Indonesian Diaspora Business Council (IDBC) dan Negeri Rempah Foundation (NRF) menandatangani kerja sama untuk mengangkat rempah Indonesia mendunia. Seperti kita ketahui, Indonesia adalah negeri yang kaya akan rempah-rempah, namun sayangnya, rempah-rempah Vietnam, Thailand dan Malaysia justru lebih mendominasi di pasar mancanegara. Langkah kerja sama strategis ini, diharapkan bisa terbangun kolaborasi yang kuat antara diaspora Indonesia dan komunitas yang berada di bawah NRF.
Penandatanganan nota kesepahaman ini dilakukan oleh Presiden IDBC,Fify Manan, dan Ketua Yayasan Negeri Rempah, Kumoratih Kushardjanto, disaksikan oleh Wakil Presiden IDBC Astrid Vasile (Australia), perwakilan dari Dewan Pengurus Yayasan Negeri Rempah dan Koordinator Program Pasarempah, Chaedar Saleh Reksalegora.
NRF yang salah satu pendirinya adalah Hasan Wirayuda, mantan Menteri Luar Negeri RI, telah dikenal sejak lama dengan komunitasnya. Bukan saja dalam hal pengembangan sisi ekonomi bisnis dari rempah-rempah Indonesia, tapi juga membangun narasi bahwa melalui rempah-rempah, juga menjadi ajang mengenalkan budaya, nilai dan keberagaman. Hal ini disampaikan Kumoratih atau akrab disapa Ratih, pendiri lain NRF saat penandatanganan kerja sama ini secara virtual (02/09/2021).
“Peran diaspora Indonesia amat besar dalam mempromosikan Indonesia. Apalagi, saat ini Indonesia tengah berupaya untuk menominasikan Jalur Rempah sebagai World Heritage. Kita perlu mempererat persahabatan dan kerja sama dengan negara-negara sahabat.. Dengan dukungan diaspora Indonesia, kita dapat mengambil langkah awal yang baik menuju tujuan kita, termasuk strategi untuk mengembangkan usaha di negara lain tempat diaspora kita berada. Narasi Jalur Rempah dapat turut memperkuat diplomasi Indonesia dalam konteks ekonomi,” ujar Ratih.
Di sisi lain, Fify mengatakan Indonesia sebagai negara kepulauan terpendam harta karun yang sangat berharga yaitu rempah. “Indonesia merupakan surga dunia untuk rempah, mestinya ini bukan sekadar komoditi, tapi harus dengan value added kita bisa ekspor rempah-rembah sebagai bahan olahan bumbu masak. Saat ini bumbu rempah olahan didominasi Thailand, Vietnam dan Malaysia. Bumbu masakan Indonesia mestinya bisa lebih luas peluangnya, agar kesejahteraan UMKM meningkat juga petani Indonesia,” tandasnya.
Fifi menambahkan kuliner Indonesia harus bisa mendunia jika bumbu rempahnya juga mendunia. “Para diaspora yang bergerak di bidang kuliner yang terbanyak saat ini, dengan kerja sama ini, saya yakin bisa mendukung bisnis mereka,” ujarnya. Lalu dengan berkembangnya pemasaran secara online, IDBC sebelumnya telah mengembangkan IDBC Trade Link. Dijelaskan Diski, tim dalam pengembangan teknologi di IDBC, bahwa akan banyak membuka peluang dengan memasukkan komunitas di bawah NRF, yang merupakan UMKM rempah, terkoneksi dengan diaspora yang membutuhkan rempah-rempah.
IDBC TradeLink bukan sekadar e-commerce, lanjut Diski, karena di dalamnya juga menjadi tempat promosi dan kolaborasi perdagangan virtual, serta dapat turut menampung informasi para pelaku UMKM. Termasuk di dalamnya, Pasarempah, yang bisa membawa komunitas ini ke pasar global. Platform ini dapat diakses melalui situs idbc-tradelink.com.
Tujuan platform ini adalah menghubungkan peluang bisnis di antara Diaspora Indonesia di seluruh dunia dan mempercepat promosi bisnis Indonesia; menyediakan platform direktori bisnis yang komprehensif sebagai sumber data tunggal untuk bisnis Diaspora Indonesia; serta mengakomodir kolaborasi bisnis melalui platform interaksi seluler yang mudah digunakan.
Ke depannya, IDBC dan Negeri Rempah akan menggelar berbagai kegiatan diskusi dan bincang virtual yang mengetengahkan beragam topik dan narasumber yang menginspirasi. Melalui platform Tradelink, kolaborasi menjadi lebih mudah karena platform ini memiliki kapasitas untuk menyediakan "forum" yang sederhana dan mudah diakses oleh para anggotanya.
Astrid mengatakan kolaborasi adalah alat bisnis yang kuat untuk komunitas bisnis, terlepas dari ukuran atau industri mereka. Ada rasa urgensi untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan banyak pihak yang berkepentingan dalam peluang ekonomi UKM ini. “Prioritas kami adalah untuk menampilkan bisnis luar biasa kepada komunitas ekspor, bangsa dan Diaspora Internasional, dan menghubungkan peluang bisnis di antara diaspora Indonesia di seluruh dunia dan mempercepat promosi bisnis Indonesia,” terangnya.
Fify menyebut saat ini ada 12 juta diaspora di seluruh dunia dan TradeLink bergerak untuk membuktikan model platform yang unik, mendorong produktivitas melalui desain dan pengembangan terintegrasi di semua bidang Mode dan aktivitas industri lainnya.
Ratih menambahkan bahwa berkat komoditas rempah-rempah, Nusantara dari masa ke masa menjadi tempat bertemunya manusia dari berbagai belahan dunia yang sebagian besar memiliki semangat bukan semata untuk berdagang, tetapi juga untuk membangun peradaban. Jalur perdagangan rempah inilah yang menjadi sarana bagi pertukaran antarbudaya yang berkontribusi penting dalam membentuk peradaban dunia.
“Melalui rempah, kita bisa mengembangkan new sense of identity, jalur rempah sebagai warisan dunia, literasi tentang budaya harus kita sebarkan bersama. Bukan saja terkait pengembangan ekonomi, inilah saatnya rempah bisa memproyeksikan value Indonesia ke dunia. Kolaborasi ini bisa membuka ruang lebih luas, yang telah bergabung dengan yayasan ini, baik yang tidak terkait ekonomi maupun para UMKM,” ujar Ratih.
Editor : Eva Martha Rahayu
www.swa.co.id
Sumber: https://swa.co.id/diaspora/idbc-nrf-akan-bawa-rempah-indonesia-mendunia
Selengkapnya
Media Art Globale (MAG) proudly presents:
MAG21 INFINITY An Adaptation Movement of Garden Indonesia
Proudly bring Indonesian & international artists, speakers and lectures to 42nd Ars Electronica Festival. We elaborate our heritage, nature and spices through Media Art Globale Festival : INFINITY.
Negeri Rempah Foundation will be part of this exciting festival!
The virtual exhibition will be held on www.mediaartglobale.com and https://ars.electronica.art/
From 8 September to 12 September 2021.
Stay tune for further information!
Tales of The Lands Beneath the Winds is not only about the historical spice trade and its route. It is also a valuable tool for analyzing the present and the future of global issues and solutions, such as the climate crisis. The authors reflect compelling stories of places, nature, goods, and power struggle, illustrating what we have to take into account in this modern times. - Amanda Katili, Ph.D.
Tales of The Lands Beneath the Winds is not only about the historical spice trade and its route. It is also a valuable tool for analyzing the present and the future of global issues and solutions, such as the climate crisis. The authors reflect compelling stories of places, nature, goods, and power struggle, illustrating what we have to take into account in this modern times.
- Amanda Katili, Ph.D.
Simak bincang ringan tentang aktivitas Negeri Rempah sebagai gerakan literasi. Bincang ringan bersama Kumoratih Kushardjanto dipandu oleh Arief Budiman dan diudarakan pada hari Jumat, 3 September 2021 di stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) Pro 4 FM.
Your browser does not support the HTML5 Audio element.
Liputan6.com, Jakarta - Mendukung gerakan Jalur Rempah, khususnya terkait pengembangan peluang ekonomi, Yayasan Negeri Rempah dan Indonesian Diaspora Business Council (IDBC) menandatangi nota kesepahaman secara virtual. Ini dilakukan Presiden IDBC Fify Manan dan Ketua Yayasan Negeri Rempah Kumoratih Kushardjanto.
Juga, disaksikan Wakil Presiden IDBC Astrid Vasile (Australia), perwakilan Dewan Pengurus Yayasan Negeri Rempah, dan Koordinator Program Pasarempah Chaedar Saleh Reksalegora. Implementasi kerja sama ini akan berfokus pada Pasarempah, wadah bagi pelaku UMKM dengan produk dan layanan kreatif yang terinspirasi kekayaan rempah Indonesia maupun narasi Jalur Rempah.
Berdasarkan keterangan pers pada Liputan6.com, Kamis, 2 September 2021, kolaborasi ini bermaksud memfasilitasi UMKM yang berpotensi dikembangkan agar bernilai tambah ekonomi yang berkelanjutan. Mengingat, terutama di masa pandemi, para pelaku UMKM mengalami tantangan yang belum pernah dihadapi sebelumnya.
"Hospitality industry adalah sektor yang paling terpukul oleh pandemi, yang mana ribuan bisnis dan sumber mata pencaharian hilang. Meski ekonomi perlahan terbuka, sektor ini masih belum sepenuhnya membaik karena adanya pembatasan yang membuat para pelaku usaha harus berjuang mendapatkan keuntungan atau gulung tikar," kata Fify.
Platform IDBC-TradeLink yang dikembangkan anggota IDBC dari Australia, Diski Naim (Diaspora Melbourne), dan Astrid Vasile (Diaspora Western Australia) pun melangkah maju sebagai salah satu solusi. Penciptaannya bermaksud menghubungkan peluang bisnis di antara Diaspora Indonesia di seluruh dunia dan mempercepat promosi bisnis Indonesia.
Selain itu, juga menyediakan platform direktori bisnis yang komprehensif sebagai sumber data tunggal untuk bisnis Diaspora Indonesia, serta mengakomodasi kolaborasi bisnis melalui platform interaksi seluler yang mudah digunakan.
TradeLink pun turut menampung informasi para pelaku UMKM yang tergabung dalam Pasarempah dan mengantarnya ke pasar global. Platform ini dapat diakses melalui laman idbc-tradelink.com.
Selain memuluskan UMKM rempah Indonesia jadi pemain pasar global, kerja sama IDBC dan Negeri Rempah juga mencakup aktivitas relevan untuk memperluas jejaring usaha melalui Diaspora Indonesia sekaligus membangun keterhubungan antarbangsa dan pemahaman antarbudaya.
"Prioritas kami adalah menampilkan bisnis luar biasa pada komunitas ekspor, bangsa, dan Diaspora Internasional. Di samping itu, juga menghubungkan peluang bisnis di antara Diaspora Indonesia di seluruh dunia dan mempercepat promosi bisnis Indonesia," Astrid mengatakan.
Fify mengakui pertumbuhan ekonomi di Indonesia merupakan kekuatan masa depan Asia Tenggara. "Ada 12 juta diaspora di seluruh dunia dan TradeLink bergerak untuk membuktikan model platform yang unik, mendorong produktivitas melalui desain, juga pengembangan terintegrasi di semua bidang mode dan aktivitas industri lain," ucapnya.
Kumoratih menambahkan, berkat komoditas rempah, Indonesia dari masa ke masa jadi tempat bertemunya manusia dari berbagai belahan dunia yang sebagian besar memiliki semangat bukan semata untuk berdagang, tapi juga membangun peradaban. Jalur perdagangan rempah inilah yang jadi sarana pertukaran antarbudaya yang berkontribusi penting dalam membentuk peradaban dunia.
Sejarah mencatat bahwa Jalur Rempah merupakan contoh nyata diplomasi budaya telah dipraktikkan di segala lini, dari individu, komunitas masyarakat, hingga tingkatan bangsa. Belajar dari dinamikanya di masa lalu, ia menilai Jalur Rempah relevan jadi rujukan dalam mencari warna diplomasi Indonesia yang mengedepankan interaksi dan kehangatan dialog di berbagai bidang, serta lapisan masyarakat.
"Peran Diaspora Indonesia amat besar dalam mempromosikan Indonesia, apalagi saat ini Indonesia tengah berupaya menominasikan Jalur Rempah sebagai Warisan Dunia (UNESO). Kita perlu mempererat persahabatan dan kerja sama dengan negara-negara sahabat," katanya.
"TradeLink dapat jadi salah satu cara memproyeksikan nilai-nilai Indonesia dan mempromosikan produk-produk terbaiknya ke dunia. Dengan dukungan diaspora Indonesia, kita dapat mengambil langkah awal yang baik, termasuk strategi mengembangkan usaha di negara tempat diaspora kita berada," tandasnya.
Oleh: JB Kleden*
KETIKA jatuhsenja tak seorangpun berpikir akan kembalikah matahari karena ia pasti akan kembali. Tetapi perjalanan hidup manusia, tidaklah sepasti matahari. Di bawah matahari yang abadi hanyalah perubahan itu sendiri. Maka pertanyaan mengganjal yang dilontarkan Bona Beding di akhir webinar tersebut “akankah tradisi lokal ini akan berakhir” tidak lebih dari sebuah purbasangka, mungkin juga tak perlu ditanyakan. Bukankah sudah sejak satu dasawarsa yang lalu dunia sudah merayakan kelahiran perahu bertenaga surya?
Tapi jika itu berkaitan dengan pewarisan nilai, baiklah kita ingat bahwa tradisi atau budaya lokal, bahkan mungkin juga sebuah peradaban, seperti dikatakan Paul Recoeur seorang filsuf kontemporer Prancis yang penting, tidak akan bisa hidup, bertahan dan berkembang tanpa ethyco-mythical nucleus. Menggunakan bahasa fisika, inilah inti atom setiap kebudayaan yang mengingat dan mengatur seluruh molekul peredaran kegiatan masyarakat. Karena di sana ada kompleks nilai paling asasi yang merupakan central point of reference bagi setiap orang yang hidup di dalamnya serta merupakan sumber inspirasi bagi kreatifitasnya.
Pengalaman dan ekspresi ketiga penutur kisah ini merupakan upaya untuk menemukan dan mendokumentasikan apa yang menjadi inti atom dari sejarah bahari tanah air kita. Betapapun kita juga paham bahwa sejarah sebagaimana ia dikisahkan berbeda dengan sejarah sebagaimana ia terjadi. Tetapi kisah para pengarung lautan ini telah menjadi apa yang oleh para ahli sejarah disebut sebagai pintu masuk untuk menemukan sumber-sumber yang membantu merekonstruksikan sejarah kehidupan bahari pada suatu masa dulu kala, sebagaimana ia dikisahkan nenek moyang kita yang tak pernah bisa kembali lagi itu.
***
SETIAP kali memandang laut saya selalu memandangnya dengan dengan raya takyub yang luar biasa. Dari detik ke detik laut terus mengirimkan ombaknya ke pantai membentuk buih-buih yang tak pernah berakhir. Sesekali saya berusaha menemukan rahasia di balik riaknya. Tapi tetap saja misteri. Di derunya gelombang muncul beribu-ribu tanda yang tak sepenuhnya terjawab.
Hanya ada satu hal yang pasti dari laut. Selalu memberi tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari dunia. Kita menjejalkan berjuta-juta ton sampah dan limbah ke rahimnya, tetapi ia membalasnya dengan mengirimkan berjuta-juta biota laut bagi keberlangsungan hidup kita. Mantra laut adalah mantra ibu. Mantra ibu adalah mantra kehidupan. Mantra kehidupan adalah mantra penciptaan.
“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.” (Kej.1:1) Lalu berfirmanlah Allah…dan jadilah cakrawala di tengah segala air untuk memisahkan air dari segala air…. Lalu dari air itu tumbuhkan daratan dan kehidupan. Dengan demikian, kisah samudera raya, dari sebermula, adalah kisah tentang kehidupan.
Dan kehidupan kita saat ini sedang terancam karena rusaknya lautan. Menurut para ahli geologi besarnya bencana yang saat ini menimpa lautan, akan membuat karang tak sanggup lagi membentuk terumbu, yang dalam sejarah geologi dicatat sebagai “Kesenjangan Karang”. Kesenjangan karang merupakan merupakan ciri khas dari lima kemusnahan besar massal yang telah terjadi dalam sejarah bumi. Kepunahan masal terakhir, terjadi sekitar 75 juta tahun yang lalu di akhir periode Kretaseus akibat dampak asteroid yang memusnahkan berbagai jenis saurus dan amonit.
NEGARA Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan, nusantara. Gugusan pulau yang bertaburan di atas laut (archipelago). Kita menjadi sebuah negara kesatuan karena laut melingkupi kita. Maka laut sesungguhnya adalah sebuah rumah besar kita bersama: Rumah Indonesia Raya. Rumah bukan sebagai tempat asal yang tertutup, tetapi rumah yang tumbuh justeru karena adanya kepelbagaian yang ada di bentangannya.
Laut adalah rumah besar Indonesia, mungkin karena itulah di atasnya setiap kita boleh pergi dan pulang. Ia sumber hidup, meskipun tidak selalu tenang seperti tasik yang dalam. Rumah besar kita bersama inipun juga sedang terancam kepunuhan jika kita tak bijaksana memeliharanya. Baik secara fisik (merawat laut) maupun secara emosional (merawat kebhinekaan). Dengan demikian kisah Para Pengarung Lautan merawat laut, adalah juga kisah merawat Indonesia. Indonesia Tumbuh, Indonesia Tangguh.
Jalesveva Jayamahe. Kejayaan kita ada dilaut. On care for our common home, mari memelihara laut kita. Laudato Si; mi’Signone. Terpujilah Engkau Tuhanku di Bentangan Samudera Raya. (*)
Kupang, 31 Agustus 2021, pada hari terakhir bulan Kemerdekaan Indonesia
*JB Kleden, PNS Kementerian Agama Kota Kupang
BACA JUGA:
Sumber: https://floresku.com/read/tena-laja-motor-arnoldus-io-kiko-terakhir
BONA Beding, lelaki nyentrik ini memulai kisahnya dengan sebuah proklamasi. “Bapa saya seorang Lamafa, saya putera Lamafa. Laut itu kehidupan kami. Sejak kecil pada usia 3 tahun, kami sudah dilempar ke dasar laut.” katanya dengan semangat. Mungkin orang Lamarera - meminjam istilah Chairil Anwar termasuk “kikisan laut/berdarah laut”. Tapi seorang Lamafa bukan “Beta Pattirajawane”, sosok mitologis dalam “Cerita Buat Dien Tamaela” yang ketika lahir dibawakan “dayung dan sampan”. Seorang Lamafa ketika lahir diberi minum air laut. Dan pada usia 3 tahun dilempar ke dasar laut agar bisa belajar bertahan hidup. Maka nasib seorang Lamafa sesungguhnya ditulis di laut.
Hanya orang Lamalera yang memahaminya secara tepat frasa ini. Ia magis. Lamafa bukan sekadar tukang tombak ikan paus seperti yang dipahami kebanyakan orang di luar Lamalera. Di laut dia pemimpin kelompok penombak. Di darat dia penjaga kehidupan. Laut bagi orang Lamalera adalah tempat moralitas Lamafa di uji. Kesalahan di darat, diungkapkan di laut. Perilaku Lamafa di darat akan menyebabkan ikan paus datang memberi diri atau menolak memberi dirinya. Lamafa dengan demikian bukan sekadar cerita heroisme di tengah samudera. Ia adalah kisah tentang hidup. Tanggungjawab Lamafa adalah hidup seluruh masyarakat Lamalera dan kampung sekitarnya.
Semua orang boleh teledor, tetapi seorang Lamafa tak boleh teledor karena ia menggenggam harapan dan masa depan kehidupan seluruh kampung. Kemurnian hati akan membuat seorang Lamafa dengan riang gembira melompat meraih mette bergegas turun ke lautnya, menakar gelombang menyambut ikan paus yang datang memberi diri sambil bernyanyi “hirkae…hirkae…hirkae….”
A thing of beauty is a joy for ever. Maka meski gentar, seorang Lamafa menyadari bahwa dirinya tetaplah manusia yang rapuh, tetapi lebih berarti dalam pengampunan dan rasa syukur. Maka setiap kali mengawali musim lefa seorang Lamafa harus melakukan ritus pembersihan diri, dalam misa lefa. Karena lautlah yang memiliki orang Lamalera, bukan orang Lamalera yang memiliki laut. “Kau salah-salah, laut akan mengambilmu.”
Diakhir kisanya, putera Lamafa ini menolak terminilogi yang selama ini dilekatkan orang bahwa orang Lamalera berburu paus. “Reu, orang Lamalera tidak berburu paus. Laut bagi bagi kami adalah ibu, yang memelihara kehidupan kami. Ikan paus datang memberi diri dan sebagai pemberian ibu, kami pergi mengambilnya. Mengambil untuk menghidupi kampung kami dan kampung-kampung di sekitar kami.”
Orang Lamalera mengambil ikan paus ia tidak hanya untuk memenuhi blapa lolo (tempat menyimpan, mengawetkan ikan) ema-ema Lamalera. Seperti Maria dalam kisah Injil, ema-ema Lamalera pergi membawa berkat laut itu bagi saudara-saudaranya para Elisabeth di bukit-bukit yang jauh, menukarnya dengan ubi, pisang dan jagung. Dan ketika kaki ema-ema turun kembali dengan indahnya dari bukit-bukit nun jauh, anak-anakpun berlari menyambut berkat dari gunung itu dengan kegirangan yang sama seperti mereka menyoraki berkat dari laut, saat ikan paus menyemburkan air tanda kedatangannya. Beleo, beleo, beleo….
Kisah ini mengingatkan saya akan tradisi “Tubak Io” (menangkap Hiu Paus) di kampung kami, Waibalun. Pada musim yang bersamaan dengan musim lefa di Lamalera, di kampung kami juga ada tradisi Tubak Io (menangkap Hiu Paus). Tapi dalam penuturan Bona Beding, saya kemudian menyadari bahwa apa yang dilakukan nenek moyang kami di Waibalum dulu, sama seperti yang dilakukan para Lamafa di Lamalera. Mereka pergi mengambil Io Kiko yang datang memberi diri.
Betapa tidak. Bayangkan, Hiu Paus (yang dalam Bahasa Latin disebut Rhincodon Typus, atau Whale Shark dalam Bahasa Inggris) itu, menyeberang dari perairan laut Sawu melintasi selat Lewotobi, tidak berbelok ke Selat Sempit Larantuka atau ke Selat Adonara, tapi masuk ke laut dangkal depan Nuha (pulau) Waibalun, bermain di tasiknya yang tenang, lalu lalang tak mau pergi, sampai nenek moyang kami datang mengambilnya.
Seperti ikan paus bagi masyarakat Lamalera, Io Kiko itu tidak pernah menjadi milik pribadi. Ia milik seluruh kampung. Dan jika dalam musim itu bisa mengambil tiga ekor atau lebih Io Kiko, maka seluruh isi kampung akan mengadakan ritual Biho Rengki (masak nasi tumpeng adat) pada malam purnama bulan. Semua orang duduk makan bersama di Nama, yang diakhiri dengan dolo-dolo bersama.
“Mari menari
Mari beria
Mari berlupa”
Bukan karena makan besar dan pesta pora begitu penting, tetapi ada sebuah kegembiraan yang sedang dirayakan bersama orang satu kampung, yakni kegembiraan dan kemerdekaan hidup sebagai saudara. Dengan makan rengki dan menari dolo-dolo pai murah rame-rame kami sedang merayakan tiga keutamaan hidup bersaudara, yakni kesediaan untuk saling berbagi, saling peduli dan saling menumbuhkan keutamaan harapan.
“Mae hama io kiko, kemi hama io ate, keraot hama io belehek.” Inilah kata Mutiara yang tak kami lupakan. “Enak seperti hiu paus, manis seperti hati hiu dan renyah seperti tulang rawan hiu”. Mungkin karena persaudaraan itu, ceruk rindu lebih dalam di sukma, sehingga ketika hari mulai malam, ibunda duduk di bale-bale merenda rindu dan bernyanyi… Bale nagi, bale nagi, no eeee, kendati nae bero eee . (BERSAMBUNG)
BACA JUGA
Sumber: https://floresku.com/read/tena-laja-motor-arnoldus-io-kiko-bagian-3
BEGITU menyaksikan potret-potret yang disuguhkan Muhammad Ridwan tentang Perahu Padewakang, Mandar, dengan layar berlapis-lapis, terasa seperti berada kembali di pantai Waibalun beberapa puluh tahun lalu. Melalui foto-foto yang ditampilkannya, perahu-perahu Mandar yang sebagian besar kini tinggal kenangan itu, langsung memukau, dan memenuhi ruang imajinasiku. Dulu dalam periode tertentu, kami selalu melihat perahu-perahu jenis ini yang kami sebut ‘Tena-Laja’ melintas di laut depan kami.
Biasanya antara April-Oktober bersamaan dengan datangnya angin muson timur yang berhembus dari Asia ke Australia, saat matahari pagi menyepuh puncak Ile Mandiri dengan sinar kuning putihnya yang lembut, dari Laut Flores selalu saja ada perahu jenis ini masuk ke Selat Sempit Larantuka, melintasi laut depan kami, menuju Selat Lewotobi dan menghilang ke perairan Laut Sawu. Sebaliknya pada musim muson barat (sekitar Oktober-April) saat angin berhembus dari Australia ke Asia, dari perairan laut Sawu, Tena-Laja muncul kembali, melintasi selat Lewotobi, menyusuri pesisir pulau Solor menuju Selat Sempit Larantuka seterusnya ke Laut Flores, atau berbelok ke selat antara Adonara dan Solor dan menghilang ke balik Tanjung Gemuk.
Kami tidak tahu itu perahu milik siapa. Juga tidak tahu rute perjalanannya. Itu tidak penting bagi kami, karena perahu itu tak pernah menyinggahi kampung kami. Kami hanya melihatnya dari jauh dengan kekaguman yang luar biasa. Ada perahu yang begitu indah. Berlayar tenang seakan waktu berjalan dengan cara berbeda di atas laut. Sungguh sebuah pemandangan yang indah dan mengasyikkan. Tena-Laja – Tena-Laja itu seperti tetap berpegang pada siklusnya, kendati kehidupan di sepanjang pantai yang dilaluinya senantiasa maju bersama garis sejarah dan kemajuan.
Tena-Laja itu kini tak tampak lagi. Kelak seluruh sejarah ini akan menghilang kembali di laut yang tak lekang oleh waktu. Tapi laut yang terhampar depan kampung kami itu adalah taman bermain teramat indah bagi masa kecil kami. Ia adalah surga kecil yang sangat mengasyikkan, sebuah semesta kemungkinan yang penuh gairah, tempat kami melarungkan selaksa angan.
Nahkoda Kapal Samudra Raksa
KISAH I Gusti Putu Ngurah Sedana (Nahkoda Kapal Samudra Raksa) tentang perjalanan Samudra Raksa melahirkan sensasi tersendiri. Tentang kisah perjalanan ini kita bisa mengaksesnya di internet. Namun satu hal yang baru saya dengar malam itu adalah, setelah menuntaskan misinya di Accra, Ghana, Samudra Raksa dipotong menjadi tujuh bagian, dimuat dalam tujuh kontainer untuk bisa dikirim kembali ke Indonesia. Kini Samudra Raksa menjadi museum di Borobudur.
“Pak kenapa harus dipotong dan dikirim pulang? Ya kalau tidak begitu, kami menunggu sampai arah angin berbalik kembali untuk berlayar ke Indonesia. Dan itu biasanya sampai 6 bulan.”
Menunggu arah angin berbalik kembali. Saya teringat bagaimana para orang tua kami dulu menunggu arus ole dan hura (wura) untuk pergi melepas huo (bubu) di perairan Wure (salah satu desa di wilayah Kecamatan Adonara Barat (Flores Timur). Mereka juga menghitung dengan sangat teliti titik-titik tertentu di darat, entah dengn pohon atau batu pada empat penjuru mata angin sebagai pananda untuk melepas huo. Belakangan setelah mempelajari ilmu falak baru saya mengerti apa yang dilakukan itu sama dengan menghitung garis bujur dan garis lintang untuk menentukan titik koordinat.
Kisah Samudra Raksa yang terombang-ambing di tengah lautan menghadirkan cerita lain. Saya pernah naik motor Arnoldus dari Pelabuhan Waidoko (Kecamatan Wulanggitang) ke Larantuka, pada suatu hari di bulan Desember tahun 70-an. Mesin motor mati di tengah perairan Kawalelo. Kami sempat terkatung-katung dengan ombak besar yang mengguncang. Wajah anak-anak Seminari San Dominggo Hokeng yang semula penuh kegembiraan karena pulang kampung, mendadak pucat. Hanya sang Jurumudi yang dengan penuh ketenangan menjaga haluan perahu motor agar tidak membelah ombak dengan sudut 90 derajat.
“Haluan motor musti menyimpang beberapa derajat membentuk sudut lancip agar kita bisa berayun bersama ombak dan tidak tenggelam. Ini pengalaman,” kata sang Jurumudi. Dan benar, ia dengan sukses mengantar kami tiba ke pelabuhan Larantuka.
Kisah mengarungi laut ini, betapapun tidak seheroik perjalanan Samudra Raksa, seakan mengingatkan bahwa laut mempunyai dua sisi yang bertentangan tetapi juga bertaut. Berlayar di atasnya menggairahkan tetapi juga menegangkan. Sebuah pertautan antara kegembiraan dan harapan, dengan duka dan kecemasan.
Laut yang tenang di depan mata kanak-kanak kami itu, ia penuh suspensi tetapi juga memukau. Ia memisahkan kami dengan pulau Solor dan Adonara, tetapi juga menghubungkan; sebuah antara yang juga memiliki lokus tersendiri. Ia tak pernah kosong. Ia menjadi petualang yang menggairahkan juga kebebasan untuk lupa dan kemerdekaan untuk pergi dari rumah. Laut punya tramendum dan fascinosum tersendiri. (BERSAMBUNG)
BACA JUGA: Tena-Laja, Motor Arnoldus, Io Kiko (Bagian 1)
Sumber: https://floresku.com/read/tena-laja-motor-arnoldus-dan-io-kiko-bagian-2
“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.” (Kej.1:1)…
Dan sejak mula dari segala awal itu, laut punya cerita. Tidak hanya tentang makhluk hidup yang berkeriapan di dalamnya. Laut pun menuturkan kisah tentang para pengarung samudra yang terus berlayar dalam debar di batas senja-senja…
“Tali kapal itu dilepaskan dari pangkalan…Kami berlayar mendapatkan dunia abad keduapuluh kembali, yang masih jauh, jauh sekali dari kami letaknya…” (paragraf kahir cerita mengenai ekspedisi Kon-Tiki)
Dan di atas semua itu laut mengisahkan kehidupan bumi dari sebermulanya.
Pesona Kisah Para Pengarung
Selasa, 24 Agustus 2021, Bona Beding, mengirim undangan webinar yang diselenggarkan Maritim Muda Indonesia, bekerjasama dengan Negeri Rempah Foundation dan International Maritime Virtual Roundtables (IMRV) pada Kamis (26/8). Sebenarnya saya ada jadwal lain. Namun judul dan identitas para penutur membuat saya mengambil keputusan menghadiri webinar ini.
Ternyata keputusan mengikuti webinar ini tidak sia-sia. “Kisah Para Pangarung Lautan” yang dituturkan Pelaut Perahu Padewakang, Mandar (Muhammad Ridwan Alimudin), Nahkoda Kapal Samudra Raksa (I Gusti Putu Ngurah Sedana) dan Putera Lamafa (Bona Beding) menjadi sebuah bleesing in disguise yang membawa saya ke masa setengah abad silam saat masih kanak-kanak di kampung kelahiran. Waibalun.
Muhammad Ridwan berbicara mengenai Perahu Padewakang Mandar, I Gusti Putu Ngurah Sedana bercerita mengenai Kapal Samudra Raksa dan Bona Beding menuturkan tradisi berburu ikan paus di Lamalera. Ada kesan kuat para penutur tidak sekadar berkisah tetapi juga menuangkan semacam kerinduan azali dari pengembaraan setiap manusia untuk menemukan yang asli…keluhuran dan kearifan tradisi bahari nenek moyang yang pelan tapi pasti berangsur “pergi” tergerus derasnya perubahan.
Salah satu ciri khas tradisi atau sejarah lokal adalah lingkup geografisnya yang relatif terbatas dan justeru karena keterbatasan itu ia menjadi sangat intim dengan orang-orang yang mengalaminya secara langsung. Dalam tradisi lokal, hampir semua orang yang mengalaminya dapat dengan lugas mengisahkannya -apa adanya- tanpa batas penyekat. Bahkan karena demikian dekatnya sejarah atau tradisi lokal yang dituturkan bagi yang mendengarnya, terasa sebagai kisah bersama.
Meski kisah mereka spesifik -Perahu Padekawang Mandar, Kapal Layar Samudra Raksa dan Lamafa – ada kerinduan universal yang sama di antara mereka untuk mencari akar. Betapapun demikian, para penutur ini sepertinya sadar betul bahwa masa lalu tidak bisa diproyeksikan untuk dihadirkan kembali secara utuh di masa depan. Masa lalu hanya sebagai titik tolak dan sumber inspirasi, maka tampak sekali tidak ada niat para penutur untuk membawa peserta ke tanah Mandar di Sulawesi Barat, ke tempat-tempat persinggahan Samudra Raksa atau ke barisan Najê (rumah perahu) yang berjejer di sepanjang pantai Lamalera. Peserta justeru dibuat sedang berlayar menikmati kedalaman masa lalunya secara universal dalam sebuah kesatuan.
Maka tanpa idealisme ilmiah yang berlebihan, juga tanpa merasa rendah diri karena keterbatasan sumber (khususnya mengenai Perahu Mandar dan Samudra Raksa, sehingga porsi untuk Lamafa lebih dominan) artikel ini sekadar sebagai sebuah memorabilia yang tidak memerlukan suatu janji muluk-muluk tentang sumbangsihnya yang besar bagi Maritim Muda Indonesia. Karena ia sekadar bercerita tentang segala rasa yang tak ada ujung pangkalnya. (BERSAMBUNG)
Sumber: https://floresku.com/read/tena-laja-motor-arnoldus-io-kiko-bagian-1
MAG21INFINITYAn Adaptation Movement of Garden Indonesia
Proudly bring Indonesian & international artists, speakers and lectures to 42nd Ars Electronica Festival.We elaborate our heritage, nature and spices through Media Art Globale Festival : INFINITY.
The virtual exhibition will be held onwww.mediaartglobale.com and https://ars.electronica.art/
From 8 September to 12 September 2021
In partnership with Ars Electronica Festival with title “INFINITY” an adaptation movement of Garden Indonesia. MAG21 is a showcase of Indonesian cutting-edge artworks through art, science and technology.
“An Adaption Movement of Garden Indonesia” is a sub-theme at MAG21.The global pandemic brings positive and negative consequences. Adaptation is the option to survive and overcome it. Garden Indonesia elaborates on our culture, environment and heritage through the science technology to society. These adaptation stories of Garden Indonesia are the culture actions that we would like to spread through this showcase to rise up beyond the challenges.
KUMORATIH KUSHARDJANTO (ID)Executive Director, Negeri Rempah Foundation.#MeetTheSpeakers #MeetTheLecturers@kumoratih - My Spice My Power
Kumoratih is currently Chair of the Executive Board of Negeri Rempah Foundation, a not-for-profit organization dedicated to public education and learning experience, particularly of historical, social and cultural issues relating to Indonesia’s diversity. Kushardjanto is also the Co-Founder and Managing Director of GELAR-Presenting Indonesia, a community-based cultural conservation through sustainable travel. Kumoratih will tell you a glimpse of the history of the spice route in the Indonesian archipelago and local wisdom knowledge preserved in tradition the spice route and how it has changed the world today.
Bogordaily.net – Selain memiliki kekayaan keindahan alam, Indonesia juga dikenal dengan banyaknya rempah-rempah yang menjadi warisan budaya. Mulai dari lada hingga kunyit.
Berdasarkan data Negeri Rempah Foundation, tercatat ada 400-500 spesies rempah, dan dari 275 itu di antaranya berada di Asia Tenggara yang di dominasi oleh Indonesia. Julukan untuk Indonesia sendiri menjadi Mother of Spices.
Seperti yang dilansir dari laman Instagram kementerian pertanian. Sejumlah kawasan di Indonesia seperti Jambi, pulau Jawa, Kalimantan Tengah dan Timur, Maluku, NTT hingga Papua.
Berikut beberapa daftar rempah yang menjadi andalan ekspor Indonesia.
<• Cengkeh
Cengkeh biasanya ditemui di beberapa masakan hingga minuman hangat. Rempah ini berasal dari Ternate dan Tidore yang berada di Kepulauan Maluku. Cengkeh saat ini tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
<• Lada
Si kecil yang berbentuk biji dan bercita rasa pedas ini mempunyai nama latin Piper Nigrum Linn. Rempah ini diperkirakan berasal dari India.
Namun, ternyata tanaman ini banyak tersebar di wilayah Indonesia. Seperti Aceh, Jambi, Kalimantan,Lampung, Sumatera hingga Yogyakarta.
<• Jahe
Jahe dengan ciri khas rasa pedas dan biasanya digunakan untuk bahan makanan, obat hingga permen.
<• Kunyit
Tanaman ini dikenal dengan ciri khas warna yang dikeluarkan yaitu warna kuning.
Tanaman ini tumbuh cukup banyak di berbagai wilayah Asia Tenggara. Indonesia menjadi salah satu negara penghasil kunyit terbaik.
<• Pala
Tanaman ini selain digunakan sebagai rempah-rempah pala juga bisa digunakan sebagai penghasil minyak astiri.
Tanaman ini merupakan tanaman khas Banda dan Maluku, banyak tersebar di daerah Timur Indonesia.
<• Kayu manis
Rempah ini mempunyai aroma yang sangat harum. Biasanya rempah ini dijumpai di berbagai macam kue atau minuman.
<• Vanili
Sebenarnya, tanaman ini berasal dari Meksiko. Namun, di Indonesia juga sudah banyak dibudidayakan. Terutama di wilayah Barat dan Tengah Indonesia.
Sumber: Simak Nih, Daftar Produk Rempah Alam Indonesia yang Mendunia (bogordaily.net)
Oleh Kumoratih Kushardjanto—Pegiat di Yayasan Negeri Rempah, dan pengajar tetap di jurusan Desain Komunikasi Visual, Universitas Bina Nusantara.
Nationalgeographic.co.id—Pencarian narasi tentang Jalur Rempah telah membangkitkan rasa keingintahuan kita tentang kesejatian jiwa negeri ini. Indonesia telah lahir dari sebuah kisah panjang tentang perjumpaan.
Setidaknya dalam lima tahun terakhir, Jalur Rempah muncul sebagai sebuah narasi kultural-historis yang menarik banyak perhatian publik. Narasi ini menempatkan Nusantara (kini Indonesia) menjadi simpul penting pertukaran antarbudaya dari masa ke masa yang mempertemukan berbagai gagasan, konsep, ilmu pengetahuan, agama, bahasa, estetika, hingga adat kebiasaan.
Nusantara dianggap berkontribusi penting dalam membentuk peradaban dunia. Narasi kultural-historis ini begitu romantis, sehingga mampu mereproduksi nasionalisme dan identitas yang secara serentak memberikan pemaknaan baru tentang apa artinya menjadi Indonesia. Meski demikian, kadar pemaknaan itu bisa berbeda-beda bagi setiap orang.
Narasi jalur rempah kini memberikan ruang bagi siapa pun untuk berimajinasi tentang Indonesia. Siapa pun bisa memaknainya secara pribadi sambil merekacipta tradisi dan menyejajarkan ulang (re-alignment) dengan jejak kegemilangan leluhur jauh di masa lampau.
Alih-alih berupa ideologi yang sangat politis, sejarah nasional kini mampu bertransformasi menjadi konten penjenamaan (branding) sekaligus konten kurikulum pendidikan, ia bisa lahir kembali dalam film layar lebar sekaligus konten pidato presiden, pun lahir kembali dalam kebijakan diplomasi budaya sekaligus tema wisata unggulan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Dengan kata lain, jalur rempah memberikan warna baru terhadap proses reproduksi nasionalisme. Di saat bersamaan, gerakan masyarakat berbasis komunitas ini turut membangun literasi dan tradisi belajar – meski berada di luar sistem negara.
Mencari Indonesia
Jalur rempah adalah kisah pertemuan. Kisah silaturahmi. Kadang begitu hangat, di saat lainnya panas penuh gejolak. Bila kehangatan rempah itu masih kita warisi hingga kini, maka seharusnya Jalur Rempah hari ini juga mempertemukan kita dengan banyak pemikiran dan gagasan yang melampaui batasan-batasan budaya.
...antara Negarakertagama, Pararaton, dan prasasti itu ada jarak-jarak yang memisahkan keotentikan, dalam artian keabsahan sumber. Pararaton itu paling jauh dapat dipercayanya. Terus Negarakertagama, memang sezaman Majapahit. Tapi masih harus di cek karena tidak semuanya benar. Ingat itu! Tidak semuanya benar yang dikemukakan di situ!”
Kami terdiam. Sumpah Palapa tidak ada. Uraian panjang lebar dari Hasan Djafar seketika membuyarkan imajinasi kami tentang kejayaan Majapahit. Saat itu saya menemani dua desainer dan seorang mahasiswa.
Pada awalnya, para desainer amat bersemangat untuk memaparkan ide komik Mahapatih Gajah Mada yang mengumandangkan Sumpah Palapa. Mang Hasan juga menolak asumsi umum bahwa Majapahit merupakan cikal bakal bersatunya Nusantara yang kelak menjadi model negara Indonesia, termasuk Gajah Mada sebagai figur penting pemersatu Nusantara melalui Sumpah Palapa.
Menurutnya, apabila Gajah Mada memang betul-betul mempersatukan Nusantara yang ditandai dengan sebuah sumpah, peristiwa ini merupakan kejadian penting. Sudah seyogyanya, peristiwa ini pasti terekam dalam dokumen kerajaan yang resmi, dalam hal ini prasasti.
Akan tetapi, kenyataannya tidak ada satu pun dokumen yang ditemukan. Mulai upala prasasti (dokumen dipahatkan pada batu), tamra prasasti (arsip kerajaan yang dipahatkan pada tembaga), maupun ripta prasasti (arsip yang dituliskan pada lontar untuk para saksi). Sesi konsultasi hari itu memberikan pelajaran baru: betapa miskinnya pengetahuan kami dan betapa kurangnya kami membaca.
Kevin Sim mendengar Jalur Rempah untuk pertama kalinya pada tahun 2015 dari para dosen yang kala itu sedang melaksanakan tugas pengabdian masyarakat sebagai perancang pameran yang sama di Museum Nasional. Mengikuti arahan dari sang dosen, ia ikut terlibat sebagai mahasiswa magang di proyek pameran tersebut. Ia pun harus mengikuti sesi konsultasi dengan para narasumber ahli, salah satunya Mang Hasan.
Meski demikian, pemuda kelahiran tahun 1993 ini mengaku tidak suka pelajaran sejarah. Awalnya, narasi Jalur Rempah membuat dahinya berkerut, …ini ngomongin apa sih? Bukannya ini soal bumbu dapur doang ya? Kenapa jadi ribet begini sejarahnya?” ujarnya sambil tertawa.
Romantika sejarah perdagangan rempah itu ternyata tak terlalu menarik baginya. Ia lebih tertarik pada berbagai macam tanaman rempah. Lebih dari 50 ilustrasi rempah-rempah telah dibuatnya untuk beberapa kegiatan pameran.
Seiring dengan bertambahnya pengetahuan tentang jenis-jenis rempah, pemuda keturunan Tionghoa yang bernama asli Shen Hong Hua ini mengaku bangga bisa ikut berpartisipasi dalam berbagai aktivitas komunitas yang menamakan diri Jaringan Masyarakat Negeri Rempah.
Komunitas ini mempertemukannya dengan pegiat-pegiat budaya dari berbagai daerah di Indonesia. “Selain saya jadi belajar tentang rempah, saya jadi punya banyak teman baru. Saya senang bisa bersosialisasi dengan banyak orang. Buat saya yang paling berkesan adalah kekeluargaannya itu lo. Kita nggak saling kenal sebelumnya. Tapi, waktu kita sama-sama ngerjain jalur rempah, kita saling dukung memperkenalkan Indonesia. Bangga banget rasanya lihat karya saya dipajang di Museum Nasional,” ujar Shen Hong Hua.
Narasi Jalur Rempah yang dihayati Kevin boleh jadi sebatas bumbu dapur. Tetapi, setidaknya Jalur Rempah telah membuka pintu imajinasinya tentang keindonesiaan. Ia bermimpi untuk menerbitkan Bumbupedia, buku kumpulan ilustrasi rempah-rempah hasil karyanya selama menjadi sukarelawan pegiat jalur rempah.
Akhirnya kiriman buku dari Tanjungpandan itu tiba juga. Pengirimnya adalah Fithrorozi. Beberapa waktu lalu ketika berkunjung ke Jakarta untuk acara “Rempah dan Kita”, ia pernah berjanji mengirimkan kumpulan tulisan dari anak-anak sekolah dasar asuhannya. Judulnya: Cerita Anak Republik Kelekak “Lima Penjuru Angin”.
Isinya adalah tulisan siswa-siswi SD Negeri 13 Sijuk mulai dari kelas 2 hingga kelas 6, menggunakan bahasa ibunya. Sederhana, jujur, lugu, dan lucu. Ide membuat buku ini digagasnya untuk menumbuhkan tradisi belajar sejak anak-anak. “Cara ini bisa dipakai untuk memperkenalkan jalur rempah ke anak-anak, mbak,” paparnya dengan antusias.
Sudah sejak beberapa tahun terakhir Fithrorozi aktif dalam sebuah komunitas literasi yang dinamakannya Telinsong Budaya. Putra daerah asli Belitung yang pernah beberapa tahun bekerja di perusahaan swasta di Jakarta ini memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya, menjadi PNS dan berkarya di kota kelahirannya.
“Jalur rempah ini menarik sekali. Ini mengingatkan saya pada posisi Belitung di jalur perlintasan samudra dan budaya,” paparnya penuh semangat. “Narasi Jalur Rempah sangat relevan dengan aktivitas saya bersama komunitas lokal. Basis komunitas kami adalah literasi yang mulai mendapatkan tantangan dari banyaknya disrupsi teknologi digital sehingga perlu dikembangkan keunikan lokal berbasis tradisi. Namun kondisi ini senjang,” sambungnya.
Fithrorozi menambahkan bahwa narasi jalur rempah lebih marak dalam tataran pemerintahan ketimbang di akar rumput. Pemerintah Kabupaten Belitung memang pernah menggelar sarasehan Jalur Rempah yang dihadiri Balai Arkeologi dan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi.
Sayang sekali, lebih berorientasi pada temuan arkelogis dari entitas kekuasaan lama (Kerajaan Balok) yang menurutnya sulit direlasikan dengan Jalur Rempah.
Baca Juga: Jejak Jalur Rempah, Legenda Kebun Gambir di Persimpangan Selat Malaka
Padahal, Fithrorozi berkeyakinan bahwa narasi Jalur Rempah ini memiliki daya dorong untuk menggerakkan potensi ekonomi dari komunitas lokal. Apalagi komunitas ibu-ibu di sini juga sudah memanfaatkan rempah sebagai tanaman obat, malah ada pula yang mulai membuka usaha spa rempah, sabun, dan kuliner.
“Bayangkan, bila komunitas perempuan ini bisa memaknai usaha yang mereka lakukan adalah bagian dari narasi besar jalur rempah yang sedang diupayakan Indonesia sebagai warisan dunia,” ujarnya. Namun, ia juga menekankan bahwa narasi saja tidak cukup. Pelaku usaha juga perlu mengetahui rantai nilai, rantai pasok, dan rantai pemasaran.
Rempah Belitung khususnya lada, boleh jadi tidak lagi menjadi unggulan. Meski demikian, Fithrorozi sangat optimis bahwa ada simpul yang bisa membuat ingar-bingar jalur rempah ini beroleh manfaat: pariwisata. Menurutnya pariwisata bisa menjadi daya tarik sektor hulu dan mendorong sektor hilir. “Inilah pentingnya literasi,” pungkasnya.
Sumber: Narasi Sepanjang Jalur Rempah, Perjalanan Upaya Demi Mencari Indonesia - Semua Halaman - National Geographic (grid.id)
BANDUNG, KalderaNews.com – Universitas Kristen Maranatha melalui Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) sukses menjadi menjadi tuan rumah forum internasional bertajuk “International Forum on Maritime Spice Trading Routes and Cultural Encounters in Indo-Pacific: Past, Present, and Future.”
Forum yang digelar secar adaring ini menrupakan kerjasama FSRD Maranatha, Center for Chinese Diaspora Studies (CCDS) Maranatha, International Council on Monuments and Sites (ICOMOS), Fujian Normal University (Tiongkok), dan Yayasan Negeri Rempah.
Dr. Dra. Christine Claudia Lukman, M.Ds., dosen FSRD selaku Ketua Panitia Pelaksana mengatakan, “Forum akademik ini bertujuan menggali nilai-nilai istimewa yang dapat ditemukan di negara-negara sepanjang Jalur Rempah-Rempah dan menghadapkannya dengan tantangan dan kemajuan zaman, tantangan dan kesempatan di saat ini dan di masa mendatang.”
Sementara, Rektor UK Maranatha, Prof. Ir Sri Widiyantoro, M.Sc, Ph.D., IPU mengatakan, Jalur Maritim Rempah-Rempah menjadi signifikan karena di sepanjang jalur itu berbagai bangsa saling bertemu dan meninggalkan banyak warisan budaya serta nilai hidup yang ada hingga kini. Nilai-nilai tersebut tidak tergantikan dan merupakan kekayaan warisan dunia yang perlu diakui dan dilestarikan.
“Maka, pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi berencana untuk mendaftarkan Jalur Maritim Rempah-Rempah sebagai warisan dunia kepada United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization atau UNESCO. Hal ini dilakukan karena banyak masyarakat yang telah melupakan Jalur Maritim Rempah-Rempah sebagai identitas bangsa Indonesia,” jelas Prof. Sri.
Topik yang dibahas dalam forum ini, seperti seni dan desain, sejarah, budaya, edukasi, bahasa, ekonomi, obat-obatan, warisan budaya, dan disiplin ilmu. Forum ini juga berhasil mengumpulkan 50 paper dan 150 artwork dari peserta yang berasal dari berbagai belahan dunia.
Artwork yang dikumpulkan melibatkan para peneliti muda untuk memvisualisasikan hasil penelitian tentang pertemuan budaya yang dihasilkan Jalur Rempah-Rempah melalui media poster, essay photography, dan videografi. Sementara itu, 50 paper yang terkumpul dipresentasikan dengan bahasa Indonesia, Inggris, dan Mandarin.
Christine menambahkan, hasil dari forum internasional ini akan diseminasikan kepada masyarakat luas melalui media e–prosiding, e-book chapter, dan pameran daring.
“Diharapkan melalui forum ini, masyarakat internasional akan menyadari signifikasi jalur rempah-rempah dan mendukung upaya Indonesia agar pada 2024 atau 2025 dapat diakui oleh UNESCO sebagai warisan dunia,” ujarnya.
Sumber: Universitas Kristen Maranatha Sukses Gelar Forum Internasional Jalur Rempah-Rempah – http://www.kalderanews.com
Universitas Kristen Maranatha melalui Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) menjadi tuan rumah diselenggarakannya forum internasional bertajuk International Forum on Maritime Spice Trading Routes and Cultural Encounters in Indo-Pacific: Past, Present, and Future. Forum ini terselenggara secara daring pada 15-16 Juni 2021 berkat kerja sama dari berbagai pihak, yakni FSRD Maranatha, Center for Chinese Diaspora Studies (CCDS) Maranatha, International Council on Monuments and Sites (ICOMOS), Fujian Normal University (Tiongkok), dan Yayasan Negeri Rempah.
Dr. Dra. Christine Claudia Lukman, M.Ds., dosen FSRD selaku Ketua Panitia Pelaksana mengatakan, “Forum akademik ini bertujuan untuk menggali nilai-nilai istimewa yang dapat ditemukan di negara-negara sepanjang Jalur Rempah-Rempah dan menghadapkannya dengan tantangan dan kemajuan zaman, tantangan dan kesempatan di saat ini dan di masa mendatang.”
Rektor UK Maranatha, Prof. Ir Sri Widiyantoro, M.Sc, Ph.D., IPU, dalam sambutannya mengatakan, Jalur Maritim Rempah-Rempah menjadi signifikan karena di sepanjang jalur, berbagai bangsa saling bertemu dan meninggalkan banyak warisan budaya dan nilai hidup yang ada hingga saat ini. Nilai-nilai tersebut tidak tergantikan dan merupakan kekayaan warisan dunia yang perlu diakui dan dilestarikan.
“Oleh karena itu, Pemerintah Republik Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berencana untuk mendaftarkan Jalur Maritim Rempah-Rempah sebagai warisan dunia kepada UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization). Hal ini dilakukan karena banyak masyarakat yang telah melupakan Jalur Maritim Rempah-Rempah sebagai program identitas bangsa Indonesia,” jelas Prof. Sri.
Dalam forum ini, sepuluh keynote speaker dan para pemakalah akan membagikan hasil penelitian dari berbagai sudut pandang mengenai topik yang berhubungan dengan Jalur Rempah-Rempah. Topiknya terdiri atas: seni dan desain, sejarah, budaya, edukasi, bahasa, ekonomi, obat-obatan, warisan budaya, dan disiplin ilmu. Forum ini juga berhasil mengumpulkan 50 paper dan 150 artwork dari peserta yang berasal dari berbagai belahan dunia. Artwork yang dikumpulkan melibatkan para peneliti muda untuk memvisualisasikan hasil penelitiannya tentang pertemuan budaya yang dihasilkan Jalur Rempah-Rempah melalui media poster, essay photography, dan videografi. Sementara itu, 50 paper yang terkumpul dipresentasikan dengan bahasa Indonesia, Inggris, dan Mandarin.
Sepuluh keynote speaker yang memberikan presentasi dalam forum internasional terdiri atas: Djauhari Oratmangun, Ambassador of Indonesia for People’s Republic of China and Mongolia; Hilmar Farid, Ph.D., Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud; Prof. James Chin dari Zhejiang University, Tiongkok; Prof. Shi Xue Qin, Xiamen University, Tiongkok; Dr. Junus Satrio Atmodjo dan Dr. Ninny Susanto Tejowasono dari Negeri Rempah Foundation; Dr. Dedi S. Adhuri, Indonesian Academy of Science; Prof. Johanes Widodo, National University of Singapore; Prof. Dr. Leonard Y. Andaya, University of Hawaii; dan Prof. Xu Liping, China Academy of Science.
Christine menambahkan, hasil dari forum internasional ini akan diseminasikan kepada masyarakat luas melalui media e–prosiding, e-book chapter, dan pameran daring. “Diharapkan melalui luaran ini, masyarakat internasional akan menyadari signifikasi jalur rempah-rempah dan mendukung upaya Pemerintah Republik Indonesia agar pada tahun 2024 atau 2025 dapat diakui oleh UNESCO sebagai warisan dunia,” tutupnya. (gn)
Sumber: Melestarikan Jalur Rempah-Rempah Lewat International Forum on Maritime Spice Trading Routes and Cultural Encounters in Indo-Pacific – MCU News (mostar.co.id)
Apa itu 3’FEST PASAREMPAH?
3’FEST PASAREMPAH (Festival Kampung Rempah • Spicepreneur Forum • Rembukraya Pasarempah) adalah rangkaian program yang diinisiasi oleh Yayasan Negeri Rempah untuk mempertemukan para pelaku pasar/usaha, komunitas, peneliti/akademisi, pemerintah dan media dalam rangka pengembangan berbagai program berkelanjutan yang mengedepankan rempah-rempah Indonesia sebagai komoditas unggul.
Mengapa 3’FEST RASAREMPAH penting diikuti?
Rempah-rempah merupakan komoditas unggulan Indonesia yang memiliki peluang besar untuk dapat dikembangkan sebagai sumber daya yang menopang pembangunan ekonomi. 3’FEST PASAREMPAH membuka berbagai peluang dialog dan sinergi antar pemangku kepentingan. Mulai dari kesempatan untuk mendapatkan dukungan membangun usaha rintisan berupa bimbingan teknis dan pelatihan, informasi peluang ekspor, hingga kontak dengan pembeli potensial baik dari dalam maupun luar negeri.
Informasi dan biaya registrasi (early bird) sila klik:
Mari bergabung dan ramaikan ajang promosi dan jual-beli produk olahan rempah di Kampung Rempah. BIla Anda baru merintis usaha, daftarkan produk/merekmu dalam e-katalog Pasarempah dan dapatkan kesempatan untuk berkonsultasi dengan para mentor melalui berbagai klinik dan pelatihan untuk mengembangkan usaha. Ikuti rangkaian program yang mempertemukan para pelaku pasar/usaha, komunitas, peneliti/akademisi, pemerintah dan media dalam rangka pengembangan berbagai program berkelanjutan yang mengedepankan rempah-rempah Indonesia sebagai komoditas unggul.
Setiap peserta akan memamerkan dan mempresentasikan produk/jasa yang akan dijual (showcasing).
Informasi dan biaya registrasi sila klik:
Halaman 5 dari 10