Senin, 21 September

13.00 – 15.00 WIB

 

Pembicara: 

1. Prof. Dr. Iwan Pranoto (Institut Teknologi Bandung)

2. Prof. Dr. Hilman Latief (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) 

Moderator: Dr. Dedi S. Adhuri (LIPI)

 

Jalur Rempah nyaris identik dengan kolonialisme. Untuk bisa menjalin kerja sama di masa kini, pemerintah Indonesia dan negara-negara lain yang termasuk Jalur Rempah perlu melihat kembali bahwa Jalur Rempah bukan sekadar sebagai peninggalan kolonial, tetapi bahkan telah hadir sebelum itu. 

Pemaparan Prof. Iwan Pranoto memberi contoh salah satu kerja sama dalam jaringan Jalur Rempah sebelum hadirnya kolonialisme Eropa dan bukan dalam bentuk penaklukan wilayah, tetapi kerja sama pendidikan. Berdasarkan bukti Prasasti Kota Kapur (608 Saka), Talang Tuwo (606 Saka), dan Munggu Antan (808 Saka), Sriwijaya telah menjalin kerja sama dengan Nalanda di bidang pendidikan keagamaan melalui pembangunan biara (monastery), universitas keagamaan, di Nalanda dengan sumbangan dari Sriwijaya. Kerja sama ini dibentuk melalui pelayaran  yang memanfaatkan siklus angin muson yang membuat pembelajar agama dari Nalanda bermukim sementara di Sriwijaya sembari menimba ilmu. 

Di masa modern, promosi Jalur Rempah juga berdasarkan nilai-nilai perdamaian, seperti International Cultural Festival di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sejak 2016, seperti dijelaskan Hilman Latief. Festival tersebut tidak hanya mengingat masa lalu, tetapi menjalin hubungan generasi sekarang di lintas wilayah dalam Jalur Rempah, dengan nilai-nilai yang baru pula, yakni perdamaian, bukan kolonialisme. Jalur Rempah bukan hanya soal Rempah, tetapi nilai, pengetahuan, dan kebermanfaatan bagi masyarakat di dalamnya.