutama terumbu karang.

Kamis, 23 September 2021

12.30- 14.00 WIB 

 

Pembicara: 

  1. Prof. James Fox, Ph.D. (Australia National University)
  2. Dedi S. Adhuri, Ph.D. (Badan Riset dan Inovasi Nasional)

Moderator: Eko Nurseto, M.Si. (Parti Gastronomi / Universitas Padjadjaran)

 

Penutur Austronesia terkenal dengan pelayarannya. James Fox menjelaskan bahwa dengan pelayarannya, Austronesia mencari berbagai komoditas seperti kayu manis, lada, padi, dan kelapa dan turut mendistribusikannya ke berbagai daerah pula. Arah pelayaran orang Austronesia mengikuti pergerakan arus laut maupun sungai. Telaah terhadap bahasa Austronesia membuktikan pentingnya pelayaran bagi mereka yang dianggap sebagai jalan hidup mereka, sesuatu yang bernilai spiritual. Dari telaah bahasa tersebut pula didapatkan bahwa walaupun pelayaran amat penting bagi orang Austronesia, mereka juga tertarik dengan cocok tanam. Bahkan dalam majas mengenai kehidupan mereka, mereka menggunakan pohon, untuk menggambarkan perkembangan hidup dan kedudukannya. 

Pelayaran menentukan kedudukan suatu kaum dalam masyarakat, misalnya di Kepulauan Kei seperti dijelaskan oleh Dedi S. Adhuri. Kedudukan kelompok di Kepulauan Kei didasarkan pada asal-usul mereka, termasuk yang datang dengan berlayar ke Kepulauan Kei yang disebut dengan Mel. Kelompok masyarakat lain adalah Tuan Tan dan Ren yang dianggap sebagai orang asli Kepulauan Kei berdasarkan legenda. Asal-usul sebagai pendatang ini juga muncul di berbagai mitologi suku lainnya yang masih termasuk Austronesia, seperti Toraja dan Bugis yang meyakini asal-usulnya sebagai pendatang dari langit. 

Rabu, 22 September 2021

14.30- 16.00 WIB 

 

Pembicara: 

  1. Yanuardi Syukur M.Si. (Rumah Produktif Indonesia)
  2. Kaisar Akhir, M.Sc. (Maritim Muda Nusantara)
  3. Adin Khairudin, M.Si. (Grobak Hysteria)
  4. Dr. Tjahjo Suprayogo (Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca)

Moderator: Robby Sunata (Sahabat Cagar Budaya Palembang / Yayasan Negeri Rempah)

 

Fondasi penting pengembangan Jalur Rempah adalah merangkul berbagai komunitas yang ada di berbagai titik di Jalur Rempah. Komunitas yang perlu dirangkul termasuk komunitas yang mengurus peningkatan literasi, karena literasi juga dapat berguna untuk memperkenalkan Jalur Rempah. Salah satunya adalah Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB). Menurut Tjahjo Suprayogo, pengembangan literasi terlalu fokus pada target dari World Economic Forum yakni literasi baca tulis; literasi sains; literasi numerasi; literasi finansial; literasi budaya & kewargaan; dan literasi digital. GPMB selain mengembangkan minat baca, juga berusaha melihat konteks masyarakat setempat yang perlu literasi lain, misalnya literasi lingkungan, sosial, pendidikan, bahari, kesehatan, al-Qur’an (bagi yang muslim), dan terakhir adalah rempah. 

Yanuardi Syukur dengan komunitas Rumah Produktif Indonesia berusaha membangun "budaya ilmu" yang juga akan berguna mengembangkan Jalur Rempah berbasis keilmuan dan lintas bidang keilmuan. Adin Khairudin menjelaskan bahwa Jalur Rempah harus dibangun dengan dialog antara pemerintah dan komunitas-komunitas ini agar masyarakat lebih dahulu paham pentingnya Jalur Rempah. Salah satu dasarnya adalah di bidang pendidikan atau literasi, agar program lain juga dapat lebih mudah diperkenalkan.

Rabu, 22 September 2021

12.30- 14.30 WIB 

 

Pembicara: 

  1. Muhammad Irfan Zainul Fikri (Pertamina International Shipping, Indonesia) 
  2. Indra Lianggoro Widhy Nugroho (Pertamina International Shipping, Indonesia 
  3. Dr. Jajang Gunawijaya (Universitas Indonesia)
  4. Kocu Andre Hutagalung (ReIndo)

Moderator: Bram Kushardjanto (Yayasan Negeri Rempah)

 

Laut dalam kawasan Jalur Rempah tidak hanya berfungsi sebagai penghubung antar wilayah untuk mengantarkan rempah. Di era sekarang, laut amat berguna untuk mengantarkan komoditas lain, termasuk minyak dan gas. Kapal, sebagai alat utama, menjadi wajib dimiliki dengan teknologi mumpuni. Muhammad Irfan Zainul Fikri menceritakan Pertamina sebagai perusahaan migas Indonesia yang dilengkapi dengan kepemilikan kapal untuk mengurangi biaya pengangkutan, dengan SIUPAL (Surat Izin Perusahaan Angkut Laut). 

Indra Lianggoro Widhy Nugroho menjelaskan bahwa rute kapal Pertamina memiliki kemiripan dengan rute yang dilalui Jalur Rempah. Namun rute Pertamina juga merentang sampai ke Amerika menembus US Coast Guard (Penjaga Pantai Amerika Serikat) yang terkenal ketat. Salah satu tantangan untuk distribusi ini adalah desain kapal yang tidak hanya kuat berlayar jauh, tetapi juga ramah lingkungan untuk mengurangi emisi yang akan merusak alam. 

Menelusuri kembali Jalur Rempah di masa sekarang tidak hanya berguna untuk mengantarkan barang. Jajang Gunawijaya melihat bahwa Jalur Rempah memiliki nilai sejarah yang bisa dijadikan daya tarik wisata. Selain melakukan tapak tilas sejarah, dalam berbagai situs yang dikunjungi akan dikenalkan berbagai jenis rempah beserta penggunaannya. 

Kocu Andre Hutagalung menyatakan bahwa Jalur Rempah memang sejak dulu memiliki nilai ekonomi, yang diperkirakan mencapai US$ 8 triliun di era kolonial. Untuk mencapai nilai tersebut, maka potensi Jalur Rempah harus dimaksimalkan terlebih dahulu.

Rabu, 22 September 2021

10.00- 12.00 WIB 

 

Pembicara: 

  1. Moe Chiba (Japan)  (UNESCO Office, Jakarta)
  2. Dr. Soehardi Hartono (ICOMOS Indonesia)
  3. Antonius Wibisono, M.Hum (Pamong Budaya Madya, Kemendikbudristek RI)
  4. Punto Wijayanto, ST., M.Sc (Trisakti University / BPPI

Moderator: Sri Shindi Indira, ST., M.Sc (Beranda Warisan Sumatera / Jaringan Masyarakat Negeri Rempah)

 

Salah satu upaya memajukan Indonesia melalui Jalur Rempah adalah mendorong penetapan Jalur Rempah sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO. Moe Chiba menyatakan bahwa penetapan ini harus sesuai dengan konvensi (perjanjian) tahun 1973 tentang warisan budaya dunia dan konvensi 2003 tentang warisan budaya dunia tak benda. Penetapan ini bisa diajukan oleh beberapa negara, terutama jika calon warisan budaya tersebut memang mencakup lebih dari satu negara, seperti halnya Jalur Rempah. Contoh yang sudah diresmikan adalah arsitektur Le Corbusier yang dapat ditemukan di berbagai negara atau jalan di Pegunungan Andes di Amerika Latin. Ini karena pengetahuan dapat melampaui suatu negara dan melampaui berbagai perbatasan. 

Tidak hanya UNESCO yang memberi perhatian pada situs warisan budaya. ICOMOS (International Council on Monuments and Sites) merupakan organisasi non-pemerintah yang berdedikasi pada konservasi berbagai situs dan monumen di dunia. Soehardi Hartono menyatakan bahwa banyak situs di Indonesia yang terancam. Untuk mengajukan warisan budaya dunia, maka ancaman tersebut harus ditangani. Beberapa hal yang menghambat pemeliharaan situs adalah perbedaan visi antar pihak, pemerintah kurang kompeten, dan kurangnya kapasitas profesional. Tidak hanya warisan budaya dalam bentuk kekayaan alam, tetapi juga warisan budaya di tengah kawasan perkotaan turut terancam. Punto Wijayanto menerangkan bahwa pandangan harus diubah dari melihat situs tersebut sebagai sekadar tujuan wisata menjadi memiliki manfaat nyata bagi masyarakat perkotaan. Baik perkotaan maupun kekayaan alam, termasuk penting untuk diperhatikan dalam mengajukan Jalur Rempah sebagai warisan budaya dunia. Antonius Wibisono menjelaskan proses penominasian Jalur Rempah yang harus memperhatikan persiapan, studi pustaka, pemetaan situs, dan survei lapangan untuk memajukan Negeri di Bawah Angin, julukan untuk Asia Tenggara sebagai kawasan vital Jalur Rempah dan pertemuan berbagai budaya.

Selasa, 21 September 2021

15.00- 17.00 WIB 

 

Pembicara: 

  1. Andrea Acri Ph.D (Italia) (Ecole Pratique des Hautes Etudes, France)
  2. Jiri Jaki Ph.D (Heidelberg University, Germany)
  3. Maulana Ibrahim Ph.D (Universitas Khairun, Ternate, Indonesia)
  4. Dicky A.S. Soeria Atmadja (Center of Remote Sensing, Bandung Institute of Technology, Indonesia)

Moderator:  Sidi Rana Menggala (Ghent University, Belgium)

 

Jalur Rempah tidak sebatas membicarakan Jalur perdagangan Rempah atau kawasan Indonesia saja. Andrea Acri menggunakan perspektif angin monsun Asia untuk melihat Jalur Rempah lebih luas lagi, bahkan melebihi Asia Tenggara. Pandangan bahwa dunia terpisahkan berdasarkan regionalnya masing-masing adalah suatu hal yang baru, karena di zaman dahulu berbagai kawasan telah terhubung, salah satunya berkat angin monsun. Dampaknya adalah keragaman bahasa dan bahkan populasi manusia terawal di berbagai kawasan, seperti Jawa atau Aborigin. Salah satu daerah yang tertua memiliki hubungan dengan Asia Tenggara adalah India. 

Di zaman kolonial, penyebaran komoditas mulai dijalankan di darat, terutama melalui rel. Seperti dikemukakan Dicky A.S. Soeria Atmadja, perkebunan di Jawa memiliki jaringan rel tertua kedua di Asia, setelah India yang jaringan relnya dibangun kolonial Inggris. Tidak hanya komoditas, tetapi telegraf juga disebarkan melalui jaringan rel ini. Bahkan terdapat kehadiran pemakaman prajurit Nazi di Bandung karena menjadi sentra komoditas karet untuk keperluan militer mereka. Meski banyak yang sudah terbengkalai, banyak juga jaringan rel yang masih berfungsi, baik untuk transportasi maupun pariwisata. 

Menarik pula untuk melihat kondisi terkini ini di pulau rempah itu sendiri, Ternate. Maulana Ibrahim menceritakan upaya untuk menjaga kekayaan budaya oleh pemerintah daerah maupun komunitas di Ternate. Kekayaan budaya tersebut disokong oleh pariwisata alam, festival, dan sukarelawan. Bentuknya di antaranya adalah Jelajah Pusaka Tongole, Festival Pusaka Ternate, dan kegiatan seperti bercerita untuk mengingatkan sejarah Ternate. 

Selasa, 21 September 2021

13.00- 15.00 WIB 

 

Pembicara: 

  1. Dini Oktaviani (Social media specialist & Youth Forum Spices dari Indonesia)
  2. John Rey S. De Los Santos (Mahasiswa pertanian & Youth Forum Spices dari Filipina) 
  3. Luthfan Haqi (Indonesia) 
  4. Kemala Ashtika (Pendiri Festival Film Bahari Indonesia)
  5. Prabhoto Satrio (Rumah Cirebon)

Moderator : Iman Pradana

 

Salah satu sasaran program Jalur Rempah adalah generasi muda. Perlu untuk melihat keterlibatan generasi muda dalam program Jalur Rempah, termasuk bagaimana mereka memahami Jalur Rempah. Misalnya Dini Oktaviani memaknai Jalur Rempah bukan hanya soal Indonesia, tetapi dunia sebagai satu kesatuan. Ini membuat Jalur Rempah juga mencakup urusan di berbagai sektor, seperti pendidikan, teknologi, dll). Pandangan serupa juga dikemukakan John Rey S. De Los Santos dan keduanya sepakat bahwa generasi muda perlu terlibat dalam Jalur Rempah. Untuk menarik perhatian generasi muda, menarik mendengarkan pengalaman Luthfan Haqi melalui History Fair UI 2021 yang mengangkat tema Jalur Rempah Nusantara yang diisi dengan berbagai acara seperti webinar, kompetisi, dan amal yang dapat menarik perhatian generasi muda. Cerita lain datang dari Prabhoto Satrio mengenai Rumah Cirebon yang bertujuan menjembatani lintas sosial dan budaya di Cirebon melalui pameran dokumen sejarah dari tahun 1950-an dan berencana membuat mural yang berhubungan dengan sejarah rempah di Cirebon. Media lain yang bisa digunakan untuk promosi kepada generasi muda adalah film, seperti dilakukan Kemala Ashtika melalui Festival Film Bahari yang pada 2021 mengangkat tema Gema Rempah Loh Jinawi yang terdiri dari workshop kemampuan audiovisual, mengunjungi warung jamu, dan mendiskusikan mengenai Jalur Rempah.

Selasa, 21 September 2021

10.00- 12.00 WIB 

 

Pembicara: 

  1. Prof. Tim Winter, Ph.D. (University of Western, Australia) 
  2. Prof. Johannes Widodo, Ph.D. (National University of Singapore)
  3. Dave Lumenta Ph.D (University of Indonesia)

Moderator : Maulana Ibrahim Ph.D (Khairun University, Ternate / Negeri Rempah Foundation, Indonesia) 

 

Kebudayaan dapat berfungsi untuk memajukan inovasi dan ekonomi. Tim Winter mengamati peluang ini melalui ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif ini juga dapat menjadi sarana promosi Jalur Rempah. Ada tiga tipe ekonomi kreatif yang dapat digunakan di antaranya: kuliner; media sosial; dan game. Untuk menggali potensi tersebut, upaya yang dilakukan harus bertanggungjawab. 

Johannes Widodo mengamati bahwa selama ini, ekonomi kreatif yang digalakkan adalah pariwisata yang justru cenderung tidak bertanggung jawab dalam artian tidak memperhatikan kondisi objek pariwisata tersebut dan bahkan merusaknya. Termasuk program Jalur Rempah juga harus memperhatikan keberlanjutan yang telah tertuang dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) agar tidak hanya meningkatkan konsumsi, tetapi juga kemakmuran masyarakat. 

Penciptaan, atau kreasi dari kebudayaan, dapat dilihat sebagai hubungan manusia dan alam. Untuk melihat ini, menurut Dave Lumenta, perlu menghindari pemisahan antara alam dan kebudayaan. Suatu kreasi, termasuk rempah atau kerajinan tangan, tidak hanya dilihat sebagai benda, tetapi juga melihat unsur sejarahnya. Dengan kata lain, kreasi adalah membangun hubungan. Tidak hanya hubungan manusia yang membuat, alam yang menyediakan bahannya, dan kreasi itu sendiri, tetapi juga dengan kelompok kebudayaan lain dan juga negara.

Senin, 20 September 2021

16.00- 17.30 WIB 

 

Pembicara: 

  1. Fify Manan (President of Indonesian Diaspora Business Council in USA) 
  2. Mona Liem (Kurator Seni, Founder of Connected Art Platform in Switzerland) 
  3. Sidi Rana Menggala (Peneliti Kayu Manis, Founder of Spice Land Indonesia in Belgia) 

Moderator : Dr. Tjahjo Suprayoga (Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca / Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Indonesia)

 

Diaspora adalah warga suatu bangsa di luar wilayahnya. Indonesia memiliki banyak diaspora yang tersebar di berbagai negara. Untuk membantu diaspora Indonesia, pada Kongres Diaspora tahun 2012 di Los Angeles didirikan Indonesian Diaspora Business Council (IDBC) yang digagas Dino Patti Djalal. Fify Manan menjelaskan tiga misi IDBC: membantu diaspora membangun bisnis; menjembatani bisnis antar diaspora; dan promosi di Indonesia. IDBC juga membuat platform online, IDBC-Tradelink. 

Di bidang seni, diaspora Indonesia juga berkiprah. Misalnya Mona Liem mengisahkan pengalamannya di Swiss mengangkat seni tentang Indonesia. Gaya seni Indonesia yang berbeda, terutama dari penggunaan warna, menimbulkan seni kerap ditolak. Namun Ars Electronica sebagai festival teknologi terbesar dan tertua di dunia mengundang untuk mempromosikan seni tentang Indonesia. 

Di bidang rempah sendiri, Sidi Rana Menggala meneliti kayu manis di Belgia. Kayu manis di Belgia merupakan salah satu komoditas yang paling banyak dikonsumsi, termasuk untuk pengobatan tradisional. Sejak 2017, Indonesia merupakan penyumbang terbesar kayu manis ke Belgia. Namun hal ini masih menemui kendala: ketersediaan produk dan pasar; teknologi dan produksi; tenaga kerja; finansial dan akses ke pasar modal; isu lingkungan; dan kesejahteraan petani kecil.

Senin, 20 September 2021

10.30- 12.30 WIB 

 

Pembicara: 

  1. Andi Batara Al Isra (Penulis, New Zealand)
  2. Khaerunnisa (Pelayan Kesehatan Professional, Jepang) 
  3. Batari Oja Andini (Pendidik, Cina) 

Moderator : Ary Sulistyo

 

Indonesia tidak hanya menjadi tujuan, tetapi juga turut mengirimkan warganya ke berbagai negara, terutama di masa globalisasi sekarang. Menarik untuk menyimak sudut pandang pendatang dari Indonesia di berbagai negara. Batari Oja Andini mengamati kepercayaan mengenai tataran dunia (kosmologi) dari Dinasti Chu (1030 SM–223 SM) di Tiongkok dengan kebudayaan di Makassar. Rupanya ada beberapa persamaan antara kedua kebudayaan tersebut seperti ritual pemanggilan roh, tingkatan dunia, dan keyakinan bahwa pusat negeri berada di tengah. 

Tidak hanya persamaan, Indonesia juga dapat belajar dari kondisi negara lain seperti pengamatan Khaerunnisa terhadap penduduk Jepang yang banyak di antaranya adalah lansia. Di satu sisi, ada kesempatan kerja terbuka bagi orang luar Jepang, seperti Indonesia. Di sisi lain, Jepang harus menghadapi banyaknya lansia yang membutuhkan pengawasan dari perawat. Ini menjadikan peluang kerja sebagai perawat di Jepang bagi warga Indonesia. 

Menarik pula melihat sudut pandang warga suatu negara terhadap Indonesia. Andi Batara Al Isra menyebut pandangan warga Selandia Baru terhadap Indonesia masih terasa "jauh" dengan kebudayaan yang sangat berbeda. Padahal, Indonesia tidak hanya memiliki kebudayaan khas Asia Tenggara, tetapi juga kebudayaan Pasifik yang dekat dengan Selandia Baru. Beberapa program telah dilakukan untuk menjalin hubungan Indonesia dengan Selandia Baru seperti pameran Pacific Expo, Asia New Zealand Foundation, pengiriman pelajar Indonesia, bantuan penanganan COVID-19, dan ekspor-impor.

Senin, 20 September 2021

13.00-16.00 WIB

 

Pembicara : 

  1. Prof. Zaal Kikvidze, Ph.D. (IIia State University, Georgia) 
  2. Prof. Patrick Van Damme, Ph.D. (Ghent University, Belgium) 
  3. Wawan Sujarwo, Ph.D (Ethnobiological Society of Indonesia/National Research and Innovation Agency) 
  4. Lixin Yang, Ph.D. (Kunming Institute of Botany, Chinese Academy of Sciences Kun) 
  5. Liu Yujing, Ph.D. (Cina) 

Moderator : Rina Rachmawati SP.MP. M.Eng (Fact Indonesia / Brawijaya University)

 

Indonesia bagian barat merupakan bagian dari Laurasia dan Indonesia bagian timur merupakan bagian dari Gondwana. Keduanya adalah benua purba yang telah mengalami perubahan besar, salah satunya adalah membentuk Indonesia. Berasal dari dua benua purba berbeda, kedua wilayah juga menghasilkan komoditas berbeda, termasuk rempah. Fitogeografi mempelajari persebaran tanaman tergantung kondisi geografis. Di bagian barat, rempah yang diproduksi adalah kayu manis, lada, kapur barus, kemenyan, dan gambir. Di bagian timur, rempah yang diproduksi adalah cengkih, pala, kemiri, dan cendana. Wawan Sujarwo membagi rempah di Indonesia menjadi tiga jenis, yakni rempah dari luar Indonesia (bawang, cabai, ketumbar, dll); dari Asia (andaliman, kemangi, kapulaga, dll); dan asli Indonesia (cengkih, jahe, kayu manis, dll). Sayangnya, keragaman rempah tersebut mulai terancam karena maraknya perkebunan sawit dan penambangan. 

Rempah banyak digunakan di negara-negara lain, seperti Georgia. Zaal Kikvidze menceritakan di timur Georgia, dengan kondisi geografisnya, dapat ditanami berbagai jenis rempah, tetapi Georgia, baik timur dan barat, menggunakan rempah untuk makanannya. 

Namun Georgia tidak pernah menjadi bagian penting yang memproduksi rempah dalam perdagangan internasional. Etnobotani, yang mempelajari hubungan manusia dan tanaman, misalnya Lixin Yang menjelaskan konservasi hutan sakral dari suku Yi, Dai, dan masyarakat Tibet. Organisasinya, Center for Biodiversity and Indigenous Knowledge (BKI) bertujuan melakukan konservasi dengan menerapkan etnobotani; melakukan riset terapan; mempromosikan konservasi dan perlindungan keragaman makhluk hidup dan mendorong keberlanjutan pengetahuan tradisional; serta aktif dalam program One Belt, One Road.